ASWAJADEWATA.COM-Dalam agama kita, Islam, ada tiga komponen ajaran yang harus dipahami. Yaitu akidah, fikih dan tasawwuf. Akidah membahas tentang keyakinan kita sebagai hamba kepada Allah dan rasul-Nya. Fikih membahas tentang hukum praktis atau ‘amaliyah seorang muslim. Sementara tasawwuf membahas tentang bagaimana menjadi pribadi yang ikhlas, sabar, wara’ dan seterusnya.
Menurut Gus Baha’, “Tasawwuf sukses mengajarkan seorang hamba melihat alam raya ini semuanya nyaman, termasuk yang mengecewakan”. Karena ilmu tasawwuf mengajarkan kita sebagai manusia untuk menyadari bahwa semuanya takdir Allah.
Contoh gampangnya, ketika kita mencintai seseorang dan berkeinginan menikahinya, ternyata gagal. Jika kita tidak menilai kegagalan tersebut dengan kesadaran sebagaimana yang diajarkan ilmu tasawwuf, maka kita pasti kecewa, sedih, tak bisa move on bahkan bisa putus asa. Karena merasa kehilangan orang yang kita cintai.
Namun, jika kita menyadari kegagalan memiliki seseorang yang dicintai dengan pemahaman ilmu tasawwuf maka kita tidak kecewa, tidak larut dalam kesedihan dan tak akan putus asa. Justru kita akan sabar, ikhlas menerima takdir Allah dengan menyadari bahwa jodoh hanya Allah yang menentukan, seraya kita berkata “Aku gagal memiliki dia, mungkin karena Tuhan mau memberi yang lebih baik… buat dia”. Hahahah… ini tasawwuf santuy, broo
Gus Baha’ memberi contoh kisah seorang ulama sufi, Imam Ahmad. Suatu ketika di zaman itu, Imam Ahmad dipanggil tetangganya, seorang anak muda. Pemuda ini memanggil Imam Ahmad, “Ya Ahmad datang ke rumah saya”. Imam Ahmad datang. Setelah sampai ke rumah pemuda tadi, si pemuda bilang, “Sudah, pulang, saya sudah tak butuh”. Imam Ahmad pulang. Setelah sampai rumah, Imam Ahmad dipanggil lagi. Si pemuda bilang lagi, “Saya gak jadi butuh”. Sampai tiga kali.
Kejadian tersebut tidak membuat Imam Ahmad merasa tersinggung, kecewa apalagi terprovokasi hingga emosi. Imam Ahmad tetap datang dan pergi sesuai permintaan si pemuda dan Imam Ahmad nyanam-nyaman saja dan tersenyum. Lama-lama si pemuda bertanya, “Ya Ahmad, saya perlakukan seperti ini kenapa kamu tidak tersinggung dan kelihatan nyaman-nyaman saja dan tersenyum”
Jawaban Imam Ahmad unik, “Wahai pemuda, kamu manggil saya, saya seneng sekali. Karena sabda Nabi, kalau kamu iman kepada Allah dan Rasul maka hormatilah tetangga. Jadi saya seneng dipanggil kamu. Karena mengikuti perintah Allah agar menghormati tetangga. Tidak ada urusannya dengan kamu. Urusan saya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala”
Seorang sufi seperti Imam Ahmad atau ulama sufi yang lain, pasti memiliki karakter dan sifat demikian. Karena orang yang sudah memilki ilmu dan mengamalkan ilmu tasawwuf, bawaanya kepada siapapun pasti lembut, santai, penuh kasih sayang, tidak akan mudah terprovokasi oleh kondisi apapun.
Bagi seorang sufi, apapun yang terjadi, semuanya dikembalikan kepada Allah dengan penuh keyakinan dan kepasrahan. Oleh sebab itu, seorang sufi tidak akan terdekte apalagi terprovokasi oleh manusia.
Demikian keutamaan ilmu tasawwuf. Orang yang sudah berkarakter sufi, tidak akan melihat dunia ini ruwet, meski dalam kondisi sembrawut. Bahkan, meski ada orang yang membencinya, mencaci maki, menfitnah, menyakiti, bagi seorang sufi ya gak berpengaruh alias gak ngefek. Justru seorang sufi yang diperlakukan buruk oleh orang lain akan merasa nyaman dan hikmah yang dirasakan, dan malah akan lebih mendekatkan diri kepada Allah.