ASWAJADEWATA.COM
Beberapa hari lalu ada video berdurasi kurang lebih 2,5 menit sempat viral di jagad maya, yang menayangkan doa bersama umat Muslim dan Hindu dalam satu area Pura. Banyak yang mempertanyakan kasus yang agak sedikit unik ini. Kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana latar belakangnya?
Beberapa informasi dari tempat kejadian tersebut, menyebutkan bahwa sesungguhnya tayangan di video tersebut adalah secara kebetulan saja. Yakni bertepatan acara umat Hindu dan Muslim dalam melaksanakan peribadatan di tempat itu. Pada dasarnya tradisi itu, pelaksanaannya tidak bersamaan. Tradisi turun temurun itu baik di pihak Muslim maupun Hindu, mereka melaksanakannya di tempat yang sama. Bertempat di dalam area Pura Bhur Loka Bukit Tabuan desa Seraya Kecamatan Karangasem Kab. Karangasem, Bali.
Lalu kenapa umat Muslim Bukit Tabuan melaksanakan doa bersama dengan melantunkan sholawat Nabi diiringi kesenian hadrah di area Pura itu? Padahal area itu adalah tempat peribadatan umat Hindu yang sangat sakral bagi umat Hindu.
Sejarah awal mula kegiatan keagamaan (tradisi masyarakat) yang dilaksanakan oleh umat Islam di pura yang nota bene milik ummat Hindu itu, adalah bermula dari sejarah awal masuknya Agama Islam di Karangasem, khususnya di wilayah Banjar Bukit Tabuan.
Ritual semacam ini secara historis sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini. Di mana umat Islam selalu berdoa di pura pada setiap bulan Safar yang diistilahkan dengan Safaran atau Nyafar. Biasanya dilaksanakan setiap tahun di hari Rabu terakhir di bulan Safar (Rabu Pungkasan istilah Jawa). Sebagaimana sebagian besar umat Islam di Kabupaten Karangasem juga melaksanakan doa yang sama di tempat yang lain pada saat yang sama baik di setiap masjid, mushalla maupun juga biasanya di pinggiran sungai. Jika di daerah lain, ada yang dilaksanakan di pinggiran pantai sebelum mereka mandi safar sebagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun dengan tujuan utama adalah mohon keselamatan kepada Allah SWT dari segala bencana dan musibah.
Namun yang sedikit unik adalah kegiatan safaran umat Islam di wilayah kampung Bukit Tabuan Karangasem ini, di mana masyarakat setempat justru berdoa di areal sebuah Pura yang notabene adalah tempat ibadah bagi umat Hindu. Semua itu tidak lepas dari sejarah awal mula masuknya agama Islam di wilayah Kampung Bukit Tabuan.
Sesuai dengan informasi dari salah satu tokoh Muslim di sana yang bernama Bpk. Mahyudin sebagai Kelian Banjar Dinas di Wilayah tersebut, bahwa ketika pertama pembabatan hutan di wilayah itu sebelum terjamah oleh orang. Waktu itu ada seorang muslim pendatang yang masih menganut ajaran “Waktu Telu” bernama Nur Timin. Beliaulah yang pertama membuka lahan dan membangun semacam pesantren dalam istilah Islam. Ketika itu berupa mushalla kecil untuk melaksanakan kewajiban sesuai ajaran yang diyakininya yakni ajaran “Waktu telu”, yang banyak tersebar di wilayah Lombok bagian utara saat ini. Bahkan sampai sekarang juga masih banyak warga Lombok yang meyakini ajaran “Waktu telu”. Dipandang dari sudut ajarannya yang menyimpang, tapi mereka mengklaim diri sebagai bagian dari umat Islam meskipun sekarang ajaran itu sudah tidak ditemukan lagi di Banjar Bukit Tabuan Karangasem.
Di Banjar Bukit Tabuan tersebut yang pertama kali menghuni adalah warga muslim sendiri yang saat ini sudah berjumlah kurang lebih 106 KK atau sekitar 400 jiwa warga muslimnya.
Kembali pada soal sejarah Islam di Banjar Bukit Tabuan yang dibawa oleh Nur Timin dengan ajaran Waktu Telu-nya yang diyakininya. Saat itu mulai membangun “pesantren” yang diistilahkan oleh warga setempat pada hal itu hanya (mushalla kecil) berupa bangunan rumah yang khusus dibangun untuk melaksanakan ibadah pribadi dan keluarga. Nur Timin kebetulan membangun pondasi musholla/pesantrennya tepat berada di pelataran Pura Bhur Loka saat ini yang berarti dalam satu areal dengan bangunan Pura tersebut. Tentunya atas pesetujuan umat Hindu setempat waktu itu. Bangunan itulah yang menjadi prasasti yang disakralkan oleh kedua belah pihak sebagai peninggalan leluhur mereka. Kemungkinan bangunan Musholla yang jadi prasasti itu lebih dahulu dibangun oleh Pak Nur Timin dari pada bangunan pura Bhur Loka sehingga jadi satu areal.
Mungkin karena kedekatan, sehingga mereka tidak dipermasalahkan membangun Pura di areal bangunan Musholla itu. Apalagi Nur Timin juga penganut ajaran Waktu Telu tentu tidak apa melaksanakan peribadatan di tempat itu. Kemudian dilanjutkanlah pemeliharaannya oleh seseorang warga kampung itu bernama Raimin dan Punduh. Maka sejak itulah muncul gagasan dari mereka untuk mendorong semangat toleransi yang dimotori juga oleh beberapa tokoh sesepuh umat Hindu di lingkungan desa Seraya demi terjaganya semangat toleransi dengan tetap meminta kepada umat Islam di sana agar selalu berdoa di palataran pura pada setiap ada acara keagamaan (asalnya memang ada musholla di situ yang menjadi prasasti sekarang).
Biasanya khusus acara yang bersamaan dengan melantunkan doa berupa dzikir dan sholawat terlebih dahulu sesuai ajaran dan kepercayaan dari pihak warga Muslim. Sementara yang di pihak Hindu menyusul kemudian tentunya juga secara ritual Agama Hindu. Jadi acaranya memang asalnya tidak bersamaan (berbeda dengan yang ter-upload di video yang viral itu). Acara tradisi semacam ini tetap terlaksana sampai sekarang ini.
Menurut informasi dari Bapak Mahyuddin selaku tokoh masyarakat di kampung itu, bahwa acara mereka di video yang beredar itu adalah acara yang dilaksanakan satu tahun yang lalu. Kebetulan waktu itu di hari yang sama ada upacara keagamaan yang berbarengan yaitu acara Safaran bagi umat Muslim dan acara Galungan bagi umat Hindu. Maka umat Islam dan umat Hindu berdoa di tempat yang sama yang sebenarnya juga ada musholla (prasasti) yang disakralkan oleh kedua pihak.
Menurut informasi dari Pak Mahyudin melalui wawancara via telephon dengan penulis, bahwa warga muslim yang ada di Banjar Bukit Tabuan berencana akan membangun Prasasti itu (musholla tersebut) dengan harapan agar bisa menjadi salah satu situs/relik peninggalan masa lalu umat Islam Karangasem, sebagai simbol kerukunan antar umat beragama di Bali yang bisa dikunjungi nantinya oleh umat Islam khususnya muslim di Bali sebagai destinasi wisata religi di masa yang akan datang semoga bisa terwujud amin. Wallahu A’lam bis Shawab.
Oleh: Drs. H. Bagenda Ali, M.M/Penulis Buku AWAL MULA MUSLIM DI BALI