Apa yang disampaikan Menag adalah nasihat orang-orang tua zaman dulu. “Kalau mau kaya jadi pedagang. Kalau mau banyak tamu jadi dukun. Kalau mau rezekinya berkah jadi petani. Kalau mau mulia ngajar ngaji”
Apa yang disampaikan Menag adalah nasihat kiai dan guru pesantren, “Jangan jadikan ilmumu untuk mendapatkan harta dan jabatan.” Atau nasihat lainnya, “Ngajar di masyarakat jangan sampai mengharapkan bayaran.” Atau juga nasihat, “Ngajar di masyarakat jangan dijadikan kerjaan.”
Apa yang disampaikan Menag tidak lain adalah nasihat kebaikan semata. Sama sekali tidak ada unsur merendahkan guru. Justru dengan nasihat, “Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pedagang”. Ungkapan ini adalah petuah orang tua kepada anaknya agar menjadi guru yang ikhlas demi ilmu.
Apa yang disampaikan Menag adalah nasihat untuk menjaga niat dan tujuan mulia seorang guru. Menag berharap guru tetap istikamah dalam niat dan tujuan mulia itu. Jangan sampai niat dan tujuan mulia tersebut dirusak oleh ketidakikhlasan dalam mengajar karena hatinya terhijab hal-hal duniawi.
Apa yang disampaikan Menag tidak lain semata ingin menjaga ilmu dan generasi bangsa agar berkah mendapatkan ilmu untuk masa depan dan akhiratnya. Karena, hanya oleh guru yang ikhlas dan fokus pada ilmu yang bisa melahirkan kader-kader ilmuan dan generasi yang bercita-cita mulia untuk bangsa dan negara.
Apa yang disampaikan Menag justru mengangkat derajat para guru. Bahwa guru yang mengajarkan ilmunya tidak bisa dibandingkan dengan orang yang hanya kaya harta. Guru yang sukses adalah guru yang melahirkan generasi ilmuan bukan generasi yang sekedar mengejar status jabatan atau hartawan.
Apa yang disampaikan Menag sesungguhnya menjadi tamparan keras kepada pejabat, pemerintah dan para wali murid atau santri, bahwa guru itu wajib fokus mengajarkan ilmu untuk mendidik dan mengajari generasi bangsa. Jangan sampai guru malah dibiarkan sibuk duniawi karena tidak dijamin kesejahteraannya.
Apa yang disampaikan Menag juga mengingatkan kepada para pengelola lembaga pendidikan. Karena tidak sedikit lembaga pendidikan malah dijadikan pambrik perusahaan. Yang menjadi tujuan hanya profit. Sementara kesejahteraan para guru tidak diperhatikan.
Apa yang disampaikan Menag menjadi peringatan, jangan-jangan para pejabat yang tidak amanah atau bahkan korup, mereka dihasilkan dari didikan sekolah atau guru yang mementingkan uang bukan murni mengajarkan ilmu.
Apa yang disampaikan Menag tidak hanya tentang yang dikesankan salah dan viral itu. Justru Menag lebih banyak tentang nasihat memuliakan dan mengapresiasi guru. Hanya saja nasihat yang mulia itu dipotong dan dipelintir dengan bahasa media yang kejam. Maka simaklah nasihat lengkapnya.
Apa yang disampaikan Menag dikesankan seolah merendahkan guru, itu karena kondisi publik saat ini yang sedang sensitif. Sehingga, nasihat yang bertujuan mulia dan suci itu terhijab oleh kebencian dan hasutan.
Menyikapi media sosial itu harus:
Pertama, bahasa media. Kita jangan percaya kepada bahasa media seratus persen. Karena bahasa media memang ada unsur untuk memantik emosi para pembaca. Makanya ada istilah pelintir. Tujuannya adalah semata rating.
Kedua, ada pihak yang sangaja menjadikan bahasa media yang dipelintir itu untuk gaduh dan suasana publik penuh emosional. Atau ada tujuan tertentu yang tendensius dan ambisius.
Ketiga, ikut-ikutannya orang awam. Bahasa media yang dipelintir dan unsur kesengajaan yang tendensius dan ambisius akan semakin masif dengan ikut-ikutannya orang awam. Orang awam akan dijadikan mesin untuk menggerakkan tujuan dan kepentingan pihak yang menghendaki suasana rusuh.
Penulis: Muhammad Taufiq Maulana