Hari Raya Waisak dan Spirit Moderasi Nahdliyin

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Khazin

Dalam catatan kalender, setiap tanggal 4 Juni bertepatan dengan peringatan Hari Raya Waisak bagi pemeluk umat Budha.

Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Saga Dawa di Tibet, Vesak di Malaysia, dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Langka. Nama ini diambil dari bahasa Pali “Wesakha”, yang pada gilirannya memiliki keterkaitan dengan “Waishakha” dari bahasa Sanskerta.

Hari suci agama Budha kali ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan dengan hadirnya 32 Biksu (seorang pria yang telah ditahbiskan dalam lingkungan biara Buddhis), melakukan tradisi Thudong (perjalanan ritual) dengan melakukan tirakat berjalan kaki menuju Borobudur, sejauh 2.600 km lebih melewati Thailand- Malaysia-Singapura-Indonesia.

Ada hal menarik selama perjalanan, terutama ketika memasuki Indonesia. Antusiasme masyarakat dalam menyambut kedatangan para biksu terbilang sangat tinggi. Banyak diantara mereka yang memberikan bantuan makanan dan minuman bahkan ada pula yang menawarkan tumpangan untuk sekedar melepas lelah.

Kaum Nahdliyin juga tak lepas untuk ikut berkontribusi dalam memberikan kemudahan. Para Banser (Barisan Ansor Serba Guna) turut mengawal selama dalam perjalanan, bahkan dilansir dari nu.or.id (04/06) rombongan 32 biksu tersebut tiba di kota Tegal dan singgah di kantor Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Margarana, Kota Tegal, Jawa Tengah, setelah perjalanan dari Batam-Jakarta-Bekasi-Cikarang-Karawang-Cikampek-Pamanukan-Kandanghaur-Jatibarang-Cirebon-Losari, dan selanjutnya melewati Pemalang-Pekalongan-Banyuputih-Kendal-Semarang-Ambarawa-Magelang.

Sumber foto: nuonline Jateng

Sesampainya di Pekalongan, tepatnya di Gedung Kanzus Sholawat milik Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Habib Muhamad Luthfi bin Yahya, telah disiapkan tempat penginapan bagi para biksu yang transit lengkap dengan fasilitas pijat. Habib Lutfi melalui sambungan video dengan seorang biksu yakni Bhante Kandadhamo, mengutarakan niatnya untuk menyusul para biksu ke candi Borobudur.

Adanya realitas di atas menjadi pemandangan yang cukup menyejukkan tentang sikap moderasi yang dipraktekkan oleh kaum Nahdliyin. Berusaha menyuguhkan pentingnya menjaga adab antar agama dan memperlakukan umat lain yang berbeda keyakinan sebagai saudara yang harus dihargai dan dihormati kedatangannya.

Membangun Sikap Moderasi Beragama
Moderasi beragama merupakan tatanan nilai-nilai luhur di dalam beragama dengan mengedepankan sikap moderat, toleran dan inklusif.

Sebuah ketegasan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan menolak semua tindakan radikal, intoleran dan eksklusif khususnya yang mengatasnamakan agama sebagai senjatanya.

Ajaran semacam ini juga tertera dalam pancasila yaitu sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, yang memberi pesan moral bahwa negara menjamin akan kebebasan dalam memeluk agamanya masing-masing, dan menjamin akan terciptanya perdamaian dan ketenangan bagi segenap tatanan masyarakat ketika menjalankan ajaran agamanya.

Maka sangat jelas, tindakan pemerintah melarang keras sikap beragama masyarakat yang menjadikan pengkultusan dogma-dogma ideologi sebagai bentuk pembenaran dalam melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain yang berseberangan dengan ideologinya. Sikap kontradiktif dengan sila pertama inilah yang memberikan legasi pemerintah untuk menindak tegas kecendrungan lahirnya radikalisme agama, ekstremisme, apalagi tindakan terorisme.

Kontribusi Nahdlatul Ulama terhadap negara telah diinisiasi oleh KH. Hasyim Asy’ari melalui pernyataan beliau hubbul wathan minal iman artinya segala bentuk keberagaman yang ada di Indonesia harus selaras dengan kecintaan dirinya terhadap tanah air, ikut menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam tatanan prakteknya, sikap moderasi kaum nahdliyin dapat dilihat ketika rombongan para biksu ingin merayakan hari suci Waisak di Borobudur, semua bahu-membahu memberi teladan dan seolah menegaskan bahwa Indonesia adalah tempat yang nyaman untuk beribadah bagi semua agama. Layaknya sebuah oase bagi kaum beragama di tengah gurun arogansi dogmatis.

Sikap moderasi dalam beragama sebagaimana dicontohkan oleh warga nahdliyin di atas sudah semestinya terus ditanamkan bagi setiap generasi ke generasi. Sebagai spektrum dogma absolut yang tidak bisa dimanipulasi oleh apapun, termasuk dalam hal materialistis. Sehingga nantinya sikap tersebut akan tumbuh menjadi karakter kuat dan menjadi ladang investasi masa depan martabat dan harga diri bangsa Indonesia di mata dunia.

Akhirnya, selamat Hari Raya Tri Suci Waisak 2567 BE.

(Penulis adalah Sekretaris LTN NU Kota Denpasar, dan Mahasiswa Pascasarjana Bahasa Indonesia Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Bali)

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »