Thursday 18th April 2024,

Era Dakwah Multidisipliner dari NU

Dadie W Prasetyoadi September 18, 2019 Sosial No Comments on Era Dakwah Multidisipliner dari NU
Era Dakwah Multidisipliner dari NU
Share it

ASWAJADEWATA.COM | Sebagai sebuah organisasi agama, sesuatu yang normal jika para aktivis yang menggerakkan dan menghidupi organisasi NU ini merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang pengetahuan agama yang sangat kuat. Mereka adalah para ulama, kiai, ustadz, serta para aktivis yang memahami ilmu-ilmu agama dengan sangat baik dan kemudian mendakwahkan pengetahuannya untuk kebaikan bersama. Setelah para ahli ilmu agama, urutan selanjutnya adalah orang-orang berlatar belakang sosial humaniora.

Seiring dengan berkembangnya masyarakat dan semakin kompleksnya kehidupan, dakwah tidak cukup mengandalkan pengetahuan agama saja. Ada aspek-aspek lain yang menyertai untuk menunjang keberhasilan proses dakwah tersebut. Misalnya, menyampaikan pesan bahwa masyarakat perlu mengembangkan usaha perekonomian tidak cukup dengan dalil-dalil agama terkait dengan baiknya beraktivitas ekonomi dan kewirausahaan, melainkan harus mengarah sampai pada implementasinya seperti bagaimana produksi yang baik, pelayanan, pemasaran, pendanaan, dan lainnya. Masing-masing aspek tersebut memiliki disiplin ilmunya sendiri-sendiri yang harus ditekuni jika ingin menguasainya dengan baik.
Keberadaan para ahli non-agama menjadi semakin penting ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan cepat. Banyak kebijakan didasarkan pada riset untuk meningkatkan akurasi keberhasilannya. Kebijakan tidak lagi didasarkan pada perkiraan sebagaimana kebiasaan di masa lalu. Sulit untuk berhasil seorang kiai berceramah di mana-mana tentang haramnya riba tanpa memberikan solusi yang konkret soal persoalan pendanaan yang dihadapi umat.
Pendekatan multidisipliner ini juga relevan dalam organisasi agama. NU memaknai dakwah dan pemberdayaan masyarakat bukan sekedar menggelar ceramah di panggung, majelis taklim, atau kini di media sosial. Model ceramah seperti itu tidak akan memadai untuk melakukan perubahan karena sebauah transformasi ke arah baru membutuhkan tindakan nyata. Di sinilah para ahli non-agama mengambil peran seperti para ekonom, teknolog, ahli kesehatan, dan lainnya.
Upaya untuk memperluas dakwah dalam berbagai perspektif ini dapat dilakukan dengan memberikan komposisi yang lebih luas para ahli non-agama dalam struktur kepengurusan NU dari tingkat pusat sampai ke daerah. Juga dalam kepengurusan di lingkungan badan otonom NU. Selama ini para pengurus yang berkiprah di NU sebagian besar berlatar belakang ilmu agama atau sosial humaniora lainnya. Mereka yang berlatar belakang sains atau teknologi masih minoritas.  Sebetulnya tak kurang warga NU yang memiliki keahlian bidang ini. Tinggal bagaimana memberikan afirmasi dalam kepengurusan agar mereka bisa mewarnai kebijakan dan program-program NU. Karena berlatar belakang keluarga NU, danyak di antaranya memiliki pengetahuan agama yang baik.
Keragaman keahlian dalam kepengurusan NU akan memunculkan banyak perspektif saat mengambil kebijakan tertentu yang menyangkut masyarakat. Hasilnya tentu akan semakin komprehensif jika dibandingkan dengan sekedar pendekatan agama atau sosial humaniora saja. Dan selanjutnya lebih memiliki kemungkinan berhasil diimplementasikan. Apalagi mengingat saat ini, domain teknologi semakin dominan dalam perkembangan kehidupan. Bahkan dalam konteks dakwah dalam bentuk orasi, penggunaan teknologi semakin penting. Para ustadz yang sukses berdakwah di media sosial menggunakan memanfaatkan keahlian para ahli dalam bidang penyiaran.
Sejauh ini sudah terdapat badan otonom Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) yang menjadi tempat berkumpulnya para intelektual NU. Mereka dapat memberikan masukan-masukan terhadap berbagai kebijakan NU di tingkat pusat maupun daerah, sesuai dengan tingkat kepengurusannya. Potensi besar yang sudah terkumpul ini waktunya untuk dimaksimalkan. Bisa saja para ahli tersebut secara proaktif memberi masukan terhadap kebijakan tertentu atau NU meminta mereka mengkaji isu tertentu.
Organisasi NU yang bergerak dalam bidang pengaderan seperti IPNU-IPPNU, PMII atau KMNU yang selama ini masih didominasi oleh pelajar atau mahasiswa dengan latar belakang ilmu agama dan sosial humaniora. Sudah waktunya mereka mengembangkan sayapnya untuk menggarap para pelajar dan mahasiswa di lingkungan ilmu-ilmu eksakta. Jika tidak, mahasiswa dari jurusan eksakta yang ingin belajar agama akhirnya diambil oleh kelompok-kelompok lain yang mengajarkan Islam tekstual. Akhirnya pandangan agamanya menjadi kaku karena memandang ilmu agama sebagaimana sains yang serba terukur dan pasti.
Demikian pula, santri-santri yang kini masuk ke perguruan tinggi dapat diarahkan untuk mengambil jurusan-jurusan non-agama atau sosial humaniora yang saat ini sudah sangat banyak yang memiliki kompetensi di bidang tersebut di lingkungan NU sementara bidang-bidang baru tersebut masih membutuhkan tenaga yang lebih banyak. Mereka harus terus didampingi selama belajar di perguruan tinggi agar tetap dekat dengan ajaran NU dan nantinya ketika selesai sekolah, tetap mengabdikan diri kepada umat dan masyarakat melalui NU.
Hal yang sama juga harus diarahkan dalam pengembangan program studi di lingkungan perguruan tinggi Nahdlatul Ulama. Program terkait yang bersentuhan dengan teknologi perlu mendapatkan perhatian lebih banyak. Dalam sepuluh tahun terakhir, Nahdlatul Ulama mendirikan puluhan perguruan tinggi baru yang kini sedang dalam tahap pengembangan.
Perubahan-perubahan ini mungkin saja menimbulkan ketidaknyamanan karena keluar dari zona nyaman kompetensi yang selama ini digeluti dan telah memiliki habitat bagus untuk berkembang. Tetapi hasilnya akan dinikmati 20-30 tahun ke depan ketika pelajar dan mahasiswa tersebut sudah menduduki posisi strategis di lembaganya berkarier atau sudah berhasil dalam berwirausaha.
Ini merupakan strategi jangka panjang yang hasilnya tak dinikmati secara instan. Kelompok pengusung khilafah yang sempat berkembang juga menyasar para mahasiswa eksakta di beberapa universitas negeri favorit sebagai sarana dakwahnya 30-40 tahun lalu. Para aktivis khilafah yang mendominasi wacana saat ini telah direkrut sejak mahasiswa sehingga kini menjadi militan. Beberapa di antaranya kini masuk dalam institusi negara atau badan usaha milik negara dan mencoba mengubah ideologi negara. Insyaallah NU akan mampu melayani masyarakat dengan lebih baik melalui pelibatan para ahli dalam berbagai bidang. (Achmad Mukafi Niam)
Artikel ini pertama kali dimuat oleh nu.or.id

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »