Setelah ditemukan SK Pendirian PCNU Buleleng yang dikeluarkan PBNU pada tahun 1954, kami berusaha untuk mencari tau beberapa nama yang tercantum dalam SK tersebut. Dari 12 nama tokoh yang masuk dalam SK, hanya sosok KH Muhammad Murtadho atau dikenal dengan Guru Muh yang merupakan Rois Syuriah pertama PCNU Buleleng, berhasil ditemukan keturunannya.
Nama lain, seperti Ketua Tanfidziah PCNU Buleleng yakni R.H. Moh Kamil, dari beberapa sesepuh yang kami tanyakan, tidak ada yang mengenalnya. Jejak arsip surat dan dokumentasi foto juga belum ditemukan.
Namun, dalam penelusuran tersebut, justru kami menemukan foto sosok Moh. Hasan, dimana dalam SK Pendirian PCNU Buleleng ditunjuk sebagai Katib Syuriah. Foto ini kami dapatkan saat berkunjung ke rumah Pak Among Abdurrahman (71), pemerhati Sejarah Islam Bali, yang juga pernah hidup sezaman dengan Moh Hasan.
Pak Among menunjukan foto Moh Hasan yang berpose bersama para pemuda, yang menurut Pak Among foto tersebut diperkirakan berlokasi di depan kantor gubernur sunda kecil. Moh Hasan berada ditengah dengan berpakaian rapi lengkap dengan kopiah hitam, menandakan foto diambil setelah menghadiri acara pemerintah, dikisaran tahun 1950an.
Dari dua kali pertemuan dengan Pak Among, kisah hidup Moh Hasan terbilang tak biasa. Seperti apa? Begini kisahnya sebagaimana hasil wawancara kami dengan Pak Among di rumahnya di perumahan Jalak Putih dan di sebuah Villa di Kawasan Lovina pada bulan Oktober tahun 2024. Untung saja rekaman wawancara kami masih tersimpan, dan baru sempat ditulis sekarang.
Moh Hasan lahir di Kampung Kajanan Singaraja pada tahun yang belum bisa diperkirakan. Ia menekuni agama mulai belajar di kampung kelahiran, hingga pernah mondok di pulau jawa. Karena kedalaman ilmu agama dan kiprahnya di masyarakat, Moh Hasan akhirnya lebih dikenal dengan panggilan Guru Hasan.
Guru Hasan aktif mengajar ngaji di rumahnya, dan mengisi pengajian di masyarakat. Menurut Pak Among, saat itu ada dua orang yang paling dihormati di Singaraja, pertama Guru Muh (Rois Syuriah Pertama PCNU Buleleng) dan setelah itu Guru Hasan. Guru Hasan akan diminta menjadi Imam dan Khotib Masjid Ketika Guru Muh berhalangan. Guru Muh merupakan Imam utama Masjid Jami Agung Singaraja hingga akhir hayatnya.
Transmigrasi ke Sumbawa
Keadaan kemudian berubah pasca terjadi erupsi Gunung Agung pada tahun 1963. Banyaknya sawah dan lahan yang rusak, berdampak terhadap perputaran ekonomi di Singaraja. Bukan hanya di Singaraja, tapi juga se Bali merasakan dampak ekonomi yang serba kesulitan. Inilah yang kemudian memaksa sebagain masyarakat Bali untuk memilih transmigrasi, termasuk Guru Hasan dan keluarga.
Pada momen ini, Pak Among bisa dengan detail menceritakan karena ia bersama keluarganya termasuk dalam rombongan transmigran Bali yang oleh pemerintah diarahkan ke Sumbawa. Tentu ini pilihan yang sangat berat, utamanya bagi Guru Hasan harus meninggalkan kampung halaman dan segala peradaban yang telah dibangunnya.
Guru Hasan bukan pegawai pemerintah, namun dengan kiprahnya di organisasi NU ia memiliki banyak koneksi, tapi ia tidak mau menggunakan jaringan itu untuk kebutuhan ekonomi pribadinya. Sehingga dalam situasi sulit tersebut, ia memilih pindah dan mengadu nasib demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Transmigrasi ini terjadi pada tahun 1964 awal.
Pak Among yang kala itu berusia 10 tahun, mengingat bahwa lahan yang diberikan kepada transmigran asal Buleleng ini di daerah Plampang Sumbawa. Lahan garapan cukup luas, jadi bisa ditanami berbagai tumbuhan dan hewan ternak, termasuk sapi dan kuda.
Di daerah tersebut, sebagaimana yang diceritakan Pak Among, penduduknya sudah semua beragama Islam. Hanya saja, minim pemahaman tentang agama, mungkin karena akses yang jauh dari perkotaan. Setelah berada disana, Guru Hasan mendirikan langar sebagai tempat sholat, sekaligus tempat mengajar ngaji masyarakat setempat dan anak anak transmigran.
Tidak lama setelah itu, nama Guru Hasan semakin dikenal di kampung tersebut, termasuk desa desa sekitarnya. Sehingga aktivitas Guru Hasan selain menggarap kebun, ia juga keliling kampung untuk memberikan pemahaman keagamaan yang masih awam.
“saya ingat sekali, Guru Hasan diundang ceramah di acara Maulid, Guru Hasan menjadi figure utama, penghormatan masyarakat disana luar biasa ke beliau, kalau pulang, bawaan oleh olehnya dari masyarakat setempat sampai bertandu tandu, dulu kemana mana pakai kuda, saya biasa keliling pakai kuda jaman itu” kata Pak Among sambil bersemangat mengingat momen saat di Sumbawa.
Wafat dalam Kesunyian
Para transmigran disana terbilang sudah nyaman dan berhasil menggarap Perkebunan. Hanya saja semua berubah saat meletusnya kejadian G 30 S 1965 di Jakarta, yang juga berdampak pada chaos sosial hingga ke daerah daerah, termasuk juga sumbawa.
Di penghujung tahun1965, seingat Pak Among, ada isu bahwa kampung transmigran yang ditempatinya akan diserang, sehingga hampir semua diungsikan utamanya perempuan dan anak anak ke ibukota kecamatan Plampang. Ada Sebagian yang bertahan menjaga kampung, termasuk Guru Hasan.
Ternyata serangan malam itu tidak benar. Hanya saja, terror ancaman dan keselamatan terus menghantui masyarakat, utamanya kampung transmigran. Sebagian besar memilih berada di Plampang ibu kota kecamatan, tidak Kembali ke kampung transmigran, sebagian besar lagi akhirnya kembali ke Singaraja, termasuk Pak Among dan keluarga.
Bagaimana dengan Guru Hasan? Dari cerita Pak Among, Guru Hasan tetap bertahan di kampung transmigran. Ia tetap membersamai masyarakat disana, meski dalam ancaman. Padahal saat itu bisa saja ia memilih pindah tempat ke kota kecamatan yang lebih aman dan mudah akses.
Beberapa tahun setelah Pak Among balik dan tinggal kembali di Singaraja, mendengar kabar bahwa Guru Hasan wafat di Sumbawa. Pak Among tidak mengingat secara pasti kapan wafatnya, hanya saja ia memastikan wafatnya Guru Hasan sebelum tahun 1970. Guru Hasan wafat dalam kesunyian, jauh dari keluarga besarnya, jauh dari kota kelahiranya yang sangat ia cintai di Buleleng Bali.
Makam Guru Hasan masih kami telusuri melalui beberapa teman yang berada di Sumbawa. