ASWAJADEWATA.COM |
Senyatanya, istilah tasawuf belum dikenal saat periode awal Islam, karena penamaan tasawuf sendiri baru muncul pada masa tabiin dan setelahnya. Meski demikian ajaran tasawuf bukanlah hal baru dalam Islam, apalagi sesuatu yang dituduh bidah, karena yang tidak ditemukan pada periode sahabat hanya penamaannya. Adapun secara amaliyah para sahabat sudah mengamalakan isi tasawuf, hal ini bisa kita lihat dari definisi tasawuf yang dipaparkan Syaikhul-Islam Zakariya al-Ansari dalam kitab Risalah Qusyairiyah;
التًصَوُّفُ عِلمٌ تُعرَفُ بِهِ اَحوَالُ تَزكِيَةُ النُفُوسِ اَو تَصفِيَةِ الاَخلَاقِ وَتَعمِيرُ الظَاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيلِ السَّعَادَةِ الاَبَدِيِّةِ
‘’Tasawuf adalah ilmu yang mengenalkan tata cara pemberrsihan hati, memperindah akhlak, dan menyibukkan diri dan hati untuk memperoleh kebahagian abadi (akhirat)’’
Dari definisi ini kita bisa tahu bahwa esensi tasawuf sendiri merupakan nilai-nilai yang ada pada rukun agama ketiga yaitu ihsan. Hal ini juga diperkuat pernyataan Ibnu Khaldun dalam muqaddimah-nya, bahwa nilai-nilai tasawuf merupakan isi dari rukun agama yaitu ihsan. Maka jelas meski para sahabat tidak mengenal istilah tasawuf tapi secara amaliyah mereka adalah sufi yang hebat.
Seiring waktu berjalan, muncul beberapa penyimpangan dalam ajaran tasawuf dengan muncul kelompok yang mengatasnamakan ahli tasawuf, tapi sebenarnya ajaran mereka jauh dari nilai-nilai tasawuf yang diwariskan para ulama, bahkan amaliyah dan perkataan mereka malah memberikan kesan jelek pada tasawuf. Contoh konkretnya adalah aliran kebatinan. Dengan bertopeng sufi, firkah ini memilah antara hakikat dan syariat, mereka memproklamasikan diri sebagai ahlul-batin serta menyesatkan umat dengan mengatakan bahwa seseorang ketika sampai pada derajat makrifat maka taklif syariat gugur darinya. Ajaran semacam ini jelas menyimpang, bahkan syaikh Abdul-Qadir al-Jilani dalam Fathur Rabbani hal. 29 mengatakan, “Meninggalkan ibadah wajib adalah zindik dan kewajiban syariat tidak gugur dari seseorang dalam keadaan apapun”.
Selain itu, masih bejibun golongan yang bertasawuf, tetapi mereka bodoh dalam ilmu syariat. Parahnya, banyak ajarannya yang menerjang syariat. Mereka menjadikan ‘bertasawuf’ sebagai kedok tarekat pembersihan hati dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun, faktanya malah melanggar aturan-Nya.
Maka dari itu, ulama memberikan pegangan dalam bertasawuf sesuai ajaran Ahlusunah yaitu ajarannya harus sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, serta tidak keluar dari ketetapan syariat yang ada. Hal ini sebagaimana keterangan salah seorang guru besar tasawuf, Imam Junaid al-Baghdadi, dalam kitab Thabaqat as-Shufiyah hal 159.
مَذهَبُنَا هَذَا مُقَيَّدٌ بِأُصُولِ الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
‘’Mazhab (tasawuf) kita ini selalu terikat dengan al-Qur’an dan hadis’’.
Mengapa demikian, karena jika bertasawuf tanpa didasari ilmu syariat (fikih) maka akan mudah terjerumus dalam kezindikan, sebagaimana perkataan Imam Malik, “Barang siapa mendalami ilmu fikih tanpa disertai tasawuf maka dia telah fasik, dan barang siapa hanya bertasawuf tanpa didasari ilmu fikih maka dia telah zindik.” Wallahu a’lam.
Oleh: Muahammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id