Thursday 18th April 2024,

Peran Moderasi Beragama dan Kearifan Lokal dalam Mengokohkan NKRI

Peran Moderasi Beragama dan Kearifan Lokal dalam Mengokohkan NKRI
Share it

ASWAJADEWATA.COM

Akhir-akhir ini pembicaraan tentang radikalisme keagamaan semakin sering diungkapkan. Namun kemudian muncul kritik tentang ketepatan penggunaan istilah ini, terutama karena adanya perbedaan pengertian radikalisme dan generalisasi tipe-tipe paham dan prilaku tersebut di atas yang sebenarnya berbeda-beda.

Memang di antara paham-paham itu ada yang bepotensi mengancam ideologi negara serta toleransi dan persatuan bangsa, terutama paham-paham yang berideologi konservatisme, fundamentalisme, radikalisme, atau ekstrimisme.

Dalam masyarakat yang mejemuk, upaya mewujudkan harmoni dan kedamaian ini tidaklah mudah, karena masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada munculnya persaingan.

Pemerintah, ulama, dan tokoh masyarakat pun berupaya untuk melakukan kontra radikalisme dan deradikalisasi terhadap ideologi gerakan-gerakan transnasional itu, baik melalui sosialisasi pemahaman Islam secara moderat, penguatan wawasan kebangsaan, penegakan hukum, maupun revitalisasi kearifan lokal sebagai modal sosial dalam hubungan antarwarga.

Dalam Cambridge Dictionary disebutkan: “radicalism is the belief that there should be great or extreme social or political change” (radikalisme adalah faham atau keyakinan yang menyatakan keharusan adanya perubahan yang besar atau mendasar dalam kehidupan sosial dan politik).

Sebenarnya radikalisme ini netral, bisa berkonotasi positif dan bisa pula negatif, tergantung dari substansi perubahan itu. Hanya saja, ketika diungkapkan tanpa embel-embel, radikalisme itu berkonontasi negatif. Demikin pula, tidak semua konservatisme dan fundamentalis bisa dianggap radikal jika keduanya diekspresikan secara keras.

Di lingkungan masyarakat Islam, fundamentalisme serta prilaku radikalisme dan ekstrimisme itu tidak bisa dilepaskan dari ideologi atau paham Salafi/Wahhabi yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M) dan Al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan pada 1928 oleh Hasan al-Banna (1906-1949).

Berbeda dengan kedunya yang dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyyah, pendirian Hizbut Tahir pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1914-1977) dan revolusi Iran pada tahun 1979 di bawah kepemimpinan Imam Khomeini (1902-1989) adalah terinspirasi oleh gerakan Ikhwan, terutama pemikiran Sayyid Quthb.

GLOBAL JIHAD DAN SALAFI JIHADI

Berakhirnya perang Afghanistan pada akhir tahun 1980-an telah menggabungkan ideologi Ikhwan Quthbiyyah dan Salafi ekstrim. Mereka membangun ideologi jihadi (global jihad) dengan mendirikan Al-Qaedah pada 1988 di Peshawar, Pakistan, di bawah kepemimpinan Abdullah Azzam.

Ideologi jihadi ini kemudian berkembang ke berbagai negara dengan nama yang berbeda-beda, seperti Jama’ah Islamiyyah, Al-Shabab, Boko Haram, dan sebagainya. Tokoh Al-Qaedah Irak, Abu Bakr al-Baghdadi kemudian menyempal dengan mendirikan Islamic State of Iraq and Sham (ISIS).

KONSERVATISME DAN RADIKALISME DI INDONESIA

Di Indonesia, munculnya konservatisme dan radikalisme keagamaan secara terbuka terjadi di samping karena perkembangan gerakan Islam secara internasional juga karena era reformasi (1998-sekarang) ini mendukung proses demokratisasi serta kebebasan dan keterbukaan yang semakin besar sehingga memungkinkan seseorang berekspresi secara bebas.

Faham-faham keagaman yang bersifat transnasional yang sebenarnya sudah ada sejak lama pun semakin berkembang di negara ini, seperti Salafi/Wahabi dan Syi’ah.

Paham-faham transnasional lainnya yang berideologi Islamisme juga berkembang di era reformasi ini, terutama Al-Ikhawan al-Muslimun dan Hizbut Tahrir.

Sedangkan munculnya ekstrimisme dan ideologi jihadi pada awalnya terjadi ketika sejumlah mujahidin dari Indonesia selesai melakukaan jihad di Afghanistan pada akhir 1980-an. Mereka mendirikan Jamaah Islamiyyah (JI), yang berideologi Al-Qaedah di Asia Tenggara.

Ekstrimisme Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari gerakan Darul Islam (DI) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang juga dikenal sebagai gerakan DI/TII yang didirikan S.M. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949.

Sebagian dari organisasi-organisasi tersebut memiliki agenda untuk menggantikan ideologi Pancasila dan merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ideologi keagamaan dan sistem khilafah.

Hanya saja, mereka perlu dibedakan antara aspirasi melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan (kaffah), mendirikan negara Islam atau khilafah, menganggap NKRI dan pemerintah sebagai thâghût, dan melakukan tindak kekerasan atau terorisme.

Hanya kelompok-kelompok jihadi saja yang bisa disebut sebagai ekstrimis, seperti Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Islamiyyah (JI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD).

Radikalisme dan ekstrimisme keagamaan tersebut bisa menganggu toleransi dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, serta mengancam inegrasi nasional, ideologi negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk menjaga integrasi nasional tersebut, semua unsur dalam masyarakat dituntut untuk memperkuat wawasan kebangsaan.

Wawasan kebangsaan ini berarti cara pandangan atau orientasi seseorang terhadap negara-bangsa sebagai satu kesatuan ideologis, kesatuan yurisdis, kesatuan geografis, dan kesatuan demografis.

Penguatan Islam Wasathiyyyah (Moderat)

Wawasan kebangsaan tesebut bisa kokoh melalui pemahaman keagamaan yang moderat, dengan memperhatikan kondisi obyek masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multi-kultural.

Seharusnya agama tidak dijadikan sebagai ideologi, tetapi sebagai sumber ideologi dan sumber etika-moral bangsa Indonesia. Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap keberagamaan yang toleran terhadap kemajemukan, bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.

Islam moderat (wasathiyyah) disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 143; “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Secara bahasa (etimologi), kata “wasath” berarti adil, pilihan, dan pertengahan (moderat). Menurut Mu’jam al-Ma’ânî al-Jâmi’, “wasath” berarti posisi tengah di antara dua sisi, sehinggga wasathiyyah berarti posisi tengah di antara dua hal atau sisi (pihak, kubu) yang berhadapan atau berlawanan (mâ bain al-tharafain).

Islam moderat (wasathiyyah) disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 143; “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Secara bahasa (etimologi), kata “wasath” berarti adil, pilihan, dan pertengahan (moderat). Menurut Mu’jam al-Ma’ânî al-Jâmi’, “wasath” berarti posisi tengah di antara dua sisi, sehinggga wasathiyyah berarti posisi tengah di antara dua hal atau sisi (pihak, kubu) yang berhadapan atau berlawanan (mâ bain al-tharafain).

Pemahaman wasathiyyah ini bisa tidak sama persis antara satu tempat (negara) dengan tempat (negara) lainnya, karena adanya perbedaan tentang keberadaan dua sisi (pihak) yang berhadapan.

Rambu-rambu yang meliputi: (1) pemahaman Islam secara komprehensif, (2) pemahaman teks Al-Quran dan Hadits serta realitas dan dinamika masyarakat secara adil dan berimbang (3) dukungan kepada kedamaian dan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan, (4) penghormatan terhadap perbedaan pendapat dalam hal-hal yang bersifat ijtihâdiyyah, (5) pengakuan akan pluralitas agama, budaya dan politik, dan (6) pengakuan terhadap hak-hak minoritas.

Di antara hal yang penting dalam konsep wasathiyyah ini adalah pemberian perhatian kepada konteks latar belakang turunnya ayat dan terjadinya Hadits serta realitas (al-wâqi’) masa kini dalam memahami teks-teks Al-Quran dan Hadits.

