قال الغزالي في ميزان العمل : مبدأ التعصب حرص جماعة
على طلب الرياسة باستتباع العوام ولا تنبعث دواعي العوام إلا بجامع يحمل على التظاهر والتناصر فجعلت المذاهب في تفصيل الأديان جامعا فانقسم الناف فرقا وتحركت غوائل الحسد والمنافسة فاشتد تعصبهم واستحكم به تناصرهم
وفي بعض البلاد لما اتحد المذهب وعجز طلاب الرئاسة عن الاستتباع وضعوا أمورا وخيلوا وجوب المخالفة فيها والتعصب لها كالعلم الأسود والعلم الأحمر فقال قوم الحق هو الأسود وقال أخرون: الحق هو الأحمر وانتظم مقصود الرؤساء في استتباع العوام بذلك القدر من المخالفة وظن العوام أن ذلك مهم وعرف الرؤساء الواضعون غرضهم في الوضع
: Al-Ghazali berkata dalam Mizan al-‘Amal,hlm 305 :
“Awal mula fanatisme (ta‘assub) adalah adanya ambisi segolongan orang untuk meraih kekuasaan dengan cara menarik pengikut dari kalangan awam. Namun, dorongan orang-orang awam tidak akan muncul kecuali jika ada sesuatu yang bisa menyatukan mereka dan mendorong mereka untuk saling menunjukkan loyalitas dan saling membela.”
“Maka dibuatlah mazhab-mazhab dalam rincian agama sebagai alat pemersatu itu, lalu umat pun terpecah menjadi berbagai kelompok. Dari sana muncullah bibit-bibit hasad (iri) dan persaingan, sehingga fanatisme mereka semakin menguat dan loyalitas antar kelompok pun semakin mengakar.”
Di beberapa wilayah, ketika mazhab sudah seragam dan para pencari kekuasaan tidak lagi bisa menarik pengikut melalui perbedaan mazhab, mereka pun menciptakan hal-hal baru dan menggambarkan seolah-olah ada kewajiban untuk menyelisihi orang lain dalam hal-hal itu, lalu membangkitkan fanatisme terhadapnya—seperti bendera hitam dan bendera merah.
Sebagian orang berkata, “Kebenaran ada pada yang hitam,” dan yang lain berkata, “Kebenaran ada pada yang merah.” Maka maksud para pemimpin itu tercapai hanya dengan sedikit perbedaan yang tampak, dan orang-orang awam mengira bahwa hal itu penting.
Adapun para pemimpin yang merekayasa perbedaan itu, mereka tahu persis tujuan mereka: menarik loyalitas dan kekuasaan dari orang-orang awam melalui simbol-simbol yang semu.
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari pernyataan Imam al-Ghazali:
1.Masyarakat mudah sekali terpengaruh oleh propaganda. Apalagi jika yang disampaikan dibungkus dengan simbol agama atau identitas kelompok.
2.Orang-orang awam sering kali menjadi sasaran empuk bagi elit atau tokoh yang punya ambisi tertentu. Mereka dimanfaatkan untuk memperkuat posisi, bukan untuk kebaikan umat.
3.Kebodohan masyarakat awam kadang justru dianggap sebagai aset yang perlu dipelihara, karena dengan itu mereka lebih mudah diarahkan dan dikendalikan.
4.Orang awam sering dijadikan “prajurit ideologis” untuk membela pemahaman yang sebetulnya bukan perkara prinsip, tapi dianggap harga mati karena sudah disulut oleh para tokoh yang punya kepentingan.
5.Karena itu, penting sekali untuk mengajarkan kepada masyarakat awam: mana bagian dari agama yang benar-benar prinsip (tidak bisa ditawar), dan mana yang bersifat cabang (masih bisa berbeda pendapat).
6.Saat masyarakat pecah dan saling bentrok, pertanyaannya bukan sekadar siapa yang salah, tapi: ke mana kalian wahai para penguasa? Di mana suara kalian yang dulu lantang menyerukan persatuan? Kenapa kalian diam saat kami saling menyakiti? Kenapa tidak ada yang turun mendamaikan kami? Jangan-jangan, perpecahan ini justru kalian biarkan, karena di situlah jalan kalian menjadi lebih mudah. Karena bagi sebagian yang zalim, kekacauan di bawah justru jadi bahan bakar untuk melanggengkan kekuasaan di atas.
Oleh: Muhammad Zulfa