Mulai sekarang saya tak gunakan diksi “bencana alam” melainkan “bencana tanda tangan.” Kalian boleh sepakat or tidak. Palembayan sedang mengalami tragedi akibat bencana itu. Sudah 74 tewas dan bakal bertambah terus. Simak kisah duka ini sambil seruput Koptagul, wak!
Di Sumatera Barat, tanah Bundo Kanduang, bukit barisan yang megah, Danau Maninjau yang diam seperti penyimpan rahasia kuno, dan hutan-hutan yang dulu menjadi benteng hijau, Palembayan tiba-tiba berubah seperti adegan akhir dunia. Tapi ini bukan murka alam. Jangan sebut ini “bencana alam”. Ini bencana tanda tangan, tanda tangan yang meneken izin tambang, meloloskan konsesi, mengangguk pada deforestasi, dan menutup mata pada degradasi tanah. Bencana ini lahir bukan dari langit, tapi dari meja rapat.
Pada Minggu, 23 November 2025, air bah turun, tanah runtuh seperti dinding rumah yang lapuk, dan Palembayan menjadi kuburan basah bagi manusia-manusia yang tak pernah ikut menandatangani apa-apa. Sebanyak 74 orang tewas, 27 di antaranya dari Palembayan, 21 sudah teridentifikasi, 6 masih terkubur entah di mana. Di seluruh Kabupaten Agam, 88 orang hilang. Hilang dari kartu keluarga, hilang dari pelukan orang tua, hilang dari daftar hadir sekolah, hilang dari sejarah keluarga.
Tim BPBD, TNI, Polri, Basarnas, relawan, semua menggali hingga Sabtu pagi, 29 November 2025. Mereka bukan mencari orang hidup. Mereka mencari bukti, bangsa ini masih punya rasa tanggung jawab, meski lewat pemulihan yang telat. Di sela beban kerja mereka, seolah tanah Sumbar berbisik dari balik lumpur, “Yang mengubahku bukan hujan tapi manusia.”
Karena mari kita buka boroknya dengan terang, pada Juli 2025, pemerintah daerah mengajukan lima kecamatan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat. Palembayan salah satunya. Izin belum sah. Legalisasi belum final. Tanda tangan gubernur belum membubuhkan stempelnya. Tapi lubang-lubang tambang sudah ada, jalur-jalur material sudah dibuka, aliran air tanah sudah diutak-atik. Ini bukan kejahatan tersembunyi, tapi kejahatan yang berlangsung di tempat terang.
Di tahun 2018, Agam memiliki 56.450,96 hektare hutan. Setahun kemudian tinggal 56.153,54 hektare. Berkurang hampir 300 hektare. Bagi politisi, angka kecil. Bagi hidrologi tanah, luka besar. Bagi bukit-bukit di Sumbar yang biasa disebut “Pematang Harapan”, yang menyimpan air dan menahan longsor, hilangnya hutan seperti mencabut pasak dari rumah gadang, sebelum akhirnya seluruh bangunan ambruk.
Maka jangan heran, tanah pun marah. Bukit yang biasanya kokoh, lemah. Sungai yang biasanya tenang, mengamuk. Alam Sumatera Barat yang tersembunyi dalam syair-syair Minang, berbalik jadi algojo.
Sementara pejabat berdiri di depan kamera, berkata, “Ini akibat curah hujan ekstrem.” Ah ya… selalu hujan yang disalahkan. Padahal air hanya mengikuti gravitasi, sedangkan tanda tangan mengikuti kepentingan. Di istana negara, Presiden masih diam. Tak ada kalimat duka. Tak ada kunjungan. Seolah Palembayan hanyalah titik kecil di peta, bukan luka besar bangsa.
Di Jorong Koto Alam, Palembayan, ada sandal kecil anak-anak yang tak sempat diselamatkan, ada foto keluarga basah di balik lumpur, ada panci terbalik di dapur tanpa pemilik. Di balik semua itu ada pertanyaan, siapa sebenarnya yang membunuh mereka?
Air kah? Tanah kah?Hujan kah? Bukan. Yang membunuh mereka adalah pena birokrasi. Stempel pemerintahan. Sepotong tanda tangan di atas kertas. Dikeluarkan di ruangan dingin ber-AC, tapi dibayar dengan nyawa di tanah basah Palembayan.
Ini tanah Minangkabau, tanah filosofi alam takambang jadi guru. Tapi ketika guru alam memberi peringatan melalui suara gemericik air, manusia tidak mendengar. Ketika memberi sinyal via retakan kecil tanah, manusia sibuk mengurus proposal izin. Ketika memberi pesan lewat berkurangnya hutan, manusia sedang mengesahkan konsesi.
Malam ini, di antara puing, lumpur, dan doa yang mengapung di udara, para relawan masih menggali. Mereka menggali tubuh. Mereka menggali tragedi. Tanpa sadar, mereka juga menggali bukti paling keras, bahwa ini bukan bencana alam, ini bencana yang ditandatangani manusia.
Sumber foto Sumbar Antara
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar









