ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Yuri Mahatma
Seniman itu seperti ulama atau agamawan, dia akan dinyinyiri dan dibully kalau berada dalam lingkaran kekuasaan. Sebaliknya dia akan mendapat simpati kalau rajin mengkritisi. Bahkan akan semakin harum kalau sampai dijebloskan ke penjara.
Ya, ini biasa saja. Sudah resiko profesi. Sebagai seniman, kita sudah di-stereotype-kan sebagai pengabdi kebebasan. Dan memang benar begitu dan mungkin selamanya begitu. Namun kalau bicara kapasitas intelektualitas, pemikiran dan rasa, saya tahu betul kebanyakan seniman memiliki kadar yg biasanya diatas rata-rata. Hanya saja seringkali hanya sekedar berujung pada wacana dan ide yang luar biasa saja namun “ogah” kalau harus mengeksekusi, apalagi kalau nggak ada yang assist! Akhirnya ini membuka usaha baru bagi orang-orang yang siap “menolong” mengeksekusi ide-ide mereka.
Ada juga sebagian seniman yang sudah terbiasa segala urusan diurus sendiri. Bahkan dengan cara yang luar biasa profesional dan mutakhir. Intinya mereka sukses menyelaraskan kesenimanannya dengan segala aspek bisnisnya. Agak langka memang tapi ada.
Kembali ke soal pro kontra seniman dalam lingkaran kekuasaan, mbok ya positif thinking saja. Bisa jadi memang mereka qualified. Jangan semua dipikir negatif. Karena toh kalau dibalik ya sama saja, kalau mau jujur, dan memang gatal untuk membully, seniman yang rajin kritik dan oposan, juga bisa saja karena pengen sensasi dan berstrategi demi mempertahankan eksistensi. Nggak beda, kan?
Lebih enak positif thinking, kan?
Terus gimana dengan pers yang juga ada kecenderungan ikut membully?
Haaasss, pers itu juga butuh makan. Sama saja. Mana yang laris dijual, itu yang diberitakan. Lagian pers juga Nggak lebih pinter kok.
#selamatbekerjaabdee