Friday 19th April 2024,

Memahami Maksud Rahmatan Lil ʻAlamin

Memahami Maksud Rahmatan Lil ʻAlamin
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Sudah lumrah dan tidak asing lagi, ungkapan rahmatan lil ‘alamin menjadi viral dalam suatu obrolan, forum resmi atau pengajian. Begitu juga di sosial media, sudah tidak asing lagi dengan pernyataan rahmatan lil ‘alamin.

Terlebih di saat berbicara tentang kekerasan dan keramahan terkait hubungan muslim dan non muslim, atau hendak menyampaikan prinsip Islam, maka yang menjadi dasar utama adalah rahmatan lil ‘alamin. Karena, memang misi hadirnya Islam sekaligus diutuskannya Nabi Muhammad Saw. tidak lain demi menyebar-naburkan kasih sayang kepada semesta alam. Sebagaiaman Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Ayat tersebut secara tegas membahas apa yang menjadi tujuan atau misi utama dari diutusnya Rasulullah, yaitu untuk menjadi rahmat (penebar cinta/kasih sayang) bagi semesta alam, sehingga akan tercipta kedamaian. Dan untuk lebih memami ayat ini, ada dua kata yang perlu kita kaji, yakni kata رَحْمَةً dan kata الْعَالَمِينَ.

Terkait dengan kata رَحْمَةً  para ulama menafsiri dengan dua hal, disesuaikan pada siapa rahmat itu dimaksudkan, apakah pada kaum muslim atau non muslim. Untuk kaum muslim, maka maksud dari rahmat adalah bahwa nabi sebagai pembawa petunjuk untuk menjalani kehidupan dengan benar, dengan patuh pada perintah serta menjauhi larangan Allah.[1] Dengan perantara nabi Muhammad, kaum muslim bisa mendapat hidayah, sehingga pada akhirnya akan memperoleh imbalan dari Allah berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sedangkan maksud dari kata رَحْمَةً ketika dikaitkan dengan non muslim adalah bahwa mereka diberi penangguhan oleh Allah, yaitu dengan tidak diberi siksaan di dunia, siksaan bagi mereka akan diberikan kelak di akhirat.[2] Berbeda dengan umat-umat nabi sebelumnya, di mana mereka diberi siksaan oleh Allah saat di dunia. Dalam arti kedurhakaan mereka langsung direspon Allah dengan melalui adzab-adzab yang bisa membinasakan. Seperti umat Nabi Nuh yang diadzab oleh Allah dengan angin topan kemudian dilanjutkan dengan banjir bandang sehingga hanya umat-umat yang patuh saja yang bisa hidup, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Aʻrāf ayat 133 dan 134.

Selanjutnya berkenaan dengan kata الْعَالَمِينَ, menurut seorang mufassir terkemuka, Fakhruddin al-Rāzi, yang dimaksud dari kata tersebut adalah segala sesuatu selain Allah.[3] Maka dari itu kata الْعَالَمِينَ tidak hanya mencakup pada orang Islam, melainkan juga mencakup pada non muslim. Terlebih kata tersebut didahului ال yang dalam ilmu ushul fiqh disebut sebagai salah satu tanda bahwa sebuah lafadh dianggap lafadh ‘am, sehingga berkonskwensi tercakupnya semua referen yang ada dalam kata tersebut.[4] Bahkan juga kata الْعَالَمِينَ mencakup juga pada jin baik yang muslim atau kafir.[5]

Dengan penjelasan di atas, maka umat non muslim pun juga mendapatkan rahmat, dalam arti tidak menjadi aneh kalau mereka juga disebut sebagai penerima rahmat.[6] Walau tentu rahmat yang mereka dapat tidak sama dengan rahmat yang didapat oleh umat muslim. Sebab rahmat yang mereka dapatkan hanya berupa penangguhan siksaan saja. Dari kesimpulan ini maka benar sekali kalau lalu nabi dalam berdakwah menggunakan cara-cara yang toleran. Mengingat seandainya nabi menggunakan cara-cara kekerasan maka sama saja mereka mendapat adzab di dunia, padahal Allah sudah menangguhkan adzab mereka dengan misi rahmatan li al-ʻalāmīn yang dibawa oleh Rasulullah.

(Muhammad/AA)

[1] Abu Hasan Ali Bin Muhammad al-Māwardi, al-Nukatu wa al-ʻUyūn, (Maktabah Syamilah), j.3, h.100

[2] Abdurrahman Bin Muhammad Bin Makhlūf al-Ṡa’laby, al-Jawāhir al-Hisān Fi  Tafsīr al-Qur’an, (Maktabah SYamilah), j .3, h.20

[3] Fakhruddin al-Rāziy, Mafātihu al-Ghaiyb, (Maktabah Syamilah), j. 1, h.2

[4] Jabir Bin Mūsa Bin Abdul Qādir Bin Jābir Abu Bakr al-Jazāiriy, Aysaru al-Tafāsīr li Kalāmi al-ʻĀly al-Kābir, (Maktabah Syamilah), j.2, h.491

[5] Muqatil Bin Sulaiman Bin Basyir, Tafsār Muqātil, (Maktabah Syamilah), j.2, h.367

[6] Syihabuddin Mahmud Bin Abdullah al-Husainiy al-Alusy, Rūh al-Maʻāniy fi  Tafsīr al-Qur’ani al-Aẓīm Wa Sab’u al-Maʻāniy, (Maktabah Syamilah), j. 12, h.486

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »