ASWAJADEWATA.COM
“Suatu ketika Shafiah –salah satu istri Nabi- dibonceng oleh Rasulullah saw. di atas unta. Tiba-tiba unta yang mereka tunggangi mengamuk hingga mereka jatuh. Abu Thalhah yang melihat kejadian itu langsung menghampiri Rasulullah saw. dengan histeris untuk membantu dan mengetahui keadaan beliau. Kalimat yang pertama keluar dari lisan beliau adalah bagaimana keadaan Shafiah. Setelah diketahui bahwa Shafiah pun baik-baik saja, baru hati beliau tenang. Beliau besabda, “Aku baik-baik saja. Tetapi bagaimana keadaan Shafiah (itu yang lebih penting)”.(HR. Bukhari)
Pemahaman Pertama
Rasa khawatir pada seorang kekasih merupakan salah satu rukun utama dalam cinta. Semakin dalam mencintai, maka rasa khawatir semakin mendalam. Begitulah isyarat dari hadits tersebut. Ketika Nabi mengetahui terjadi sesuatu pada istrinya, beliau sangat khawatir sesuatu itu akan mencelakakan istrinya.
Memang seharusnya seorang yang mencintai pasangannya bersikap demikian, sebagai bukti bahwa dia perhatian. Lebih-lebih bagi seorang laki-laki sebagai seorang suami yang harus bertanggung jawab pada istrinya dalam keadaan apapun, terutama ketika terjadi sesuatu pada istrinya. Suami harus mengedepankan rasa perhatian pada istrinya.
Sikap Nabi yang tidak memperdulikan keadaan dirinya, beliau bukan merasa sakit karena terjatuh, melainkan yang beliau rasakan adalah kekhawatiran akan keadaan istrinya, merupakan sikap yang menunjukkan akhlak mulia pada seorang perempuan.
Ungkapan “Aku baik-baik saja” -atau yang lumrah sekarang menjadi ungkapan “Aku ra opo-opo”- mengajarkan kita, ketika kita dalam keadaan sakit, kita harus tetap memperhatikan istri kita, bukan malah ingin diperhatikan oleh istri. Menunjukkan kelemahan di hadapan istri, itu bukan sikap seorang laki-laki. Meski dalam keadaan sakit –baik sakit fisik, pikiran atau batin-, jangan sampai diketahui oleh istri. Tetaplah dalam keadaan yang seolah tidak terjadi apa-apa dengan ditutupi ungkapan, “Aku ra po-po, sayang”.
Pemahaman kedua
Tentang kekhawatiran pada seorang yang dicintai, ada beberapa macam. Diantaranya, khawatir orang yang dicintai ditimpa sesuatu (celaka), khawatir orang yang dicintai perasaannya berubah, dan khawatir orang yang dicintai hilang. Untuk macam yang pertama sudah dijelaskan pada judul “Sikap Nabi yang So Sweet Banget”.
Sementara untuk macam yang kedua dan ketiga sebenarnya penulis sudah menjelaskan di buku NasiHati jili I. Hemmm… Tak apalah, penulis jelaskan lagi di buku ini. Berikut penjelasannya.
Cinta yang berubah atau kehilangan cinta merupakan hal yang cukup menyiksa bagi para pecinta. Ketika orang yeng mencintai melihat ada sikap yang sepertinya berubah dari orang yang dicintai, dia merasa gelisah, karena takut sikap yang berubah itu merupakan tanda atau akan mengakibatkan cintanya hilang. Sementara dia sangat tidak siap jika cintanya hilang, apalagi tanpa ada sebab yang jelas.
Merasa takut kehilangan dalam hal cinta adalah salah satu sifat atau sebagai bukti bahwa dia benar-benar mencintai. Semakin cintanya dalam, maka semakin pula rasa takut kehilangan mencekam. Namun, hal tersebut jangan sampai membuat hati menjadi mati, sehingga dalam pandangan matanya, hanya seseorang yang dicintai saja yang ada di bumi ini, sementara yang lain dianggap tidak ada.
Merasa takut kehilangan yang keterlaluan itu, akan berkonsekwensi buruk. Bisa-bisa dia meyakini perasaannya dan meragukan kekuasaan Allah. Dengan demikian, ketika orang yang dicintai tidak menjadi miliknya atau hilang dari kehadirannya, dia akan merasakan keterpurukan yang sangat dalam, dia putus asa dan kemudian bunuh diri. Na’udzubillah.
Untuk menghindar dari rasa takut kehilangan yang keterlaluan, harus mengingat bahwa masih banyak laki-laki atau perempuan di dunia ini. Tapi ingat! Ungkapan ini tidak bermaksud menyuruh seseorang mencari untuk memiliki banyak calon atau mengoleksi lalu diseleksi, atau poligami. Maksud yang tepat di sini adalah memberi motivasi pada seseorang, agar ketika yang dicintai tidak menjadi miliknya atau hilang dari kehadirannya tidak merasa kehilangan, karena masih ada yang lain yang akan menggantinya. Merasa kehilangan memang pasti ada, namun paling tidak, ketika orang yang dicintai hilang, ungkapan tersebut memberi isyarat bahwa ada orang lain yang siap menyambut cintanya.
Namun, yang paling tepat cara untuk menghindar dari rasa takut kehilangan adalah memahami dan menyadari bahwa dalam hidup pasti ada yang berubah dan hilang, tak terkecuali dalam hal cinta. Jika ini sudah menjadi paradigma hati, saat cintanya hilang, maka tidak terjatuh pada lembah keterpurukan.
Tapi… tapi… tapi… hati pasti tetap merasa sangat barat dan sulit menerima ketika orang yang dicintai hilang dari kehadiran hidup kita.
Pemahaman ketiga
Dalam hadits tersebut menyatakan bahwa Rasulullah dan istrinya sama-sama jatuh dari unta. Berarti sama-sama merasakan sakit. Ketika sama-sama merasakan sakit, Rasulullah masih atau lebih memperhatikan istrinya yang juga sakit. Dari sini, bisa dijabarkan pada kehidupan suami-istri dalam berkeluarga. Dalam hidup berpasangan, rasa sakit –baik fisik, pikiran, hati atau perasaan- bisa terjadi pada salah satunya, istri atau suami, atau kedunya secara bersamaan.
Ketika suami yang sakit, istri memperhatikan suaminya. Atau, istri yang sakit, suami yang memperhatikan istrinya. Hal ini masih dalam kewajaran, karena orang yang sehat memang seharusnya memperhatikan yang sakit, lebih-lebih dalam kehidupan berpasangan atau berkeluarga. Tapi, ketika sama-sama sakit, apakah masih bisa memperhatikan. Inilah yang kadang menjadi celah pertengkaran dalam keluarga. Sebenarnya kembali pada seberapa besar rasa perhatian yang dirasakan. Jika mengikuti teladan Nabi, berarti seorang suami yang harus memulai mecurahkan perhatian terlebih dahulu.
Demikian yang sakit fisik, bagaimana jika yang sakit adalah pikiran atau perasaan? Dalam hal ini pasti sebabnya adalah masalah, baik masalah dari dalam (keluarga) atau di luar keluarga. Semisal istri sedang ada masalah, suaminya tidak, atau sebaliknya. Atau, keduanya sama-sama memiliki masalah. Wajar ketika suami yang memiliki masalah, istri yang tidak memiliki masalah tetap memperhatikan suaminya. Atau sebaliknya. Tapi, yang rawan terjadi tidak adanya perhatian antara suami dan istri ketika mereka sama-sama memiliki masalah atau kesibukan.
Pernah dengar ungkapan begini? “Kamu gak tahu kalo Mas lagi ada masalah dengan pekerjaan?! Jadi, mohon mengerti, jangan terus-terusan minta ini dan itu”. Atau, “Kamu ini sudah tahu Mas lagi sakit, masih saja maksa pergi keluar”. Jika istrinya tidak memiliki masalah dengan apa yang dia minta, mungkin permintaannya yang ditolak akan dimaklumi. Artinya, hanya sekedar keinginan. Tapi, jika permintaan itu berkaitan dengan masalah dalam keluarganya. Semisal, istrinya minta diantarkan ke orang tuanya karena orang tuanya memiliki masalah yang membutuhkan anak perempuannya ini, sementara suaminya lagi ada masalah atau kesibukan dengan pekerjaannya. Hemmm… bagaimana kira-kira yang terjadi? Jika istrinya juga ngotot, mungkin dia akan mengatakan, “Mas, kamu ini hanya memikirkan diri sendiri. Sibuk dengan pekerjaan, tidak mau memperhatikan masalah yang saya alami”. Tapi, jika istrinya memiliki sifat pengertian yang dalam, pasti kuat menahan keluh kesah pada suaminya. Tapi, seharusnya memang suami yang harus lebih mengerti dari pada istri.
Di saat seperti itu, sebenarnya menjadi ajang untuk menguji egois atau tidak. Sebagaimana yang telah dikatakan penulis dalam judul “Sikap Nabi yang So Sweet Banget”, sekali lagi, perhatian bisa diwujudkan dengan pengertian. Pengertian hanya bisa diwujudkan dengan menghilangkan keegoisan. (Buku Peka Rasa)