ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: H. Bagenda Ali
Saat ini kita dipertontonkan dengan beberapa kasus hate speech ( ujaran kebencian ) antar agama antara lain misalnya kasus Bpk JPZ, MKC dan Ibu DMD serta lainnya terutama jika kita sempat menonton beberapa konten dari channel pribadi maupun publik di You Tube. Tentu ini sangat mengerikan dan sangat tidak mendidik, serta akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan keberagaman dan keberagamaan di tanah air.
Pepatah Inggris mengatakan, “The hate speech will give birth to new hate speech”
maksudnya “Suatu hujatan” pasti akan melahirkan hujatan baru yaitu balasan hujatan dari si terhujat kepada si penghujat dan tak akan sampai di situ saja karena aksi yang sama akan dibalas lagi oleh si penghujat awal dan berulang seterusnya tanpa berkesudahan.
Dalam Al Qur’an Allah SWT melarang keras seorang Muslim untuk menghujat kepada penganut Agama lain yang akan mengundang reaksi hujatan balasan tanpa dasar logika sehat dari si terhujat yang bersangkutan dan hanya berdasar pada sikap emosional semata.
Demikian yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al-An’am : 108
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An’am: 108).
Dalam suatu komunitas plural, setiap individu harusnya menyadari dirinya bahwa mereka berada dalam satu ruang yang isinya berbagai macam jenis yang tentu memiliki identitas dan nilai yang berbeda satu sama lain yang kemudian kita kenal dengan istilah perbedaan SARA ( Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Bahwa perbedaan itu adalah suatu keniscayaan sebagai mana keselarasan dan keharmonisan dari suatu perbedaan itu juga menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan yang berciri keberagaman. Adalah merupakan tanda kekuasaan Allah SWT ketika menciptakan komunitas manusia yang di dalamnya ada perbedaan di antara mereka baik etnis, suku, agama, warna kulit , bahasa dan lainnya sebagaimana dalam Al Qur’an surat Ar Rum ayat 22 Allah SWT berfirman.
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ
Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui’
Merawat Ke-Bhinneka-an tentu bukan hanya sekedar mengumandangkan narasi narasi toleransi yang indah agar kita saling hormat menghormati dan saling menyingkirkan perbedaan yang tidak mendasar di antara kita akan tetapi harus adanya kemauan untuk saling memahami dan kerelaan untuk saling berkorban apa saja yang ada pada diri kita untuk kepentingan orang lain yang berbeda dengan kita tentu saja dengan tetap menjaga identitas kepribadian kita masing-masing. Tanpa itu semua berarti kita hanya melantunkan irama yang merdu tanpa lirik lagu yang bermakna.
Orang bijak mengatakan, “Jika anda ingin dihormati maka hormatilah orang lain lebih dahulu dan kemudian saling memahami kepentingan masing-masing” dan justeru tidak saling menghina dan saling menghujat satu sama lain. Anda tentu ingin dihormati agama yang Anda peluk maka orang lain pun memiliki keinginan yang sama ingin dihormati agama yang dia peluk.
Jangan mengukur suatu keyakinan akan kebenaran menurut ukuran orang lain dengan ukuran kebenaran menurut keyakinan kita karena ukurannya pasti akan berbeda. Sebagai contoh misalnya, Bagaimana mungkin seorang penjahit kain pakaian dengan mengukur kain jahitannya menggunakan ‘timbangan” sedangkan seorang Pedagang kain kiloan dipaksakan mengukur kain dagangannya dengan menggunakan “meteran” meskipun obyeknya sama sama berupa kain oleh karena akan merugikan baginya yakni tidak akan laku dagangannya pada hal mestinya pedagang kain kiloan harus menggunakan timbangan, begitu pula sebaliknya. Kasus macam ini tidak akan bisa ditemukan titik kedamaiannya mana kala saling memaksakan dan tidak ada salah satunya yang mau mengalah / berkorban. Oleh Karena mereka harus mengukur barang dagangannya dengan ukurannya masing-masing kemudian tanpa saling menghujat satu sama lain bahwa alat ukurnyalah yang paling benar di satu pihak dan kepunyaaan pihak yang lain adalah salah.
Di komunitas masyarakat heterogen di segala sudut kehidupan seperti misalnya kehidupan masyarakat plural di Bali maka merawat “Kebhinnekaan” tentu menjadi sangat penting dan diperlukan apa lagi di era menggilanya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi seperti sekarang ini yang seolah tidak ada lagi jarak dan rahasia dalam pergaulan kita, jika saja kemudian antara Penganut Hindu Dan Muslim tidak saling mau memahami dan tidak saling mau mengalah / berkorban terkait adanya berbedaan di antara mereka itu tentu akan menuai masalah serius yang terjadi di antara mereka dan akan saling menyalahkan dan saling menghujat antara penganut kepercayaan yang berbeda itu.
Bisa kita contohkan misalnya ketika ummat Hindu di Bali merayakan hari raya Nyepi di mana saat itu Ummat Hindu melaksanakan serangkaian upacara dalam Agama Hindu yakni Catur Brata Penyepian maka seluruh ummat yang menjadi warga Bali apapun agamanya saat itu harus tinggal di dalam rumah dan tidak boleh keluar dari rumah selama 24 jam jangankan keluar ke jalanan, ke halaman rumah saja tidak diperkenankan demikian pula tentang penerangan rumah tentu juga sangat dibatasi hanya diperbolehkan menyalakan lampu bolam 5 watt itupun cahayanya tidak boleh menyorot keluar dan seterusnya. Siaran radio, TV, layanan internet semuanya di-non aktifkan demi untuk kekhusuan dalam melaksanakan upacara itu bagi ummat Hindu di Bali.
Andaikan saja ummat lain tidak mau tahu dan tidak mau mengalah tentu saja akan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan oleh kedua belah pihak akan tetapi akhirnya mereka ummat lain kenyataannya harus mengalah dan mau berkorban untuk mengikuti segala aturan yang berhubungan dengan perayaan Upacara itu. Demikian pula ketika Ummat Hindu mengadakan suatu acara pesta misalnya yang di dalamnya menghadirkan teman temannya dari komunitas Muslim dan di dalam pesta itu pula disediakan konsumsi untuk kemudian disantap bersama tentu ummat Hindu yang melaksanakan acara itu akan memahami dan akan mengalah untuk kemudian menyediakan makanan dan minuman yang diproduksi oleh komunitas Muslim yang memiliki sertifikasi jaminan produk halal menurut standar Ajaran Islam sehingga teman muslim pun yang akan hadir tentu merasa dihormati dan tidak merasa kecewa dan lain sebagainya. Andaikan saja ummat Hindu tak mau mengalah tentu pihak Muslim akan merasa tidak dihormati dan bahkan kemungkinan tidak akan menyantap hidangan yang telah tersaji. Oleh karena mereka memiliki patron keagamaan yang mereka harus laksanakan secara mutlak.
Inilah sebagian dari tradisi hubungan keberagaman dalam keagamaan yang berbeda yang dibangun antara Hindu dan Islam selama ini di Bali dan sudah berlangsung ratusan tahun lamanya yang ternyata tidak pernah ada problem karena adanya sikap saling memahami dan saling rela untuk mengalah sepanjang tidak menyentuh hal-hal prinsip dalam setiap agama dari masing-masing agama.
Di sinilah perlunya kita menyadari tentang betapa pentingnya merawat konsep “Kebhinnekaan” hidup dalam wadah negara NKRI ini, bahwa kita hidup dengan keragaman yang penuh dengan warna warni berbeda raga namun tetap dalam satu jiwa bukankah kita adalah merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni oleh lebih dari 1.340 suku bangsa.?
Kesadaran dalam merawat kebhinnekaan inilah yang menjadikan antara umat Hindu dan Muslim di Bali dapat hidup berdampingan selama kurang lebih 500 tahun lamanya tidak pernah bermasalah.
Akhirnya memang mestinya para tokoh dan pemuka agamalah yang menjadi simpul utama spiritualitas-keagamaan dalam dimensi transendental maupun sosial kemasyarakatan, yang tentu memiliki peran sentral dalam merawat, menjaga, dan memperjuangkan lestarinya kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu mereka harus memastikan bahwa kegiatan pendidikan dan pengajaran keagamaan sangatlah efektif untuk membentuk kepribadian bangsa dan mencegah segala upaya yang dapat memecah-belah antar elemen bangsa dengan menggunakan sentimen-sentimen dan hujatan-hujatan keagamaan yang akan merugikan semua pihak.