ASWAJADEWATA.COM |
Kiprah pemuda NU saat ini perlahan mulai terlihat memberi corak dan warna dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Porsinya sedikit lebih banyak dibandingkan peran generasi-generasi sebelumnya yang didominasi oleh kalangan ulama sepuh beberapa dekade silam.
Dulu pada masa perjuangan kemerdekaan, para pemuda NU bukannya tidak ikut berperan, hanya saja kurang mendapat kesempatan mengekspresikan pemikiran dan langkahnya disebabkan tradisi budaya pondok pesantren yang dinilai konservatif dan menganut azas senioritas. Meskipun banyak juga kalangan ulama melihat potensi pemuda NU saat itu sebagai sebuah kekuatan yang tak dapat dipandang sebelah mata, namun kondisi mental dan intelektual para pemuda NU di era itu sepertinya dipandang belum siap menghadapi kompleksnya permasalahan bangsa. Sehingga hanya sedikit yang dikenal mampu muncul menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan.
Kaderisasi generasi muda NU moderat secara strategis mulai terlihat setelah Indonesia Merdeka, dengan mulai banyaknya pemuda NU belajar di negara-negara lain, dari mulai timur tengah, afrika, Asia Timur, bahkan hingga Eropa. Keragaman budaya yang didapat saat menimba ilmu di negara-negara lain memunculkan pandangan keislaman lebih luas dan universal, sekaligus membentuk fondasi pemahaman kuat akan Islam moderat sebagai salah satu azas pemikiran Ahlussunnah waljama’ah an Nahdliyah.
Adalah mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), produk kaderisasi pemuda terbaik yang pernah dimiliki NU dengan segala atribut latar belakang, seperti keturunan, kecerdasan, keilmuan, dan keberaniannya, ditambah keutamaan-keutamaan lain yang diyakini banyak kalangan Nahdliyyin sebagai tanda-tanda kewalian, menjadikan Gus Dur sebagai sosok inspirator generasi-generasi muda NU berikutnya, bahkan pengaruhnya semakin kuat setelah beliau wafat, baik di dalam maupun di luar NU.
Sikap pluralis Gus Dur dipandang ampuh mengatasi problematika kebhinekaan bangsa Indonesia, menumbuh-kuatkan rasa nasionalisme, dan mencairkan komunikasi lintas budaya yang kerap menemui jalan buntu dan menumbuhkan kesalah pahaman diantara komponen bangsa.
Sejak masa kepemimpinan Gus Dur inilah suara pemuda NU yang rata-rata dibawa oleh para putra Kiai mulai mengemuka dan terakomodasi dalam setiap dinamika organisasi Nahdlatul Ulama. Berlanjut di masa kepemimpinan Alm. KH. Hasyim Muzadi dan mencapai puncaknya saat kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj hingga kini.
Tantangan dan medan dakwah Islam Moderat yang berbeda di era globalisasi teknologi sekarang menuntut NU berbenah diri, meski tak harus meninggalkan prinsip karakter organisasi yang berbasis Islam, Budaya, dan Kebangsaan.
Perjalanan peradaban manusia yang tak terelakkan disadari oleh NU membutuhkan kepiawaian setiap individu agar proses transformasi perubahan zaman dapat dilewati dengan tanpa gejolak berarti, meminimalisir resiko runtuhnya peradaban sebelumnya, dan mempersempit gap pola pikir antar generasi.
NU sadar bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi hal ini adalah peningkatan taraf intelektual warga Nahdliyyin yang diklaim berjumlah hampir 90 jutaan di seluruh dunia, bukan sebuah angka yang kecil. Berbagai usaha dilakukan untuk itu, NU menjalin kerjasama dalam bidang penelitian dan pendidikan di seluruh dunia memanfaatkan jaringan Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di lebih dari 100 negara. Dengan memfasilitasi banyak kesempatan program Bea Siswa bagi santri/wati NU di Universitas dan perguruan tinggi populer dan terkenal dalam berbagai bidang di dunia.
Diharapkan sekembalinya mereka ke tanah air dapat menjadi lokomotif terdepan memimpin gerbong pembaharuan, menuju peradaban baru.
Jika menilik langkah NU selama 10 tahun terakhir, dan melihat perubahan yang terjadi secara signifikan dalam pola dakwahnya, bukan tidak mungkin Indonesia dengan NU sebagai mesin penggeraknya menjadi sebuah negara istimewa dalam waktu yang tak lama lagi, sebagai ‘poros dunia’.
Akhirnya teringat pula kita akan kalimat yang pernah dikatakan Gus Dur saat beliau masih hidup,
“Anak Muda NU akan Bangkit 10 tahun lagi, kita akan panen. Mereka akan kalah dengan kita.”
Penulis: Dadie W. Prasetyoadi