ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Dr. Saihu M.Pd.I
Melihat fenomena sosial-kemasyarakatan dan sosial-keagamaan akhir-akhir ini, terkesan bahwa agama tidak bisa menyelesaikan konflik sosial bahkan sebaliknya menjadi penyulut terjadinya konflik. Banyak diantara pakar dunia memandang hanya budayalah yang mampu melerai segala konflik dan praktik kekerasan serta gesekan-gesekan sosial lainnya yang terjadi di masyarakat. Apalagi hal ini juga terkait dengan fenomena global yaitu adanya kekerasan dan tindakan teror atas nama agama. Sebagai contoh kasus serangan bom di gedung WTC pada 11 September 2011, bom Bali, dan lain-lain, hampir semuanya dipicu oleh sentiment keagamaan, sehingga semakin mempertegas anggapan bahwa agama adalah sumber konflik. Mereka beranggapan bahwa toleransi dan konstruksi sosial yang positif hanyalah bersumber dari pemeliharaan dan pemahaman terhadap kebudayaan yang dipahami secara mendalam oleh individu-individu dalam masyarakat dengan tanpa melibatkan unsur agama. Padahal, budaya hanyalah suatu potongan konsep yang tajam, mengkhusus, dan teoretis dari agama.
Untuk konteks Indonesia, hampir semua agama menyosialisasikan substansi keagamaannya melalui budaya, sehingga budaya dapat menjadi simbol dari agama tersebut. Di samping itu, agama dan budaya dapat diibaratkan seperti dua keping mata uang logam yang saling melengkapi. Agama dan budaya dapat berdiri sejajar dan sama-sama membentuk sikap individu, sekaligus merupakan kekuatan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan pertikaian yang menyengsarakan. Untuk menghindarkan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan pertikaian, salah satu sarana yang dapat digunakan adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan dalam pengertian yang luas, bukan sekadar untuk memperoleh titel kesarjanaan, tetapi pendidikan yang bertujuan menanamkan nilai-nilai agama, mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban unggul, tidak saja bersumber dari budaya daerah, tetapi juga bersumber dari unsur ilahiah yang mengalami penyempitan makna di era kontemporer sekarang ini. Untuk itu diperlukan sebuah model pendidikan yang dapat mengakomodasi budaya setempat, sekaligus mempertahankan tradisi dan identitas keagamaan, atau sebuah model pendidikan yang dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalih-generasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak, namun di saat yang sama, menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan lain yang berbuat serupa, sehingga konflik sosial-keagamaan dapat dihindari.
Di sinilah konsepsi pluralisme dapat memainkan peran pentingnya. Konsepsi pluralisme oleh para aktor di dunia pendidikan dikembangkan menjadi pendidikan pluralisme agama, sebagai jawaban atas fenomena globalisasi. Pendidikan pluralisme agama merupakan salah satu perwujudan dari pendidikan modern, karena model pendidikan pluralisme agama ternyata mampu menciptakan perdamaian dan kohesi sosial yang baik, serta dapat menjadi solusi atas problematika kontemporer dewasa ini. Model pendidikan ini lebih mengedepankan pada perubahan perilaku, sikap, serta kualitas karakter seseorang, dengan pendekatan pembelajaran yang tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menyentuh hati, sehingga mendorong peserta didik untuk dapat mengambil keputusan terbaik buat diri dan lingkungan sekitarnya, di samping memperteguh keyakinan keagamaan peserta didik, pendidikan ini juga mengorientasikan penanaman rasa empati, simpati, dan solidaritas terhadap sesama, baik muslim maupun non-muslim.
Pendidikan Pluralisme agama adalah solusi dari fenomena eksklusivitas beragama, berbudaya, dan berkelompok. Urgensi pendidikan dalam upaya merawat keberagaman didasarkan pada tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mengantarkan anak didik untuk dapat hidup di tengah dan bersama masyarakat guna memelihara dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya tempat mereka lahir dan tumbuh. Dalam rangka mewujudkan keberhasilan proses sosialisasi dan pembentukan struktur kepribadian yang mantap, tugas lembaga pendidikan (kelaurga, sekolah, dan masyarakat) adalah kembali membangun kebersamaan dalam suasana keberagaman. Dengan kata lain, yang lebih penting bagi lembaga pendidikan bukan menjamin adanya kesatuan dengan menegasikan keanekaragaman, tetapi menjaga kebersamaan dalam ke-bhineka-an. Pada aspek inilah sikap dan nilai pluralisme tampak jelas relevansinya dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan harus menjadi tempat tumbuhnya bibit-bibit demokrasi, karena pemeliharaan tradisi demokrasi tidak diwariskan begitu saja. Pola berpikir, tindakan, dan juga budaya demokrasi adalah sesuatu yang harus disosialisasikan, diajarkan, serta diaktualisasikan kepada generasi muda melalui pendidikan, baik itu melalui jalur pendidikan formal, non-formal, dan informal.
Pemilihan pendekatan dan metode pembelajaran haruslah didasarkan pada fenomena sosial daerah dimana lembaga pendidikan itu berada. Di jalur pendidikan formal misalnya, selain menggunakan metode yang dapat mengarahkan peserta didik untuk mendalami keyakinan yang dipeluknya, hal penting lainnya adalah para aktor pendidikan harus menggunakan metode pembelajaran yang dapat mengajak peserta didik untuk berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi budaya dan agama yang berbeda darinya. Lembaga pendidikan juga harus memperkaya kurikulum dengan literatur yang bersumber dari masyarakat dengan beragam kultur, etnis, dan agama, sehingga peserta didik dapat mengapresiasi cara pandang warga sekolah terhadap tradisi agama dan budaya masing-masing. Langkah selanjutnya adalah memilih materi-materi agama atau menentukan ayat-ayat pilihan yang berhubugan dengan keberagamaan dan kebhinekaan lalu dikorelasikan dengan konteks budaya daerah sekolah tersebut.
Sama halnya dengan aktivitas pembelajaran di lembaga pendidikan formal, proses pembelajaran di jalur pendidikan non-formal juga harus memilih metode dan pendekatan yang bersinggungan langsung dengan budaya setempat. Salah satunya adalah dengan menggunakan metode transformative learning. Metode ini bertujuan untuk mengajak peserta didik untuk berpikir reflektif, dialog terbuka, sekaligus mentrasformasikan cara pandang setiap individu yang taken for granted. Pesantren, di samping merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang keberadaannya merupakan hasil dari kebudayaan Indonesia, secara umum pesantren masih tetap menganut ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang berfungsi sebagai lokus utama dalam pewarisan dan penguatan Islam Nusantara atau Islam Indonesia berwatak wasathiyyah.
Lalu bagaimana dengan proses pendidikan pluralisme agama pada jalur pendidikan informal. Pendidikan pluralisme agama pada jalur pendidikan informal, harusnya menggunakan model pendidikan berbasis kearifan lokal (ethnopedagogy). Kearifan lokal memiliki fungsi yang signifikan di masyarakat, karena kearifan lokal merupakan sebuah mekanisme sosio-kultural yang diyakini dan telah terbukti sebagai sarana yang ampuh menggalang persaudaraan dan solidaritas antar warga yang telah melembaga dan mengkristal dalam tatanan sosial dan budaya Indonesia.
Di Bali misalnya, penduduknya menjadikan tradisi dan kearifan lokal sebagai sarana berinteraksi antar umat beragama. Melaui male, ngejot, rebana, mekepung, dan subak, dapat mempererat jalinan persaudaraan antar umat beragama yang dalam konteks Bali dikenal dengan istilah menyama-braya. Kearifan lokal tersebut merupakan hasil kombinasi yang unik antara budaya Hindu dan Islam. Dalam prosesnya, kebudayaan-kebudayaan ini selalu diilhami oleh nilai-nilai agama yang membuat kebudayaan dan tradisi tersebut menjadi sakral dan tidak bisa tidak untuk harus diikuti sebagaimana yang sudah diajarkan secara turun menurun dan berdampak langsung pada karakter masyarakat Bali.
Pendidikan pluralisme agama sebenarnya memprioritaskan pada pendidikan agama yang berbasis tauhid dan kemanusiaan. Apabila tingkat keimanan atau ketauhidan manusia itu tinggi, maka dengan sendirinya rasa kemanusiaan-nya pun tinggi. Itu artinya, hasil dari model pendidikan semacam ini akan mengarah pada pembentukan individu atau kelompok yang semakin mereka beragama, maka sudah pasti mereka akan semakin bersikap toleran kepada sesamanya.
Dengan demikian, melalui implementasi pendidikan pluralisme agama, akan membentuk sikap yang toleran, sikap saling menghargai akan eksistensi umat-umat beragama lain di Indonesia, menghadirkan “Islam with smiling Face” yaitu Islam yang penuh damai, moderat, sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM, perbedaan-perbedaan agama, budaya, dan kecenderungan-kecenderungan negatif lainnya.
(Penulis adalah Dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta)