Friday 19th April 2024,

Dinamisasi Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah di NU

Dinamisasi Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah di NU
Share it

ASWAJADEWATA.COM | 

Oleh: Dadie W. Prasetyoadi

Karakteristik ahlu sunnah wal jamaah sebelumnya perlu diketahui ada tiga. Pertama, moderat Tawasutthiyah yaitu tidak tekstual, namun juga tidak liberal. Tidak tekstual yang berarti tidak hanya terpaku pada nash saja, seperti cara berpikir aliran-aliran tertentu. Contohnya Wahabiyah yang sangat tekstualis. Sehingga jika tidak disertai nash-nya seketika dikatakan bid’ah, atau keluar dari Islam. Karenanya mereka selalu mengatakan mana nashnya, mana Qur’annya, atau mana haditsnya.

Tidak liberal, artinya tidak menafsirkan sesuatu keluar dari pakem yang telah ada, berlebihan tanpa batasan, tanpa patokan. “Bila hududin wala tha’abin”, sehingga liar dengan pemahaman diluar konteks. Jadi paham ahlu sunnah wal jama’ah paham yang tidak hanya tekstual, juga tidak liberal. Paham tekstual seperti dimaksud oleh Imam Al-Farabi sebagai “al jumud alalmanqul”, statis terpaku pada teks-teks saja. Jika itu berlangsung selamanya, menurut ulama-ulama terdahulu itu bisa menjadi kesesatan dalam agama dan suatu kebodohan.

Karakteristik kedua adalah dinamis Tatthowuriyan, artinya moderat tetapi dinamis, tidak statis. Keadaan statis inilah yang menyebabkan banyak masalah-masalah tidak kunjung dapat diselesaikan. Bahkan NU pernah mengalami saat dimana kalangan ulama NU berpikir statis. Tidak statis pada teks nash, tapi pada teks-teks ibarah kitab. Sehingga tidak menerima sesuatu selain yang ada dalam teks ibarah kitab itu. Kemudian ada proses yang disebut tathwiran fikrah an nahdliyah, atau dinamisasi pemikiran NU. Dicetuskan saat berlangsungnya Munas Lampung tahun 1992.

Sejak itu kalangan Ulama NU tidak membatasi pendapat-pendapat yang hanya terpaku pada teks, atau berpikir qauli, tetapi juga berfikir manhaji, artinya tetap bermadzhab dan menggunakan metode cara berpikirnya. Ketika menemukan permasalahan yang tidak dapat ditemukan dalam kitab-kitab, para Ulama melakukan ijtima jama’i yang dikenal umum dengan ijtihad jama’i. Penggunaan istilah ijtima ini karena Ulama NU menganggap istilah ijtihad terlalu tinggi.

KH. Miftahul Akhyar Rais Aam PBNU yang saat Munas tahun 1992 menjadi Khatib Aam PBNU mengungkapkan, “Sesungguhnya cara berpikir ini cara berpikir asli para ulama. Hanya saja kita sempat mengalami kemandegan. Seperti saya contohkan, pendekatan yang dipakai oleh para ulama melalui telaah ulang, atau “fi i’adathunnazdhar”, atau telaah ulang dari pendapat-pendapat yang sudah ada seperti halnya di sebuah kitab, namanya ‘Sab’a Mufidhah’.”

Dia menjelaskan, bahwa “wa indana asyafi’iyah ikhtiaratu khariqatul madzhab”. “Kami dari kalangan asyafi’iyah terkadang memiliki pendapat-pendapat yang berbeda dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i karena ada kalanya pendapat tersebut tidak relevan lagi jika dipakai saat ini.”

Perubahan-perubahan pendapat itu tidak lantas dianggap keluar dari madzhab Syafi’i, karena masih tetap menggunakan metode berfikir (manhaj) Imam Syafi’i. Pendekatan yang dipakai dalam ushul fiqh itu dikenal dengan “tahtiqun manhaj” yang artinya verifikasi relevansi. Terdapat pendekatan terhadap pendapat-pendapat tersebut, apakah masih relevan atau tidak. Melakukan perubahan dalam arti bukan mengubah nash, namun mengubah pendekatan-pendekatan yang ditemukan para ulama, karena sudah tidak relevan lagi. Ini yang diistilahkan dinamisasi pemikiran.

Sebagai contoh, Syeikh Nawawi al Bantany yang pernah memiliki perbedaan pendapat tentang zakat. Ketika menurut Imam Syafi’i zakat harus dibagi ke 8 asnaf, Syeikh Nawawi pun mengatakan 3 boleh yang terpenting ada yang terwakili, karena saat ini kondisinya berbeda dan sangat sulit menemukan ke delapan asnaf tersebut. Dalam kasus ini bagaimana pemikiran para ulama tidak tekstual, tetapi kontekstual dan mengalami perubahan yang mungkin terjadi tanpa meninggalkan metode yang berlaku.

Maka disini sangatlah penting terbentuknya karakter ketiga, yaitu Manhajiyyan atau ber-manhaj. Karakter tersebut sangat penting ditekankan saat ini sebagai kendali cara berpikir di kalangan NU, agar tidak mudah terpengaruh paham-paham cara berpikir liberal maupun radikal yang keduanya bertolak belakang dengan definisi paham ahlu sunnah wal jama’ah.

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »