ASWAJADEWATA.COM |
Kehancuran ISIS membawa perubahan pada kota Baghdad, Irak. Ditandai dengan dirobohkannya tembok pengaman yang melindungi gedung-gedung pemerintahan, hotel dan kedutaan di dalam zona hijau. Gantinya, pemerintah membangun taman dan ruang terbuka hijau.
Tembok pengaman itu selama ini menjadi tugu peringatan betapa situasi damai di Baghdad tidak pernah berusia lama. Kini setelah dirobohkan, Baghdad perlahan kembali berjejak di peradaban modern. Salah satunya dengan dibukanya kedai kopi khusus perempuan, di mana mereka bisa bercengkrama tanpa hijab atau harus didampingi muhrimnya masing-masing.
Di kota yang remuk oleh kekerasan dengan bungkus agama itu, La Femme café menjadi oase kebebasan yang langka dan rapuh. “Para ayah tidak ingin anak perempuannya pergi ke café dan menghisap sisha,” kata pemilik La Femme, Adra Adel-Abid. Perempuan 47 tahun itu menyediakan nargileh, sejenis sisha, dan cocktail non alkohol untuk para pengunjung.
Pelanggan La Femme kebanyakan berasal dari kelas menengah atau kaum elit ibukota. Lima tahun silam Adel-Abid mengaku mustahil mendirikan kedai khusus perempuan lantaran intimidasi kelompok radikal.
“Dulu orang sangat takut. Sekarang ada atmosfer keterbukaan di sini,” katanya.
Jatuhnya ISIS ikut menyingkap wajah Baghdad yang lain. Di kawasan Mansour, di mana La Femme café berdiri, kini perempuan dan laki-laki bercampur baur di kedai kopi atau restoran – sesuatu yang langka sebelumnya. Aura keterbukaan yang baru pun mendorong perempuan seperti Adel-Abid untuk memperjuangkan kebebasan mereka di ruang publik.
Para wanita Baghdad kini mulai berani mengenakan pakaian cerah dan berwarna, tanpa perlu berlindung di balik cadar hitam. Hijab tidak lagi menjadi tren absolut di kalangan kaum muda dan celana jeans mulai membanjiri toko-toko pakaian perempuan.
Kebebasan serupa dinikmati Merry al-Khafaji, seorang penganut Syiah, yang menikahi seorang Sunni bernama Mustafa al-Ani. Pernikahan mereka memperkuat kesan perubahan di Irak yang kian terbuka usai era kegelapan di bawah “Islamic State.”
Menurutnya, pada era Saddam Hussein sebelum kejatuhannya tahun 2003 lalu, warga Irak terbiasa menikahkan putra-putrinya dalam perkawinan campur. Segregasi baru terjadi di era pemerintahan saat ini, diskriminasi penduduk dibagi-bagi berdasarkan keyakinannya masing-masing. Situasi ini lah yang memicu perang antar sekte dan kelahiran ISIS di Irak.
“Tapi setelah ISIS, semakin banyak yang bertekad meninggalkan periode kegelapan itu dan kembali ke era sebelum adanya pemisahan keyakinan,” kata Merry al-Khafaji.
Perubahan berkat Anonimitas Media Sosial
Era kebebasan di Baghdad sekarang tak terlepas dari peran media sosial. Kebanyakan pengguna muda tidak memakai nama keluarga karena bisa mengungkap agama, sekte atau mahdzab. ini dirasa dapat mendekatkan kaum muda tanpa label agama.
Uniknya anonimitas media sosial di kalangan kaum muda Irak turut menghasilkan ruang bagi kritik sosial. “Kaum muda Sunni dan Syiah kini menjadi lebih kritis terhadap peran agama, serta pandangan terhadap partai yang berlandaskan agama,” kata Mustafa al-Ani.
Tapi meski perkawinan campur “menjadi sangat normal” di Baghdad saat ini, kata Mustafa, percampuran semacam itu masih tergolong langka di wilayah lain di luar ibukota.
Dukungan Keluarga bagi Perempuan
Catatan sipil di Irak mewajibkan setiap pasangan menentukan satu agama dalam pendaftaran. Jika terdapat perbedaan madzhab, keduanya pun diminta menentukan salah satu yang dijadikan acuan. Mustafa dan Merry misalnya memilih ajaran Sunni sebagai dasar hukum pernikahan mereka.
“Hakim di pengadilan menganjurkan sebaliknya,” kata Merry. “Tapi saya tidak peduli,” imbuhnya.
Hanaa Edwar, Direktur LSM Amal Association di Irak, menjelaskan perbaikan pada kondisi keamanan ikut menggerakkan perubahan sosial di Baghdad. “Sekarang para perempuan muda merasa situasi sudah aman dan mereka bisa hidup normal kembali. Mereka melepaskan jilbab dan mulai aktif di sosial. Dan keluarga mereka menyetujui aktivitas anak perempuannya itu.”
“Wanita kembali aktif di dunia teater yang dulu mustahil. Mereka mulai berani berbicara di depan publik, misalnya untuk melawan pernikahan paksa. Mereka merobohkan tembok dan bahkan mulai meninggalkan tradisi tribalismenya sendiri,” ujarnya. (rzn/ap)
Sumber berita/foto: DW.COM