Thursday 28th March 2024,

Metode Istinbath Penetapan Status Hukum Kasus Kontemporer

Metode Istinbath Penetapan Status Hukum Kasus Kontemporer
Share it

ASWAJADEWATA.COM- Di antara hal-hal yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin ialah bahwa setiap prilaku dan tingkah laku manusia mukallaf ada ketentuan hukumnya di dalam syari’at Islam, dan yang menjadi sumber serta acuannya adalah Alquran dan As-Sunnah. Ini berarti, kaum muslimin wajib menjadikan Alquran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup dalam berperilaku dan bertingkah laku. Akan tetapi, petunjuk-petunjuk Alquran dan As-Sunnah menyangkut perilaku manusia itu sebagian banyak tidak siap pakai (not ready for use), karena masih tersembunyi di bawah permukaan yang tidak setiap orang mampu mengungkapkannya, sebab memerlukan syarat khusus, yakni kemampuan berijtihad, bahkan mereka yang tidak mampu menerapkan bagian terbesar dari umat ini.

Oleh karena itu, agar kaum muslimin selalu dalam bimbingan Alquran dan As-Sunnah, mereka yang tidak mampu wajib bertanya kepada yang mampu, dan mereka yang mampu wajib memberikan jawaban.   Dalam sejarah pemikiran hukum Islam tercatat nama-nama imam mujtahid yang secara konsisten melaksanakan kewajibannya itu. Maka, dengan berkat ijtihad dan kerja keras mereka, telah terbentuk madzhab-madzhab fiqh dan telah terkodifikasi dengan rapi dalam ribuan, bahkan ratusan buku dan kitab, sehingga mayoritas umat yang tidak memiliki kemampuan berijtihad punya kemudahan untuk bertaqlid dengan mengikuti salah satu dari madzhab-madzhab yang ada.

Bukan hanya produk-produk fiqh yang bisa kita baca dalam kitab-kitab mudawwan, metode-metode ijtihad yang melahirkan fiqh pun bisa kita baca dalam kitab-kitab ushul fiqh, sehingga bila kita dihadapkan kepada masalah kontemporer yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan bermadzhab secara qauliy, bisa kita selesaikan dengan pendekatan bermadzhab secara manhajiy, dengan menerapkan qa’idah-qa’idah ushuliyyah yang telah dirumuskan oleh para imam mujtahid.

Problem Kontemporer,  Bagaimana Memecahkannya?

Apa yang disebut sebagai masalah kontemporer tidak berarti semua masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan bermadzhab secara qauliy, karena sangat terbuka kemungkinan ditemukannya jawaban masalah kontemporer tersebut di dalam kitab-kitab maraji’ (rujukan), termasuk yang klasik, bahkan seringkali ditemukan jawaban lebih dari satu qaul. Memang diakui, jawaban yang ditemukan di dalam kitab kadang tidak relevan dengan perkembangan kehidupan masa kini.   Bagi kalangan yang berpegang pada prinsip tamadzhub(mengikuti madzhab tertentu), yang dilakukan pertama kali ketika dihadapkan pada persoalan fiqhiyyah adalah melakukan telaah kitab-kitab maraji’, baik klasik mau pun kontemporer. Hasil dari telaah itu memiliki kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

  1. pada masalah dimaksud diyakini hanya ada satu qaul(mujma’ ‘alayh);
  2. pada masalah dimaksud diasumsikan hanya ada satu qaul dengan landasan yang kokoh dan menjanjikan kemaslahatan;
  3. pada masalah dimaksud diasumsikan hanya ada satu qauldengan landasan yang kelihatan rapuh;
  4. pada masalah dimaksud terdapat lebih dari dua qaul dan salah satunya memiliki landasan yang kuat atau lebih kuat dari yang lain;
  5. pada masalah dimaksud terdapat lebih dari dua qauldan diantaranya tidak ada yang memiliki landasan kuat;
  6. pada masalah dimaksud tidak ada qaul yang ready for use, akan tetapi bisa dimasukkan di bawah naungan salah satu qawâ’id fiqhiyyah yang ada;
  7. pada masalah dimaksud secara formal tidak ditemukan qaul, namun substansinya masuk dalam salah satu bab-bab fiqh yang ada;
  8. pada masalah dimaksud tidak ada qaul sama sekali, baik formal maupun substansial.

