ASWAJADEWATA.COM
Ketika nikmat melimpah pada kita, jangan langsung merasa bahwa itu nikmat yang diridoi Allah. Bisa saja nikmat yang kita dapat merupakan cobaan atau bahkan solakan untuk kita. Karena itu, ketika ba’dhul ‘arifin (orang yang dekat kepada Allah) diberi nikmat oleh Allah maka akan koreksi diri, kenapa mendapat nikmat dari Allah.
Sebab jika nikmat yang diberikan tidak sesuai dengan ibadah yang dilaksanakan, maka khawatir nikmat tersebut merupakan istidraj (solak) dari Allah. Sekarang banyak orang yang bertambah nikmatnya, tapi bertambah jauh pula kepada Allah, bertambah takabbur atau sombong. Naúdzubillah.
Bagaiamana kita bisa bersyukur, jika apa yang kita inginkan harus sesuai keinginan kita, atau diukur dengan milik orang lain yang lebih. Kita tidak akan bisa bersyukur jika kita tak tahu bagaimana rasanya serba kekurangan. Kita tidak bisa merasakan nikmat jika kita selalu hidup berkelebihan. Karena rasa syukur dan nikmat baru kita rasakan ketika kita kekurangan atau kehilangan.
Imam al-Ghazali membagi nikmat menjadi 3: 1) nikmat yang berguna dunia akhirat, misalnya nikmat ilmu dan akhlaq yang mulia; 2) nikmat yang bermanfaat di dunia saja, misalnya nikmat harta kekayaan dan keluarga; 3) nikmat yang bersifat ukhrowy saja, misalnya nikmat melihat Allah di akhirat.
Ketika kita berharap atau menginginkan sesuatu, kita sangat pandai dalam menyusun kata agar apa yang kita inginkan dikabulkan, namun di saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, kita tidak tahu bahkan lupa untuk menyusun kata sebagai ungkapan terima kasih. Ungkapan gampangnya, kita pintar meminta tapi bodoh bersyukur.
Entah, nikmat atau rizki yang kita dapatkan setiap harinya merupakan pengabulan dari permintaan kita atau sebagai balasan dari rasa syukur kita. Rizki yang diperoleh karena rasa syukur kita akan lebih berkah dari pada rizki yang semata dihasilkan dari usaha meminta.
Pantas saja, para ulama atau orang-orang saleh tidak banyak bekerja tapi melimpah dengan harta, itu karena rasa syukurnya lebih besar dari pada meminta-minta. Kita yang setiap saat meminta dalam doa bahkan terus bekerja, tapi tetap saja miskin, mungkin karena rasa syukur kita tidak cukup atau kita bodoh dalam mensyukuri nikmat.
(Gus Tama)