Syaikhona Kholil Bangkalan, Pahlawan Nasional dan Simpul Keilmuan Islam di Nusantara

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Kabar bahagia tengah menyelimuti dunia pesantren dan kalangan santri di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia, pada Senin (10/11/2025), secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan. Penganugerahan ini merupakan bentuk pengakuan atas jasa besar beliau dalam perjuangan pendidikan Islam dan kontribusinya terhadap kebangkitan bangsa.

Gelar ini bukan sekadar penghormatan terhadap sosok ulama besar asal Bangkalan, tetapi juga penegasan bahwa pondasi keilmuan Islam di Nusantara tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari perjuangan panjang para ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menyebarkan ilmu.

Bagi kalangan santri, nama Syaikhona Kholil bukan hanya dikenal sebagai tokoh lokal Madura, tetapi sebagai poros spiritual dan keilmuan Islam Nusantara. Beliau adalah kiai kharismatik yang menjadi guru bagi banyak ulama besar Indonesia, sumber mata air keilmuan yang mengalir deras dan melahirkan generasi pembaru Islam di berbagai penjuru tanah air.

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia, bahwa peran Syaikhona Kholil melampaui ruang dan waktu. Ia bukan hanya milik Bangkalan atau zamannya, melainkan sosok inspiratif yang mengajarkan bagaimana ilmu, iman, dan perjuangan dapat berpadu dalam satu napas keulamaan.

Simpul Keilmuan Islam Nusantara

Pada penghujung abad ke-19, Madura, khususnya Bangkalan, menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang sangat berpengaruh di Nusantara. Catatan Snouck Hurgronje menyebut adanya fenomena yang dikenal dengan istilah “ngetan”, yakni tradisi para santri dari Jawa bagian barat yang berkelana ke arah timur untuk menimba ilmu agama.

Pengembaraan intelektual itu berlangsung secara berjenjang. Para santri memulai perjalanan dari Banten, lalu menuju Bandung, Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Cirebon, kemudian bergerak ke Magelang, Semarang, Kudus, Pacitan, Madiun, Tuban, Surabaya, hingga akhirnya berlabuh di Madura. Baca Juga Shalawat Ilmu Syaikhona Kholil Bangkalan: Cara Baca dan Keutamaannya Jika Snouck Hurgronje hanya mencatat Madura sebagai pentasbihan ilmu para santri, maka keterangan Hasan memberikan gambaran yang lebih mendalam. Ia menulis bahwa setelah merasa cukup belajar di wilayah Jawa Barat, para santri akan melanjutkan perjalanannya ke arah timur, menuju Surabaya, tepatnya di daerah Sidosermo, lalu meneruskan langkahnya ke Bangkalan untuk menimba ilmu kepada Syaikhona Kholil.

Tidak mengherankan jika pada masa itu Bangkalan dikenal sebagai pusat pendidikan dan tempat singgah penting bagi para pencari ilmu. Di sanalah para santri menempa diri sebelum melanjutkan perjalanan spiritual dan intelektual mereka ke Makkah, yang dianggap sebagai pelabuhan ilmiah terakhir. (Muhaimin dkk, Syaikhona Kholil: Guru Para Ulama dan Pahlawan Nasional, [Bangkalan, CV Orang-orang Madura: 2021], halaman 199)

Keterangan paling berharga mengenai posisi keilmuan Syaikhona Kholil dapat ditemukan dalam Manuskrip Al-‘Iqd Al-Farid karya Syaikh Yasin al-Fadani, seorang ulama besar asal Padang yang menetap dan mengajar di Makkah. Dalam karya tersebut, beliau menegaskan bahwa sanad keilmuan mayoritas ulama Indonesia pada abad ke-19 bermuara pada dua tokoh besar Nusantara, yaitu Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dan Syaikh Mahfuzh Termas.

Artinya, hampir seluruh jaringan keilmuan Islam di Nusantara memiliki keterkaitan dengan Syaikhona Kholil baik secara langsung melalui bimbingan beliau, maupun secara tidak langsung melalui para murid dan penerusnya. Dalam catatannya, Syaikh Yasin al-Fadani menulis:

وتخرج على يديه أكثر من نصف مليون نفس من أنحاء إندونيسيا من بين هؤلاء ثلاثة آلاف أئمة أعلام يشار إليهم بالبنان في جزيرتي جاوا سومطرا وجزيرة مادورا، ويطلق عليهم اسم الكياهي بمعنى العالم الكبير، ومنهم أكثر من مائتي عربي يطلق على كل واحد منهم اسم العلامة أو العارف بالله أو الفقيه

Artinya, “Lebih dari setengah juta santri dari seluruh penjuru Indonesia pernah belajar kepada beliau. Di antara mereka, ada tiga ribu orang yang menjadi imam alim yang menjadi panutan. Mereka berasal dari Jawa, Sumatera, atau pun Madura. Masing-masing dari mereka digelari dengan nama ‘Kiai’ artinya seorang alim besar. Di antara para santri itu, ada dua ratus orang lebih yang bersuku Arab. Mereka dijuluki dengan ‘Allamah’, ‘Arif Billah’, atau pun ‘Faqih.'”

Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi gambaran konkret betapa luasnya pengaruh beliau dalam dunia pendidikan Islam. Dari tangan Syaikhona Kholil lahir ribuan tokoh ulama, dari berbagai etnis dan daerah, yang kelak mendirikan pesantren dan menjadi pilar penyebaran Islam di Nusantara. Pengakuan yang sama juga disampaikan Kiai Ahmad Qusyairi. Dalam kutipan Manuskrip kitab as-Silah beliau menegaskan peran besar Syaikhona Muhammad Kholil dalam proses pendidikan Islam di Nusantara. Beliau menulis:

ولو لم يكن من كراماته إلا أن أغلب أهل جاوه مع اختلاف لغاتهم من المَرَكِيّ والسندوري والسندوي وشَرْذَمة من الملايوي من تلاميذه شخصًا وأنا على الأكثر، بل وجد أيضًا على الأقل لكفى

Artinya, “Sekiranya tidak ada karamah lain yang dimiliki Syaikhona Kholil selain kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Jawa meskipun berbeda bahasa, seperti orang Mareki (Madura), Senduri (Sunda), Sendawi (Jawa), serta sebagian kaum Melayu) adalah murid-muridnya, maka hal itu saja sudah cukup menjadi bukti keutamaannya. Bahkan, seandainya hanya sedikit saja muridnya yang ditemukan, jumlah yang kecil itu pun sudah cukup menjadi tanda keagungan dan keberkahan ilmunya.”

Di antara muridnya yang menjadi pelanjut gagasan besar keilmuan Islam di Tanah Air, antara lain: Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari (Tebuireng-Jombang), KH A Wahab Chasbullah (Tambakberas-Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo-Situbondo), KH Bisri Syansuri (Denanyar-Jombang), KH Manaf Abdul Karim (Lirboyo-Kediri), KH Ma’shum Ahmad (Lasem-Rembang), KH Muhammad Siddiq (Jember), KH Ihsan bin Dahlan (Jampes-Kediri), KH Hasan Musthafa (Garut), KH Abdullah Sajjad (Guluk-guluk Sumenep), KH Zaini Abdul Mun’im (Paiton-Probolinggo), KH Nawawi Noerhasan (Sidogiri-Pasuruan), KH Abdul Hadi Zahid (Langitan-Tuban), KH Saleh (Lateng-Banyuwangi), KH Abdul Manan (Muncar-Banyuwangi), KH Yasin (Jekulo-Kudus), KH Abdul Hadi bin KH Ahmad Dahlan Tremas (Loloan Timur-Bali), KH. Fathul Bari (Paniraman, Kalimantan Barat) dan banyak lagi ulama besar lainnya yang meneruskan estafet dakwah dan pendidikan Islam di Nusantara.

Dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini, nama Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan kini resmi diakui bukan hanya sebagai guru para ulama, tetapi juga sebagai pahlawan peradaban Islam Nusantara.

Oleh: Ustadz Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan (Sumber:nu.or.id)

 

 

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »