Friday 19th April 2024,

Habib Ali Bafaqih, Penyebar Kalimah Ilahi di Barat Pulau Dewata

Habib Ali Bafaqih, Penyebar Kalimah Ilahi di Barat Pulau Dewata
Share it

ASWAJADEWATA.COM |

Islam merupakan agama rahmat seru sekalian alam. Islam adalah agama yang mengajarkan toleransi tinggi dengan tetap memegang teguh aqidah. Islam disebarkan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sehingga banyak orang tertarik memeluknya.

Di tengah hingar bingar Bali yang mendunia akan pariwisata dan adat Hindu yang begitu kental ini, agama Islam masuk lewat para dai’ yang dengan santun mendakwahkan risalah kenabian ini, salah satunya yakni Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih.

Habib Ali Bafaqih dilahirkan pada tahun 1882 di Kampung Arab, Lateng, Kabupaten Banyuwangi dari pasangan Habib Umar Bafaqih (Wafat di Banyuwangi pada usia 150 Tahun) dan Syarifah Nur bin Abdullah Al-Haddad seorang Hafidzoh Al-Qur’an. (Wafat di Usia 135 tahun pada 1964). Dari sepasang keturunan Rasulullah SAW inilah beliau sejak kecil dididik dengan baik, sampai bisa menguasai nahwu shorof di usia 7 tahun dan menghafal Al-Qur’an di usia yang sama, dan hal ini mengingatkan kita pada kisah Imam Syafi’i.

Setelah dididik kedua orang tuanya, beliau melanjutkan studinya ke para ulama lainnya seperti Habib Muhammad Ba’abud dan Kyai Soleh Lateng. Kemudian pada usia 15 tahun beliau belajar ke Bangkalan untuk berguru pada, KHR. Muhammad Khalil. Sosok yang dikenal sebagai Syaikhona Kholil Bangkalan ini memang terkenal dengan kealiman, kezuhudan dan kewaliannya, sehingga tak heran dari tangan dinginnya mampu mendidik ulama besar di Tanah Jawa seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab Hasbulloh, (Pendiri Nahdatul Ulama) KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansyur (Pendiri Muhammadiyyah), KH. Syamsul Arifin dan putranya KH. As’ad Syamsul Arifin (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo, Banyuputih, Situbondo), KH. Munawwir (Pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak), KH. Abdul Karim atau Mbah Manaf (Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo), dan ulama besar lainnya.

“Sesampai di Bangkalan dari perjalanan panjang dari Banyuwangi, dengan penuh suka cita Syaikhona Kholil menyambutnya, terlebih beliau dari kalangan habaib yang berkenan menimba ilmu padanya. Habib Ali Bafaqih ketika itu dikenal cukup cerdas, maka hanya dalam waktu seminggu beliau mondok, Syaikhona Kholil langsung memintanya membantu mengajar para santri.” Tutur Habib Hadi bin Ali Bafaqih, Putra Habib Ali Bafaqih saat kami temui di Areal Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Loloan Barat, Negara, Jembrana, Bali, (14/12)

“Setelah 3 Bulan lamanya Habib Ali Bafaqih menyantri disana, beliau diminta keluar karena ilmunya sudah cukup, hal ini juga diluar kebiasaan karena umumnya santri Syaikhona baru empat
sampai lima tahun mereka baru diperbolehkan pulang” tambah Habib Hamid Bafaqih

Saat kepulangan Habib Ali dari pesantren, beliau diberikan wasiat oleh Syaikhona Kholil

“Bib, sampean sudah alim, dan Insya Allah bisa pergi haji sampai 7 kali”

Dan doa tersebut akhirnya terkabul, ketika menjelang usia 17 tahun atau sekitar tahun 1899, Habib Ali berlayar menuju tanah suci Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya kepada beberapa ulama tersohor ketika itu seperti Sayyid Abbas Al Maliky Al-Hasani, Sayyid Alwi bin Abbas Al-
Maliki Al-Hasani (Ayah Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani), Syekh Umar Hamdan Al-Mahrusy, Syekh Nawawi Al-Bantani dan banyak guru lainnya. Keberangkatannya ke Mekah ini atas “sponsor” Haji Ali dari Pulau Sapeken, Madura. Selama di Makkah, Beliau bermukim di Syiib Ali (Mekkah) selama kurang lebih tujuh tahun lamanya.

Sepulang dari Mekah, Habib Ali kembali ke tanah air, beliau sempat nyantri di Pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasbullah, ayahanda KH. Wahab Hasbullah. Selain mendalami ilmu Agama, di waktu mudanya beliau dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh. Setelah itu, Beliau sempat mengajar di Madrasah al-Khairiyah selama setahun di tanah kelahirannya Banyuwangi. Sebelumnya studi di Mekkah beliau juga sempat lama mengajar di madrasah.