Penerapan wasathiyyah dalam memahami ayat-ayat dan Hadits tentang kedamaian dan toleransi menunjukkan, bahwa Islam merupakan agama yang sangat mendukung kedamaian dan kerukunan.

Di negara-negara Muslim yang sangat plural, sistem kenegaraan bisa mengadopsi sistem yang ada, dengan tetap berusaha melaksanakan nilai-nilai akhlak dan norma-norma hukum Islam sesuai dengan kemampuan.

Revitalisasi Kearifan Lokal

Pada masa lalu, ketika kehidupan masyarakat Indonesia masih sederhana, pemeliharaan kerukunan cukup dilakukan malului bingkai sosio-kultural, karena masyarakat di setiap suku sangat menjunjung tinggi kearifan lokal (local wisdom).

Kearifan lokal adalah pemahaman, keyakinan, dan kebiasaan yang menjadi panduan bagi warga suatu komunitas tertentu dalam berinteraksi dengan warga lain dan alam sekitar.

Hampir setiap daerah atau suku memiliki nilai-nilai budaya, yang dianggap sebagai kearifan lokal. Di masyarakat Batak dikenal dalihan na tolu yang berfungsi merekatkan masyarakat walaupun berbeda agama dan etnis. Di masyarakat Jawa dikenal prinsip gotong royong dan teposeliro.

Di masyarakat Dayak terdapat rumah betang, yaitu rumah panjang yang dihuni berbagai anggota keluarga tetap hidup damai dan persaudaraan. Di masyarakat Bugis dikenal sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling menghormati dan menghargai, di masyarakat Ambon dikenal pela gandong yang berarti kerukunan dan persaudaraan sekandung sedarah sejati antar manusia .

Kearifan lokal tersebut bisa memperkuat ikatan (kohesi) sosial dan menghindari konflik, yang berimplikasi kepada penguatan kerukunan nasional dan ekistensi NKRI.

Oleh karenanya, diperlukan revitalisasi kearifan lokal agar tetap menjadi kesadaran bersama masyarakat atau modal sosial (social capital) dalam menjaga dan melestarikan tatanan sosial masyarakatnya yang harmoni, rukun, dan damai.

Kearifan sosial ini telah menjadi modal sosial (social capital), yang selama ini menjadi acuan dalam hubungan antar kelompok sosial ini, termasuk kelompok-kelompok agama yang ada.

KONTRA RADIKALISASI DAN DERADIKALISASI

Sehubungan dengan munculnya radikalisme dan ektrimisme tersebut di atas, di samping melalui sosialisasi Islam moderat dan budaya kearifan lokal, pemerintah telah berusaha untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran faham-faham yang berpotensi intoleran dan bisa memperlemah ideologi negara dan persatuan bangsa.

Pemerintah juga telah melakukan penindakan hukum terhadap pelaku terorisme, serta deradikalisasi bagi mereka yang sudah tepapar radikalisme. Upaya-upaya ini juga dilakukan oleh para tokoh agama, intelektual, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik di hulu maupun di hilir.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai leading sector bidang ini bersama dengan kementerian dan lembaga negara terkait, yang didukung oleh ormas-ormas dan kampus-kampus keagamaan, memiliki program kontra radikalisasi dan deradikalisasi.

Kelompok sasaran program ini meliputi: (1) lingkungan lembaga pendidikan, (2) lingkungan tempat ibadah dalam bentuk khutbah dan dakwah (pengajian), (3) lingkungan aparatur negeri sipil (ASN) dan militer/polisi, dan (4) lingkungan perusahan negara dan swasta. Bahkan disinyalir pula bahwa faham-faham ini juga terjadi di lingkungan masyarakat politik dan ormas-ormas tertentu.

Oleh: Masykuri Abdillah_Guru Besar UIN Jakarta, Staf Khusus Wakil Presiden

*Disampaikan dalam Webinar tentang Kearifan Lokal dan Moderasi Keberagamaan dalam Mengokohkan NKRI, yang diselenggarakan  Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Maulana Malik Ibrahim, pada 10 September 2020.

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »