ASWAJADEWATA.COM |
Cinta dan amanah
Salah satu hal yang paling berat adalah mengemban amanah. Satandart utama orang bisa dipercaya adalah ketika dia mampu menunaikan amanah dengan baik. Oleh sebab itu, orang yang sudah tidak mampu atau lalai menjaga amanah, dia tidak akan lagi dipercaya. Dia sudah dianggap tidak bisa bertanggung jawab.
Cinta sesungguhnya lebih kepada tanggung jawab. Apapun yang terjadi ketika menjalin cinta, harus mampu bersikap penuh tanggung jawab. Orang yang sudah berani mencintai berarti dia sanggup menanggung beban dari konsekwensi cinta. Lebih-lebih ketika hendak melangsungkan niat baik, yakni akad. Berarti dia telah mantap dalam kesanggupannya untuk bertanggung jawab segala apa yang terjadi dalam berkeluarga kelak.
Cinta yang biasanya diidentikkan dengan pengorbanan, berarti bertanggung jawab merupakan makna dari pengorbanan dalam cinta. Justru sebenarnya, tanggung jawab adalah sebagai bukti nyata untuk mewujudkan cinta. Ketika cinta hadir lalu menjelma pada sosok (seorang) istimewa yang kemudian disebut sebagai orang yang dicintai, maka saat itu pula amanah mengiringi yang harus dijaga dengan baik.
Dari cinta ke amanah
Ketika pertama kali menjalin cinta dan membina rumah tangga, cinta sangat menggebu, kerinduan tak bisa dibendung, dan perasaan senantiasa berbunga-bunga. Namun, seiring waktu bergulir, satu tahun, dua tahun, hingga beberapa tahun, cinta sepertinya sudah mulai pupus. Kini, kebersamaan yang awalnya penuh kebahagiaan berubah menjadi kebosanan, sehingga pertengakaran sering kali terjadi, dan tak mau saling memaafkan. Rasa rindu yang biasanya menyerbak ketika saling berjauhan, ternyata tidak lagi bersemi. Sikap dan suasana kemesraan sudah hilang. Pokokya sudah tidak ada.
Wahai jiwa yang telah kosong dari cinta dan kerinduan, yang telah terikat oleh akad pernikahan! Sadarilah bahwa dalam pernikahan tidak hanya cinta yang harus dihadirkan, agar ketika cinta tiada pernikahan tetap kuat terikat. Kita harus sertai cinta kita dengan amanah. Sehinga, ketika cinta memang sudah pupus, masih ada amanah, yaitu tuntutan untuk memperlakukan pasangan dengan baik.
Mungkin cinta bisa dikatakan sebagai penyatuan dua hati, baik sebelum akad atau setelah akad. Sementara amanah sebagai pengikat bagi dua pasangan yang telah menikah. Jadi, meski cinta telah hilang setelah menikah, masih ada amanah yang mengikat keduanya agar terus menjalani kehidupan berkeluarga. Kita harus menyadari bahwa pernikahan adalah amanah yang harus dijalani dengan baik, meski cinta telah tiada.
Pernikahan merupakan syariat yang diperuntukkan bagi dua anak manusia yang berlainan jenis, yang di dalamnya mengandung amanah mulia yang dianugerahkan oleh Allah. Jadi, ketika cinta telah pupus di tengah perjalanan rumah tangga, maka jagalah amanah tersebut semata mentaati syariat Allah.
Amanah dalam pernikahan bisa juga karena amanah dari orang tua. Semisal, dijodohkan dan kita tidak ada rasa suka pada pasangan kita. Tapi, karena merasa dia sebagai amanah dari orang tua kita, ya tetap dijalani dengan kesadaran amanah dalam hati. Kita perlakukan pasangan kita dengan baik karena mengingat orang tua kita, atau demi membuat orang tua kita senang dan bahagia. Atau biar lebih mantap, karena demi rido orang tua, kita menjalani rumah tangga dengan penuh tanggung jawab.
Jika hati kita tetap saja tidak melahirkan cinta, kita harus menyadari bahwa tidak hanya dalam menjaga keutuhan cinta butuh pengorbanan, tapi untuk melahirkan cinta juga butuh perjuangan dan pengorbanan. Biarkan sudah kebencian terus membara, tapi harus tetap menyikapi pasangan kita dengan baik. Biarkan sudah cinta tak bersemi, tapi amanah harus terus dijaga. Biar sudah rasa rindu tak menggebu, asal amanah harus dijaga ketika berjauhan. Biar sudah suasana romantisme dan harmonis tidak menghiasi hari-hari, yang penting amanah tetap ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Semua ini demi memperjuangkan cinta agar terlahir bersemi. Dari amanah yang terus ditunaikan dengan baik, pasti akan melahirkan cinta pada saatnya.
Dari amanah ke cinta
Di saat benar-benar cinta pupus dan tiada. Semakin dipaksa pun untuk melahirkan cinta kembali, ternyata semakin hilang tak tersisa. Justru kebencian terus menjelma menyala bagaikan api yang membakar rasa. Padahal sudah mengingat masa-masa di mana keharmonisan yang telah terwujud dalam kenangan, tetap saja kebencian yang tampak menghantui. Di saat seperti inilah, kita kembalikan pada hak dan kewajiban sebagai suami atau istri. Kita harus mengingat apa kewajiban kita sebagai suami atau istri, lalu kita sadari dengan sedalam-dalamnya. Kemudian secara perlahan kita tunaikan kewajiban itu dengan baik, meski hati telah kosong dari cinta dan kerinduan.
Tidak sedikit pasangan dua anak manusia yang hatinya melahirkan cinta dari rahim kesadarannya setelah menunaikan kewajibannya sebagai suami atau istri. Tanpa disadari, dirinya ternyata menemukan cinta pada pasangannya seiring dia menunaikan kewajibannya. Pada awalnya mungkin sangat berat dan sulit bagi seorang istri memasak dan melayani suaminya. Namun dari hari ke hari dia terus menunaikan kewajibannya itu. Sehingga dari kebiasaan melakukan kewajiban sebagai istri, dia merasa ada yang hilang ketika tidak ada suami yang biasa dia layani setiap hari dan malam. Atau seorang suami merasa ada yang hilang ketika istrinya tidak ada di rumahnya, yang biasanya menyiapkan makanan, mencuci pakaiannya, membangunkan ketika waktu shalat, di saat itu suami merasa ada yang hilang karena istri yang biasanya melakukan itu semua tidak ada di rumahnya.
Semisal, di pagi hari seorang istri secara rutin membuatkan teh yang disiapkan untuk suaminya. Setelah beberapa lama, si istri tidak menyiapkan teh yang sudah tersedia di meja. Di saat itu lah suami akan merasa ada yang hilang. Mungkin yang tersisa adalah bayangan istrinya membawa secangkir teh yang diletakkan di atas meja. Nah, di saat si suami terbayang-bayang seperti itu, tak disadari hatinya tercuri oleh bayangan itu yang kemudian melahirkan cinta. Di saat kita merasa kehilangan, di saat itulah kita merasakan cinta. Cinta memang baru terasa dan lebih dirasakan ketika kita mengalami kehilangan.
Begitulah pengaruh yang akan melahirkan cinta dari manfaat menunaikan kewajibannya sebagai istri, yakni memperlakukan pasangan dengan baik meski tidak mencintainya. Karena dari kebaikan yang kita lakukan pasti akan melahirkan kebaikan juga. Sebagaimana pribahasa, menanam padi pasti tumbuh padi, tidak mungkin tumbuh kelapa. Maka, tetaplah tunaikan kewajiban meski hati sangat berat atau pasangan kita mengabaikannya. Karena pada saatnya pasti dari kewajiban yang ditunaikan secara rutin akan memancarkan cahaya cinta. Sadarilah bahwa semua ini adalah dari hasil amanah yang dijaga dengan baik.
Mewujudkan istri sebagai amanah
Coba kita perhatikan orang-orang yang sudah (mungkin) tidak bisa lagi mencintai tapi tetap hidup bersama, karena mereka menyadari bahwa pernikahan itu amanah. Memang, mengemban amanah, menunaikan amanah dan menjaga amanah dengan baik perlu kesadaran yang dalam, lebih-lebih amanah berupa sesuatu yang di luar kehendak kita.
Istri adalah amanah yang harus dijaga dengan perlakuan yang baik, meski mungkin cinta telah pupus. Maka, ketika istri tidak lagi produktif (tidak bisa melahirkan anak lagi), suami tidak boleh begitu saja melepasnya. Ketika istri tidak tahu apa-apa, suami harus mengajarinya. Ketika istri salah, suami yang memperbaiki kesalahannya. Ketika istri marah-marah, suami akan mengerti tentang sifat dasar perempuan. Ketika cinta dan sayang hilang, suami tetap bertahan dengan menjaganya penuh tanggung jawab.
Namun, bagaimana jika seorang istri itu diajari malah membantah, diperbaiki malah sok yang paling baik, dinasihati malah semakin keras kepala, diarahkan malah cari jalan lain. Hemmm… Gimana, ya?!! Lagi-lagi seorang suami harus memasang dada yang lebih lebar untuk menerima sikap istri yang demikian.
Wahai para istri! Jangan selalu berharap suami bersikap sesuai keinginan diri sendiri. Jangan mengukur apa yang dimiliki suami dengan batas kemauan diri sendiri. Jangan menganggap suami bisa melakukan apa saja yang dikehendaki selera diri sendiri. Memang, keinginan para istri selalu mendapatkan kebahagiaan dari suami. Begitu juga, suami pasti ingin selalu bahagia bersama istri.
Suami dan istri tentu sama-sama memiliki keinginan, namun ketika keinginannya berbeda, inilah yang kadang menjadi pemicu terjadinya marah, jengkel, kesel dan sampai pertengkaran. Namun, jika keduanya mampu mengkompromikan keinginannya yang berbeda, insyaallah keduanya tidak akan terjebak pada pertengkaran hanya karena keinginan yang berbeda.
Cara mengkompromikan keinginan yang berbeda, gampangnya begini: Jika si istri ingin tidur dengan kondisi kamar terang (mungkin karena takut gelap) sementara suami berkeinginan tidur dengan suasana gelap (mungkin karena silau dan tidak bisa tidur). Solusinya cukup ambil jalan tengah, yaitu gunakanlah lampu yang terang tidak, gelap juga tidak, alias remang-remang.
Atau semisal, jika si istri ada di barat dan suami ada di timur. Jarak keduanya jauh. Karena jauh, si suami maunya istri yang datang ke suami. Si istri juga ingin suaminya yang datang ke istrinya. Jika alasannya sama-sama karena jauh jika datang ke tempat masing-masing, bagaimana jika ambil tempat di tengah? Kan ke barat tidak begitu jauh, ke timur pun juga tidak begitu jauh.
Mungkin begitu contoh gampangnya dalam mencari solusi ketika suami dan istri memiliki keinginan yang berbeda dan masing-masing menghendaki keinginannya dipenuhi. Berbeda jika meski keduanya memiliki keinginan yang berbeda, tapi salah satunya mau mengalah. Hal ini tidak jadi mesalah. (Buku Peka Rasa Vol. 2)