Hasil refleksi terhadap temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menjawab dengan berpegang pada qaulyang diyakini benar-benar tunggal (مُجْمَعٌ عَلَيْهِ) atau diasumsikan tunggal dan menjanjikan kemaslahatan;
  2. Menjawab masalah melalui mekanisme tarjîh[3]terhadap salah satu qaul yang dalilnya kuat atau lebih kuat dari yang lain;
  3. Menjadikan qaul yang dasarnya rapuh dan tidak menjanjikan kemaslahatan, sama dengan tidak ada qaul;
  4. Menjawab masalah melalui mekanisme ilhâq[4]dan takhrîj[5] yakni menyamakan masalah dimaksud dengan masalah yang sudah ada jawaban hukumnya, karena keduanya bernaung di bawah satu qâ’idah fiqhiyyah;
  5. Menjawab masalah melalui mekanisme adaptasifiqhiyyah (تَكْيِيْفٌ فِقْهِيٌّ) yang dengannya diketahui bahwa masalah itu substansinya sama dengan salah satu masalah yang sudah ada jawabnya; dan
  6. Melakukan istinbâth hukum dari nashatau dari selain nash untuk menjawab masalah yang padanya tidak ada qaul atau dianggap tidak ada

Nash-nash Alquran yang didukung oleh Assunnah merupakan sumber hukum yang tidak pernah kering, meski nash-nash itu jumlahnya terbatas, dan persoalan-persoalan hukum yang harus dijawab jumlahnya tidak terbatas, karena ketentuan hukum yang tidak bisa kita ambil dari Alquran dan Assunnah secara langsung dapat kita peroleh dari keduanya atau salah satunya secara tidak langsung, yaitu melalui dalil-dalil sekunder yang ditunjuk oleh Alquran dan Assunnah.   Tentang bagaimana cara Alquran dan Assunnah menangani persoalan-persoalan hukum dapat kita ketahui dari cara kedua kitab itu dalam menampilkan nash-nashnya yang berkisar di antara tiga macam format:

  1. Berbentuk nash-nash juz’iyyah-tafshiliyyahyang menangani persoalan-persoalan tertentu secara langsung, seperti nash-nash tentang pembagian harta warits, wajibnya shalat dan puasa, haramnya perzinaan dan pencurian.
  2. Nash-nash yang berupa kaedah-kaedah umum (qawa’id kulliyyah), misalnya firman Allah swt., وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ, يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ, dan sabda nabi saw., لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.
  3. Nash-nash umum yang menjadi acuan dalil-dalil sekunder, umpama nash-nash tentang ijma’, qiyas, dan maqashidus syari’ah.

Untuk bisa memahami dan meng-istinbath-kan hukum dari nash Alquran dan Assunnah diperlukan beberapa syarat. Di samping memerhatikan asbabun nuzul atau asbabul wurud, ada beberapa hal yang harus diketahui dan diperhatikan, di antaranya yang terpenting adalah:

  1. Mengetahui qawa’id ushuliyyah lughawiyyah;[6]
  2. Mengetahui maqashidus syari’ah[7]yang tertuang di dalam qawa’id ushuliyyah tasyri’iyyah;[8]
  3. Memadukan antara nushushdan maqashid.

Qawa’id Ushuliyyah Lughawiyyah meliputi tiga kajian, yaitu Kajian Lafazh, Kajian Makna dan Kajian Dalalah.

Kajian Lafazh ( التَّحْلِيْلُ اللَّفْظِيُّ )

Kajian lafazh berkisar pada hal-hal sebagai berikut:

  1. antara âmmdan khâsh (lafazh umum dan khusus);
  2. antara muthlaqdan muqayyad (lafazh bebas dan terikat);
  3. antara haqîqahdan majâz (lafazh asli dan kiasan);
  4. antara muhkam, mujmaldan mutasyâbih;
  5. antara zhâhirdan nashsh;
  6. antara musytarokdan mutarôdif; dan
  7. antara amrdan nahy (lafazh perintah dan larangan).

Setiap lafazh bisa memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafazh محمد. Lafazh ini dari satu sisi masuk kategori khâsh karena tidak memiliki cakupan makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk kategori nashsh sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang lain. Contoh lain yaitu lafazh أسد كبير. Lafazh ini dari satu sisi masuk kategori muqayyad karena lafazh أسد ber-qayid (dibatasi) dengan lafazh كبير, sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhâhir karena lafazh أسد tampak dalam makna singa dan ada kemungkinan untuk bermakna seorang pemberani, dan lafazh ini ketika dimaknai singa, masuk kategori haqîqah, dan bila dimaknai pemberani masuk kategori majâz.   Contoh konkrit dalam al-Quran adalah firman Allah قُمِ الَّليْلَ. (bangunlah pada waktu malam). Lafazh قم dari satu sisi termasuk kategori khash karena cakupan maknanya terbatas[9], dan dari satu sisi disebut amr sebab berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu (berdiri), sementara dari sisi yang lain disebut zhâhir karena shîghat amr adalah tampak dalam makna wujûb (kewajiban) dan mungkin untuk ditarik pada selain makna wujûb.   Yang pasti ialah lafazh âmm bukan khâshmuthlaq bukan muqayyad, muhkam bukan mutasyâbih, haqîqah bukan majâz, nash bukan zhâhiramr bukan nahy, dan musytarak bukan mutarôdif.

Kajian Makna (التَّحْلِيْلُ الْمَعْنَوِيّ)

Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah:

  1. lafazh dimaksud dimaknai secara hakiki ataukah dipalingkan pada makna majaznya?
  2. lafazh zhâhirdimaksud tetap pada makna râjih-nya ataukah dipalingkan kepada makna marjûh-nya?
  3. makna dimaksud adalah makna lughâwîy, syar’îyataukah ‘urfîy?
  4. yang manakah diantara makna-makna lafazh musytarakdimaksud yang diambil, atau semuanya diambil?
  5. lafazh dimaksud, disamping memiliki makna lughawîy, memiliki makna syar’îy atau urfîy, dan makna yang manakah yang dipakai?
  6. shîghat amrdimaksud tetap pada makna primernya (وجوب) ataukah dipalingkan pada makna sekundernya (selain وجوب)?
  7. shîghat nahy dimaksud tetap pada makna primernya (تحريم) atau dipalingkan pada makna sekundernya (selain تحريم)?

Kajian Dalâlah (التَّحْلِيْلُ الدَلاَلِيّ)

Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari nash. Dalam hal ini ada dua metode:

Metode Jumhûr

Menurut Jumhûr Ushûliyyîn, makna (hukum) suatu nash, disamping bisa diambil dari manthûq-nya, kadang bisa diambil dari mafhûm-nya. Manthûq sendiri ada dua : (1) sharîh, dan (2) ghairu sharîh. Sedangkan manthûqghairu sharîh itu sendiri ada tiga : (1) isyârah; (2) iqtidlâ`, dan (3) îmâ`. Sementara mafhûm itu ada dua : (1) mafhûm muwâfaqah, dan (2) mafhûm mukhâlafah.

Metode Hanafiyah

Menurut Hanafiyah, makna (hukum) nash bisa diambil dari empat pendekatan: (1) ‘ibârah al-nash; (2) isyârah al-nasha; (3) dari isqtidlâ` al-nash; dan (4) dalâlah al-nash (mafhûm muwâfaqah dalam istilah Jumhûr).   Tidak ada perbedaan substansial antara pendekatan Jumhûr dan pendekatan Hanâfiyyah, kecuali dalam soal mafhûm mukhâlafah atau lahnu al-khithâb. Menurut Jumhûr, mafhûm mukhâlafah menjadi salah satu jalan untuk mengambil makna dari nash, sedangkan menurut Hanafiyyah tidak.   Bila istinbath langsung dari nash tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan istinbath tidak langsung dengan menggunakan pendekatan maqashidus syari’ah, qiyas, mashlahah mursalah, ‘urf, dan istihsan.  

Oleh : KH. Afifuddin Muhajir, (Dosen Ma’had Aly Sukorejo Situbondo)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »