Dulu, aku terlalu mudah tersulut. Komentar orang bagiku seperti duri menusuk dan membekas. Dulu, kupikir semua harus diklarifikasi, semua perlu dijelaskan. Aku ingin dunia tahu bahwa aku tidak seperti yang mereka katakan. Bahwa suamiku bukan seperti yang mereka tuduhkan. Tapi, hidup mengajarkanku sesuatu. Atau lebih tepatnya, suamiku yang mengajarkannya.
Pernah suatu kali, aku datang dengan cerita panjang tentang bagaimana orang-orang berbicara di belakangnya. Tentang mereka yang di depan begitu takdzim, namun di belakang menebar tuduhan. Katanya ia ulama su’, katanya ia liberal, katanya ia sesat. Ada yang menyayangkan ilmunya, ada yang menyayangkan nasabnya, ada yang menghakimi caranya berdakwah serta berbagai macam tuduhan tak berdasar dan nyinyiran lainnya.
“Kenapa harus mengisi kajian jauh-jauh? Cari popularitas?”
“Kenapa mengajar di kampus? Bukankah ada banyak perempuan disana?”
“Kenapa harus bergabung dengan organisasi seperti NU, sayang sekali.”
Dulu, aku pikir, ini masalah besar. Aku pikir, ini perlu dijawab. Aku pikir, aku harus menceritakan semuanya agar ia tahu betapa kejamnya dunia, tapi ia hanya tersenyum.
“Sudah? Yuk, makan.”
Seolah tidak ada yang terjadi. Seolah tuduhan itu hanya angin lalu. Bahkan sebelum aku selesai bercerita, ia sudah lebih dulu bertanya, “Penting nggak membahas ini?” atau hanya tertawa ringan seakan yang bagiku beban, baginya hiburan.
Lama-lama, aku mengerti. Tidak semua hal perlu ditanggapi. Tidak semua ucapan layak mendapat balasan. Dan tidak semua orang yang berbicara buruk tentang kita benar-benar tahu apa yang mereka katakan. Sebab hidup ini terlalu luas untuk menyempit hanya karena komentar orang, maka aku belajar darinya, dari cara ia menyikapi dunia. Dari caranya menertawakan yang bagiku menyakitkan. Dari ketenangannya menghadapi yang bagiku mengkhawatirkan.
Dulu, aku begitu peduli pada omongan dan tuduhan orang. Sekarang, aku belajar untuk hanya peduli pada yang benar-benar penting.
Dan aku sadar, teman itu berpengaruh. Sangat berpengaruh. Apalagi teman hidup. Sebab darinya, tanpa perlu banyak diajarkan, aku belajar cara menjalani hidup dengan lebih ringan, lebih tenang, lebih tersenyum.