Selanjutnya beliau hijrah ke Pulau Seribu Masjid, Lombok. Disana beliau berdakwah bersama KH. Soleh Hanbali Bengkel, Lombok Barat. Selain itu beliau menjalin persahabatan dengan Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid, Pendiri Jamiyyah Nahdlatul Wathon. Begitu akrabnya beliau berdua, setiap kali beribadah haji maka berjalan bersama kemanapun tujuannya.

Pernah suatu ketika saat Habib Ali Bafaqih sudah bermukim di Bali, salah satu anggota TNI dari Kodim di daerah sana pada hari Jum’at selalu diberi pesan agar menelpon Tuan Guru Zainuddin agar menyampaikan salam kepada kakek Tuan Guru Bajang KH. Zainal Majdi, Mantan Gubernur NTB. Namun di luar dugaan, Tuan Guru zainuddin memberi tahu bahwa Habib Ali Bafaqih berkunjung ke kediaman beliau. Malah beliau berkata bahwa cangkir beliau belum kering. Padahal di saat bersamaan Habib Ali Bafaqih berada di Loloan.

Setelah lama berdakwah di Lombok, maka atas saran dari istrinya Syarifah Zainah beliau berhijrah ke Pulau Dewata Bali.Kehadirannya di Pulau Seribu Pura ini dilakukan atas permintaan Datuk KH. Mochammad Said, seorang ulama besar di Loloan, Negara, Jembrana.

Sebagaimana dituturkan Habib Salim bin Ali Bafaqih putra Bungsu Habib Ali Bafaqih, bahwa sebelum ke Loloan beliau sempat menetap di Kampung Kepaon Kota Denpasar sekitar tahun 1920 dan sempat menetap di Kampung Air Kuning. Barulah pada tahun 1935 beliau berpindah ke Negara, tepatnya di Desa Loloan Timur, Negara, Jembrana.

Berkat kedatangannya, mulailah tumbuh syiar Islam yang berbinar di Loloan. Saat berdakwah di kawasan minoritas muslim ini, beragam halangan, rintangan dan ancaman dihadapinya dengan penuh kesabaran. Karena inilah resiko perjuangan seorang yang berdakwah di jalan Allah SWT.

Barulah pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren Syamsul Huda sebagai kaderisasi generasi islam. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Kharismanya juga menarik minat kaum muslimin dari berbagai daerah untuk bersilaturrahmi ketika mereka akan berwisata ke Pulau Dewata ini. Mereka yang datang dari Jawa, Sumatera, Madura dan daerah lainnya sowan untuk sekedar mendengar petuah mulianya seraya memohon keberkahan doa beliau.

Dari didikan disertai doa tiada henti lahirlah ulama, da’i di penjuru tanah air.
Banyak santri-santrinya yang berkiprah dan berdakwah di berbagai daerah seperti Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), Habib Hadi Basalamah (Madinah), Habib Agil Al-Atthas Jember, Habib Ali Al-Habsyi Jember, KH. Abu Amar Pasuruan, dan lain-lain.

Habib Muhdlor Ahmad Assegaf, Pemalang mengatakan bahwa sekitar tahun 1997 KH. Abdullah Salam Kajen dan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya datang bersilaturahmi di rumah Habib Ali Bafaqih, Loloan, Negara, Bali. Pada kesempatan itu Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya dibaiat Thariqah Qadiriyah oleh Habib Ali Bafaqih. Dari beliaulah salah satu sanad Thariqah Qadiriyah Habib Luthfi Bin Yahya yang bersambung ke Syaikhona Kholil Bangkalan.

Setelah itu Habib Ali Bafaqih melantunkan beberapa syiir Arab yang berakhiran huruf ra’ dan fa’, yang berisikan pujian kepada Habib Luthfi. Lalu dilanjutkan dengan memberikan berbagai wasiat khusus untuk Habib Luthfi Bin Yahya dan KH. Abdullah Zein Salam.

Para santri Habib Ali Bafaqih lainnya belajar membaur dengan kehidupan masyarakat Loloan yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama besar dari berbagai daerah, seperti Syekh Dawam Sirojuddin atau dikenal Buyut Lebai, ulama besar dari Trengganu (Malaysia) yang meninggalkan negerinya untuk berhijrah ke Loloan pada tahun 1669, Ada juga Syarif Abdullah Yahya Al-Qadri dari Kesultanan al-Qadrie Pontianak, Cik Ya’kub saudagar dari Melayu yang mewakafkan tanah untuk dibangun Masjid Jembrana yang saat ini berubah nama menjadi Masjid Agung Baitul Qodim, Loloan Timur.

Selama hidupnya Habib Ali Bafaqih sempat beberapa kali menikah dan dikaruniai sepuluh putra dan putrinya diantaranya: Alwi, Thalhah, Fitriyah, Hadi, Umar, Muhammad, Nur Hayati, Halimah, dan Salim.

Sepanjang hidupnya beliau selalu istiqomah berdakwah di jalan Allah. “Abah selalu berkeliling ke berbagai ulama-ulama di sekitar Loloan seperti KH. Abdurrahman, Guru Nuh, Ustadz Ahmad Dahlan dan lain-lain. Bahkan Abah sesekali juga hadir dalam majelis Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang, Jakarta” kenang Habib Hamid Bafaqih.

Bahkan belum lama ini datang seorang kyai beserta rombongan dari Lumajang yang berkata pada Habib Hamid bin Ali bahwa lima tahun silam, Habib Ali Bafaqih datang ke kampungnya.Padahal Habib Ali.Bafaqih sudah wafat 20 tahun silam.

Subhanallah begitulah karomah para auliya’ Allah. Jasad mereka memang telah mati, tapi ruh mereka tetap dihidupkan oleh Allah SWT dan mampu memberi berkah bagi yang hidup. Hal serupa juga ternyata pernah terjadi pada sosok KH. Hamim Jazuli atau akrab disapa Gus Miek Ploso Mojo Kediri yang mampu menginsafkan dua orang pimpinan preman di Surabaya padahal beliau sudah lama berpulang ke Rahmatullah.

Setiap yang hidup pastilah akan menjemput ajal begitu juga kekasihnya, Habib Ali Bafaqih yang menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 27 Februari 1999 pada usia 117 tahun dan dimakamkam di Areal Pesantren Syamsul Huda, Jalan. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana.

Mendengar kabar wafatnya ulama pewaris nabi ini, kaum muslimin dari berbagai daerah pun memberikan penghormatan terakhir kepada sosok yang begitu besar jasanya dalam mendakwahkan Islam di pulau yang mayoritas penduduknya masih memeluk agama Hindu ini.

Berkat perjuangan dan kegigihannya dalam mensyiarkan agama dan juga ketinggian ilmunya maka beliau dianggap sebagai salah satu “Wali Pitu Bali” yang ditemukan lewat riyadhoh oleh almaghfurlahu Habib Thoyyib Assegaf dari Waru Sidoarjo.

Kini Makam beliau banyak dikunjungi atau diziarahi orang dari berbagai pelosok negeri mulai dari Jakarta, Bandung, Lampung, Kalimantan, Sumatera, tak kurang dari 10 Bus pariwisata yang datang setiap harinya ke Loloan. Saat ini jujukan jamaah setelah sepeninggal beliau adalah putra-putranya seperti Habib Hadi bin Ali Bafaqih dan Habib Salim bin Ali Bafaqih.

Setiap minggu kedua bulan Dzulqo’dah, masyarakat sekitar memperingati haul beliau, yang diisi dengan pembacaan maulid, tahlil dan mauidhoh hasanah.

Syiar Islam di Bali pada masa silam telah meninggalkan sejumlah “Karya Besar” yang pada masanya kini dapat dijadikan landasan kokoh di masa-masa yang akan datang. Kampung Muslim Loloan merupakan wujud nyata dan menjadi legenda syiar Islam yang tetap hidup meski harus berjuang di lingkungan yang menggambarkan era islam di masa Jawa Pra-Wali Songo ini.

Semoga kita bisa mengambil berkah dari saripati keilmuan beliau dan melanjutkan estafet perjuangan dakwahnya. Karena sudah menjadikan kewajiban seorang muslim harus mensyiarkan islam sesuai dengan kemampuannya lewat lisan, tulisan, atau minimal dengan menunjukkan akhlak mulia kepada sesama umat manusia. Meski begitu hidayah hanyalah milik Allah SWT yang mempunyai hak preogratif untuk memberikan hidayah kepada siapapun yang dikehendakinya. Sebagaimana firman-Nya yang turun ketika Rasulullah SAW menginginkan paman yang begitu besar pembelaannya dalam islam namun sampai wafatnya tak mampu mengucapkan dua kalimah tauhid.

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
(Surat Al-Qashash: 56)

Semoga kita semua senantiasa rahmat hidayah serta inayahnya dan mohon jangan lupa selipkan doa mulia agar saudara-saudara kita di Bali ini oleh Allah diberikan hidayah oleh-Nya untuk kembali ke jalan yang bebar yakni ad-Dinul Islam sehingga kelak kita semua akan dipertemukannya di surganya kelak beserta Rasulullah SAW.

اللهم اختم لنا با الايمان اللهم اختم لنا بالاسلام اللهم اختم لنا بحسن الخاتمة

Jembrana,14 Desember 2019

Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara

Like this Article? Share it!

2 Comments

  1. Agus December 15, 2019 at 11:32 pm

    Ralat judul, kata Illahi. Yg benar Ilahi, cukup satu huruf ‘L’ saja.

Leave A Response

Click here to cancel reply.

Translate »