Wednesday 24th April 2024,

Reparasi Ukhuwah Melalui Halal bi Halal

Reparasi Ukhuwah Melalui Halal bi Halal
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Dr. Saihu, M.Pd.I

Salah satu istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia dan sering kali diucapkan dalam setiap suasana Idul Fitri adalah Halal bihalal. Dua kata berangkai ini terkadang seringkali menimbulkan tanda tanya tentang makna dan apa tujuan dari kegiatannya, meskipun banyak pihak yang menyadari bahwa tujuan diadakannya halal bihalal adalah untuk menciptakan persaudaraan dan keharmonisan antar sesama. Istilah halal bihalal, dapat ditinjau dari dua pandangan. Pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.

Menurut pandangan pertama, halal biasanya dihadapkan dengan kata haram yang berarti sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan menimbulkan siksa. Sedangkan kata halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang terjadinya dosa. Selanjutnya menurut pandangan kedua, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai kata, mempunyai arti beraneka ragam sesuai dengan kata yang mengikutinya. Makna-makna yang dilahirkan dari bentukan kata-kata tersebut, antara lain berarti:  menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, melepaskan ikatan, dan mencairkan sesuatu yang beku. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka halal bihalal dapat dimaknai sebagai aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang yang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku, serta bersama-sama melepaskan ikatan yang membelenggu serta menyelesaikan kesulitan dan masalah yang menghadang terjadinya keharmonisan yang bisa jadi disebabkan oleh sifat-sifat atau tindakan-tindakan kita yang masuk dalam kategori haram.

Di dalam setiap diri kita terdapat hati nurani, yaitu cahaya lembut dan cahaya kebaikan yang selalu memancarkan kebajikan Ilahi. Hanya saja volume dan frekuensinya berbeda-beda, karena tidak semua orang konsisten menggosok cermin hati sebagai reflektor nurani agar seluruh pikiran dan perilakunya mendapat bimbingan terang dari Ilahi. Pertanyaannya adalah apakah kita telah menggunakan hati nurani untuk melihat berbagai persoalan bangsa dan negara kita akhir-akhir ini? Sudah cukup rasanya kita mendengarkan pernyataan-pernyataan politik yang membingungkan dan membuat capek. Bukankah lebih baik jika kita kembali bersatu serta melupakan dan menghapus segala perbedaan. Menurut Quraish Shihab, Alquran menegaskan bahwa cinta Allah terhadap mereka yang memiliki sifat-sifat tertentu sebanyak 18 kali. Hanya sekali penegasan itu ditujukan kepada orang yang sabar, bertobat, dan menyusun satu barisan. Dua kali juga penegasan itu kepada orang-orang yang bertawakal, dua kali kepada orang yang berlaku adil, tiga kali kepada orang yang bertakwa, tetapi semua itu diulanginya sebanyak lima kali terhadap mereka yang memiliki sifat ihsan, yaitu suatu sifat yang menjadikan pemiliknya memperlakukan pihak lain dengan baik meskipun pihak lain itu memperlakukannya dengan buruk.

Lebih jauh juga dalam Alquran surah al-Nur ayat 22, Allah memerintahkan hambanya untuk melakukan al-Afwu dan al-Shafhu. al-Afwu diartikan dengan maaf, yang dapat diartikan dengan menghapus, karena yang memaafkan umumnya menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Sedangkan al-Shafhu bermakna kelapangan dada, dan dari kata al-Shafhu, dapat dibentuk kata shafhat yang berarti lembaran atau halaman, serta dapat juga dibentuk menjadi kata mushafahat yang berarti berjabat tangan. Seseorang yang melakukan al-Shafhu, sebagaimana anjuran ayat di atas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama yang kemudian segera membuka lembaran baru.

Momentum halal bihalal adalah kesempatan berharga untuk menata dan mereparasi ukhuwah kita, dengan mengikuti nurani yang sudah terasah dalam berbagai aktivitas ibadah selama bulan Ramadhan yang tentu saja menjadi modal moral dan moral akhlak dalam berbangsa dan bernegara serta sama-sama mewujudkan sikap ihsan. Nah, yang demikian inilah arah yang sebenarnya dituju oleh aktivitas halal bihalal, sehingga menyelesaikan masalah melalui dialog, meluruskan benang kusut melalui rekonsiliasi, melepaskan ikatan dengan berjabat tangan, tentu akan semakin mudah diwujudkan dan ukhuwah yang tadinya beku bisa kembali mencari seperti sediakala.

(Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »