Friday 29th March 2024,

Jum’atan Diliburkan; Islam Mendahulukan Menjaga Jiwa

Jum’atan Diliburkan; Islam Mendahulukan Menjaga Jiwa
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Islam sebagai agama memiliki lima tujuan pokok yaitu, hifzhuddin (menjaga agama), hifzhunnafs (menjaga jiwa), hifzhul’aql (menjaga akal), hifzhul’ardl (menjaga kehormatan), dan hifhzhulmal (menjaga harta). Lima tujuan ini merupakan kemaslahatan primer atau elementer bagi manusia. [Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh].

Dengan lima tujuan tersebut, Islam senantiasa menjaga dan memperhatikan manusia dalam setiap situasi dan kondisi. Sehingga dalam setiap ketentuan hukumnya, pasti terdapat dimensi kelenturan atau dalam ushul fikihnya diistilahkan rukhshah. Rukhshah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk memberikan keringanan pada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan tersebut diberikan. [Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, Syekh Zakaria al-Anshari, Ghayatul Wushul Syarh Lubbil Wushul]

Hukum ruskhshah inilah yang menjadi bukti bahwa Islam sangat memperhatikan penganutnya, sekaligus menjaga konsistensi dari kelima tujuan pokok dalam Islam itu sendiri. Jika hukum rukshah ini tidak ada maka lima tujuan tersebut akan sulit terwujud. Semisal orang sakit tetap diwajibkan berpuasa, maka tujuan Islam menjaga jiwa tidak terealisasi.

Begitu juga dengan kondisi saat ini, wabah covid-19 yang melanda negeri tercinta, telah mengancam jiwa manusia. Wabah COVID-19 ini dengan sangat cepat menyebar dan menular kepada manusia yang kemudian mengancam kesehatan bahkan berdampak fatal yaitu kematian. Penyebaran yang sangat cepat ini disebabkan ketika orang-orang berkumpul. COVID-19 menyerang dengan sangat cepat dalam kerumunan manusia.

Oleh sebab itu, sudah banyak himbauan bahkan instruksi agar tidak ada kegiatan yang melibatkan banyak orang, atau dilarang berkumpul dalam satu tempat. Kegiatan keluarga, sosial bahkan keagamaan juga dihimbau bahkan dilarang dilaksanakan. Tujuannya agar wabah COVID-19 tidak menyebar lebih luas. Atau istilah viralnya, mencegah dan melawan COVID-19.

Nah, bagaimana dengan kegiatan agama yang bersifat wajib seperti solat Jum’at, yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaanya? Untuk menjawab hal ini, prinsipnya dikembalikan kepada kepedulian Agama untuk menjaga jiwa. Bahwa, ketika kondisinya mengancam jiwa, maka kewajiban melaksanakan shalat Jum’at, satus hukum melaksanakannya menjadi haram.

Berubahnya status hukum tersebut bukan berarti menafikan syari’at shalat Jum’at lho, ya! Sebagaimana yang dihebohkan oleh sebagian orang, karena menganggap telah meniadakan shalat Jum’at. Harus dipahami, perubahan status hukum ini tekait dengan hukum ‘azimah dan rukhshah. Berubahnya hukum ‘azimah kepada hukum rushksah inilah yang mencerminkan Islam sebagai agama yang lentur, memperhatikan kondisi umat muslim.

Dengan demikian, berubahnya hukum shalat Jum’at menjadi shalat zhuhur di rumah masing-masing merupakan hukum rukhshah. Tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan yang bersifat elementer (mashlahah dlaruriyah), demi menjaga jiwa (hifzhunnafs). Terlebih ini untuk menjaga kemaslahatan dan keselamatan jiwa manusia secara umum (mashlahah ‘ammah).

Namun demikian, mengganti shalat Jum’at dengan shalat dzhuhur dalam kondisi COVID-19 tentu tidak serta merta dilakukan tanpa melihat kondisi yang terjadi. Kita harus merujuk kepada keputusan hukum yang ditetapkan oleh para ahli hukum Islam (fuqaha’) dan instruksi pemerintah terkait COVID-19.

Seperti putusan hukum terkait shalat Jum’at dalam kondisi COVID-19 yang dikeluarkan oleh PBNU.  Dalam putusan dan himbauannya, jika kondisinya termasuk zona kuning (daerah potensi terkena wabah Covi) maka dianjurkan shalat dzhuhur di rumah masing-masing dan tidak shalat Jum’at. Bagi daerah yang kondisinya masuk zona merah (daerah yang sudah kena wabah) tidak boleh menyelenggarakan shalat Jum’at. (LBM PBNU)

Untuk menentukan zona kuning atau zona merah, harus mengikuti himbauan atau instruksi yang berwenang di daerahnya masing-masing. Untuk di Bali tentu mengikuti himbauan dari pihak pemerintah Bali. Untuk di Kota dan Kabupaten juga mengikuti himbauan dan instruksi dari pihak yang berwenang yang melanjutkan dan menguatkan keputusan pemerintah provinsi Bali. Sebagaimana yang disampaikan KH. Afifuddin Muhajir.

“Kita sebagai warga Indonesia yang baik wajib mentaati ulil ‘amri,” tegas Rais Syuriah PBNU itu.

(Gus tama)

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »