ASWAJADEWATA.COM |
Sepuluh November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional oleh Negara Republik Indonesia beserta seluruh rakyatnya. Melalui Keppres no. 316 th. 1959 Presiden Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai hari peringatan nasional mengenang para pahlawan yang gugur di Kota Surabaya demi mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara sekutu.
Bermula dari ultimatum yang dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh pengganti Jenderal Mallaby yang tewas pada 30 Oktober 1945 oleh arek Suroboyo dalam peristiwa di jembatan merah. Dia meminta warga Surabaya menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan terhadap ANFEI dan NICA (gabungan tentara sekutu) paling lambat pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Jika tidak, Mansergh mengancam akan menyerbu kota Surabaya lewat serangan laut, darat, dan udara dengan seluruh kekuatan pasukan yang dipimpinnya.
Ultimatum itu tak lantas membuat gentar para pemuda dan warga Surabaya. Mereka terus melawan, hingga pecahlah perang terbesar dalam sejarah Revolusi Indonesia itu dengan memakan banyak korban di kedua pihak.
Telah banyak diketahui bahwa kalangan kiai dan santri pondok pesantren ikut terlibat langsung dalam peristiwa 10 November ini. Terlebih setelah dikeluarkannya fatwa Jihad (Resolusi Jihad) oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar Nahdlatul Ulama sebagai kewajiban setiap rakyat mempertahankan kemerdekaan serta kedaulatan negara.
Salah satu jejak sejarah kala itu kini masih dapat ditemui di PP. Al Hamdaniyah di Desa Siwalanpanji Buduran, Sidoarjo. Dua rumah panggung dengan dinding anyaman bambu disana seperti sengaja dibiarkan di antara bangunan lain dalam kompleks pesantren. Seolah menjadi semacam monumen peringatan. Sangat menarik perhatian bagi siapa saja yang berkunjung kesana.
Tetap difungsikan sebagai sarana belajar para santri hingga sekarang, para pengasuh mengatakan bahwa keaslian bangunan tersebut tetap dipertahankan sebagai saksi sejarah pondok pesantren tertua di Sidoarjo atau bahkan mungkin di Jawa timur itu.
Tokoh-tokoh Ulama NU seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, KH. Ridwan Abdullah, KH. Machrus Ali, KH. Abdul Karim hingga KH. Wachid Hasyim diketahui pernah mengenyam pendidikan di pesantren ini.
Selain sebagai tempat belajar para santri, ternyata bangunan ini waktu itu juga kerap menjadi tempat pertemuan para kiai membahas pergerakan melawan penjajah. Salah satunya sebagai cikal bakal lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dan penyusunan strategi pertempuran 10 November 1945 dari kalangan ulama dan santri.
Lewat sepenggal peninggalan dari bangunan sederhana itu, kita ketahui bahwa jiwa merdeka, cinta tanah air, dan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri setiap Santri Nahdlatul Ulama, yang senantiasa dipegang teguh hingga sekarang.
Penulis: Dadie W. Prasetyoadi
(Diambil dari berbagai sumber)