ASWAJADEWATA.COM
Dalam video yang diunngah channel you tube Majelis Dzikir Basmalah, Kiai Azaim ditanya, “Kiai, bagaimana menyeimbangkan ikhtiar dan tawakkal?”
Kiai Azaim menjawab:
Saya teringat seorang yang datang berkunjung (sowan) kepada Baginda Nabi. Laki-laki ini meletakkan tunggangannya, seekor unta, dilepas begitu saja di luar masjid. Sesampainya berjumpa Nabi, ditanya “di mana diletakkan kendaraannya (untanya)?”
Dengan polos, jujur dan lugu, laki-laki ini menjawab, “Saya lepas begitu saja, ya Rasulullah. Saya tawakkal”. Mungkin dengan suatu keyakinan bahwa itu (menurut laki-laki itu) adalah konsep yang benar, tawakkal. Urusan nanti dijumpai di mana, ‘alallah, terserah bagaimana Allah yang mengatur.
Tetapi Nabi dalam hal ini, dalam posisi beliau adalah asy-Syari’ tidak merestui, tidak rido dengan sikap itu. Beliau dengan penuh akhlaqul karimah, penuh dengan kasih sayang, merespon bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki ini.
Rasulullah bersabda, i’til fatawakkal, ikat dulu dengan baik barulah kemudian bertawakkal. Pasrah kepada Allah. Berarti ada sebuah proses yang harus dilalui secara fisik, secara zhahir mengikat kendaraan (hewan tunggangan), barulah kemudian bertawakkal yang merupakan ibadah hati.
Ikhtiar dan tawakkal saling berdampingan, berurutan. Setelah ikhtiar baru tawakkal.
(Gus Tama)