ASWAJADEWATA.COM |
Nasab atau keturunan itu penting diperhatikan. Sebagaimana dalam hadits tentang ketentuan memilih pasangan. Menikahilah karena nasabnya (yang baik). Karena nasab adalah salah satu yang bisa menentukan kebaikan bagi keturunan.
Oleh sebab itu, tradisi di kalangan umat Islam, merupakan suatu keharusan memuliakan keturunan Rasulullah. Begitu juga keturunan orang-orang saleh, yaitu para ulama, kiai atau tokoh agama di tempat tertentu.
Nasab yang baik selain karena memang keturunan Rasulullah, juga bisa karena nasab dari orang-orang saleh sebelumnya. Bahasa masyarakat nusantara, memiliki leluhur yang keramat (karomah).
Seseorang akan dianggap sebagai anak keturunan bernasab saleh bila memiliki leluhur yang saleh, yang dikenal oleh masyarakat. Misalnya, mbahnya seorang habib atau kiai yang ‘alim dan memiliki jejak perjuangan dakwah di masyarakat.
Keyakinan masyarakat dan memang ‘adah (lumrah)nya, anak-anak dari keturunan orang saleh, habib atau kiai, akan mendapatkan “titisan” dari abah-mbah dan para leluhurnya. Sehingga ada bahasa “Senakal-nakalnya anak seroang kiai, suatu saat akan kembali pada jalur leluhurnya”
Memiliki nasab yang baik, yang menyambung kepada orang-orang saleh, merupakan suatu kemuliaan yang harus disyukuri. Namun demikian, ada yang salah menggunakannya. Malah digunakan untuk membanggakan diri.
Membanggakan nasab itu boleh bahkan penting menurut Gus Baha’. Namun membanggakannya bukan untuk kegagahan apalagi kesombongan.
Gus Baha’ dalam ceramahnya pada acara Haul K.H.R. Asnawi Ke-63 1442 menyampaikan, “Membanggakan nasab itu penting. Pentingnya itu bukan untuk gagah-gagahan. Dawuhnya Imam Syafi’i’ “littasyarruf wattajannub ‘an madainil akhlaq”. Jadi bangga dengan nasab itu bukan untuk gagah-gagahan tapi ketika mau melakukan sesuatu yang tidak pantas, memiliki rasa malu. Masa’ turunannya Raden Asnawi tidak bisa baca kitab, kan malu. Rasanya tidak pantas”.
Dengan demikian, jika ingin membanggakan nasab itu maka harus 1) Bukan untuk kegagahan dan kesombongan, 2) sebagai motivasi menjadi orang saleh, 3) melanjutkan keilmuan dengan cara ‘alim. Misal “Abah dan Mbah saya ‘alim, masa’ saya nggak ‘alim?!”
Sebagaimana Gus Baha’ juga berpesan, “Memiliki Mbah-mbah yang saleh itu harus dimanfaatkan”. Dimanfaatkan dalam arti menjadi motivasi diri dan percaya diri bahwa pasti bisa menjadi orang saleh juga. (GT)