Wednesday 24th April 2024,

Ciri Hamba Amatiran, Beribadah Karena Berharap Surga

Ciri Hamba Amatiran, Beribadah Karena Berharap Surga
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Manusia diciptakan tidak lain untuk menghambakan diri hanya kepada Allah. Begitulah Allah memiliki misi dengan diciptakannya manusia. Allah tidak mengharapkan apa-apa dari misi tersebut, Allah hanya berharap pada hamba-Nya untuk menjadi yang terbaik di sisi-Nya. Tentu, harapan tersebut tidak berkonsekwensi buruk bagi Allah, semisal kecewa atau merasa dikhianati, justru konsekwensi buruk itu dirasakan oleh hamba kelak jika tidak melaksanakan misi tersebut.

Sifat penghambaan diwujudkan dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Keduanya merupakan ibadah yang tidak boleh tidak harus ditaati oleh seorang hamba. Karena ibadah merupakan aktifitas utama dalam kehidupan, sebagai penempa diri seseorang untuk mejadi hamba yang mampu meraih rido-Nya.

Tetang aktifitas ibadah, berupa perintah, Allah mengklasifikasinya dengan memberi status pada masing-masing ibadah. Ada ibadah yang status hukumnya wajib dan ada yang sunnah. Klasifikasi ini merupakan ketetapan yang diukur dengan kemampuan seorang hamba. Andai saja Allah menetapkan semua ibadah dengan status wajib, maka sudah dipastikan seorang hamba akan merasa berat untuk melaksanakannya.

Pelaksanaan ibadah yang diwajibkan sebenarnya memandang pada sifat manusia yang di dalam dirinya terdapat sifat lalai. Oleh sebab itu, Andai saja Allah tidak memberi status hukum wajib pada suatu ibadah, semisal shalat lima waktu, dimungkinkan tidak ada seorang hamba yang akan melaksanakan shalat lima waktu. Dengan status hukum wajib, seorang hamba akan merasa tertuntut untuk melasanakannya.

Melihat kemampuan seorang hamba dalam pelaksanaan ibadah, maka ada hamba yang hanya mampu melaksanakan ibadah yang wajib saja dan ada hamba yang tidak hanya mampu melaksanakan ibadah yang wajib, tapi ibadah yang sunnah pun menjadi rutinitas dalam kesehariannya.

Kemampuan seorang hamba yang kadang dibelenggu oleh kelalaian dan kemalasan, membuat dirinya pilah-pilih dalam melaksanakan ibadah. Jika tidak wajib, tidak dilaksanakan. Melaksanakan ibadah karena ada tuntutan. Lebih jelasnya, karena khawatir pada konsekwensi diwajibkannya suatu ibadah. Yakni, menghindar dari ancaman siksa neraka dan mengharapkan nikmat surga.

Memang, dalam pelaksanaan ibadah, seorang hamba memiliki tingkatan tertentu. Berawal dari belajar atau melatih bagaimana beribadah sesuai kondisi hatinya. Hal ini sebagai proses untuk mencapai tingkatan ibadah yang paling tinggi di sisi Allah. Oleh sebab itu, ada hamba beribadah karena masih belajar. Ada hamba beribadah karena semata memenuhi kewajiban. Ada hamba beribadah karena mengharapkan pujian. Ada hamba beribadah karena seseorang. Ada hamba beribadah karena berharap surga. Ada hamba yang beribadah semata-mata penghambaan.

Hamba beribadah karena belajar

Tingkat pertama dalam melaksanakan ibadah, seorang hamba memang harus belajar terlebih dahulu. Dalam hal ini ditetapkan kepada seorang hamba yang baru beranjak umur remaja kemudian dewasa. Ibadah yang dilaksanakan remaja atau yang sudah dewasa masih dalam tahap belajar.

Kewajiban melaksanakan ibadah bagi seorang remaja dituntut kepada orang tua. Jika seorang remaja tidak melaksanakan ibadah karena tidak mendapatkan bimbingan dari orang tua, maka yang berdosa orang tua.

Oleh sebab itu, Rasulullah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat ketika mencapai umur tujuh tahun. Ketika berumur sepuluh tahun, jika anaknya enggan melaksanakan shalat, Rasulullah menyuruhnya memukul, namun dengan pukulan yang tidak membahayakan.

Sebenarnya bimbingan yang tepat dan bijak adalah orang tua tidak menyuruh, melainkan mengajaknya. Bimbingan dengan mengajak akan lebih berpengaruh dan hasilnya sangat baik.

Hamba beribadah karena semata memenuhi kewajiban

Tahap selanjutnya melaksanakan ibadah karena kewajiban. Pelaksanaan ibadah seperti ini lebih kepada karena merasa dituntut atau memiliki beban. Seorang hamba yang melaksanakan karena kewajiban, biasanya tidak memperhatikan aktifitas ibadahnya. Menurutnya, yang penting sudah melaksanakan tanpa memikirkan kembali untuk memperbaiki ibadah selanjutnya.

Seorang hamba yang melaksanakan ibadah karena kewajiban hanya merasakan lega sesaat, merasa terlepas dari kewajiban, merasa tanggung jawabnya sudah dilaksanakan. Setelah itu, dia tidak merasakan bekas yang mempengaruhi di dalam hatinya yang akan membuat dirinya lebih baik. Makanya, tidak jarang ada orang mengeluh tentang firman Allah yang menyatakan bahwa shalat mencegah perbuatan mungkar. Mereka seperti tidak percaya dengan firman Allah tersebut, karena merasa shalatnya tidak mempengaruhi dirinya menjadi lebih baik.

Biasanya seorang hamba yang melaksanakan hanya karena kewajiban mengatakan, “Yang penting saya sudah melaksanakan kewajiban. Saya sudah bebas dari tuntutan melaksanakan shalat. Masalah diterima atau tidak, urusan belakangan”.

Hamba beribadah karena mengharapkan pujian

Kemudian ada hamba yang melaksanakan ibadah karena mengharapkan pujian. Tentu, yang dimaksud pujian di sini adalah pujian dari orang lain. Karena mengharap pujian dari orang lain, orang yang seperti ini berupaya semaksimal mungkin bagaimana ibadahnya bisa dinilai oleh orang lain yang kemudian dianggap baik. Bahkan, tidak jarang dari gerak-geriknya dibuat sedemikian rupa kelihatan bagus. Ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an di dalam shalatnya, dilantunkan dengan suara dan lagu yang membuat orang lain tertarik. Ketika keluar dari tempat ibadahnya bergaya laksana ahli ibadah.

Orang yang melaksanakan ibadah karena mengharap pujian dari orang lain, dia akan merasa ibadahnya ‘sah’ atau ‘sempurna’ ketika diketahui oleh orang lain dan mendapat pujian. Dia merasa bangga dengan ibadahnya karena orang lain memujinya. Dia semakin semangat beribadah seiring banyaknya ungkapan pujian kepadanya.

Akibatnya, ketika ibadah karena mengharapkan pujian, dia tidak lagi semangat beribadah karena tidak ada lagi yang memujinya. Seolah ibadahnya hampa di saat tidak ada lagi pujian yang menyapa. Dia menganggap ibadahnya sia-sia jika pujian-pujian tidak menyambutnya. Dan, merasa ibadahnya ‘batal’ karena ibadahnya sepi dari pujian.

Hamba beribadah karena seseorang

Ada hamba yang awalnya sama sekali tidak melaksanakan ibadah, tapi kemudian melaksanakan ibadah. Yang awalnya tidak rajin melaksanakan ibadah, tapi kemudian rajin melaksanakan ibadah. Yang awalnya tidak begitu semangat melaksanakan ibadah, tapi kemudian sangat bersemangat melaksanakan ibadah dengan istiqamah. Ini semua karena seseorang.

Seseorang di sini mungkin lebih pas ditujukan kepada orang yang istimewa dalam hatinya. Lebih tepatnya, seseorang yang dicintai. Tidak jarang seseorang begitu semangat melaksanakan ibadah karena orang yang dicintai. Dia merasa dirinya tidak pantas jika mendapatkan seseorang yang ahli ibadah sementara dirinya jarang beribadah. Atau, dia disuruh oleh orang yang dicintai untuk istiqamah ibadah. Biasanya, perkataan orang yang dicintai, semuanya ingin diikuti, apalagi cinta di pertama kali.

Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa cinta mampu membuat seseorang memiliki kekuatan untuk berubah menjadi lebih baik. Lebih-lebih ketika menjalani cinta dengan niat baik. Kadang tanpa disadari, seseorang menemukan dirinya berubah lebih baik ketika menjalani cinta dengan seseorang. Inilah yang dimaksud cinta yang membawa seseorang kepada taqarrub ilallah. (dekat kepada Allah).

Namun, berbeda dengan orang yang mencintai yang mejadikan ibadah sebagai media untuk mengelabuhi orang yang dicintai. Karena ingin memiliki orang yang dicintai, lalu dia berpura-pura melaksanakan ibadah. Semisal, ketika seseorang yang dicintai berjamaah ke masjid atau mushallah, dia ikut-ikutan berjamaah dengan gayanya laksana ahli ibadah. Kemudian, ketika orang yang dicintai telah menjadi milikinya, dia berhenti melaksanakan ibadah dengan rajin. Karena target dari melaksanakan ibadah sudah diraih. Na’udzubillah.

Hamba beribadah karena berharap surga

Ada hamba yang melaksanakan ibadah bertujuan ingin masuk surga. Mungkin ini yang banyak diminati oleh orang-orang. Ketika melaksanakan ibadah, dalam hatinya yang tersirat kata surga, dalam pikirannya terbayangkan surga. Di samping itu, karena takut kepada siksa neraka. Pokoknya, dia beribadah karena ingin merasakan nikmatnya surga.

Andai kata surga dan neraka tidak ada, dimungkinkan hamba yang  beribadah karena merngharapkan surga, tidak lagi melaksanakan ibadah. Artinya, ibadah tidak menjanjikan mendapatkan surga dan terhindar dari siksa neraka. Hamba yang seperti ini, bagaikan pekerja yang mengharapkan upah atau imbalan. Jika tidak dibayar, dia tidak akan melaksanakan pekerjaan yang diberikan kepadanya.

Mungkin juga, jika umpama hamba yang seperti ini dimasukkan nereka oleh Allah, dia akan komplen bahkan menuntut. Karena dia merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah dan pantas mendapatkan surga.

Hamba yang beribadah semata penghambaan

Ada hamba yang sama sekali tidak karena mengharapkan apa-apa dari ibadah yang dilaksanakannya. Dia melaksanakan ibadah semata-mata karena menghambakan diri pada Allah. Dia tidak memandang apa-apa, bahkan surga yang dijadikan jaminan bagi hamba yang ahli ibadah, baginya tidak ada apa-apanya.

Hamba yang seperti itu adalah hamba yang benar-benar menyadari keberadaan dirinya di dunia. Dia hanya merasa bahwa dirinya tidak pantas mengharapkan apa-apa kepada Allah dari ibadahnya yang dia dilakukan. Bahkan, dia merasa dengan diciptakan dirinya di dunia ini sudah melebihi dari ibadahnya yang dianggap kecil. Dia merasa tidak pantas jika mengharapkan imbalan dari Allah hanya karena melaksanakan ibadah. Semaksimal apapun ibadah yang dilaksanakannya, tetap merasa tidak bisa dibandingkan dengan nikmat Allah yang diberikan kepada dirinya selama dia hidup.

Jadi, dia beribadah tidak lain hanya sebagai wujud penghambaan kepada Allah. Jika dia berharap dari ibadahnya, mungkin dia hanya berharap rido Allah, tidak lebih dan tidak lain dari itu.

(Gus Tama)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »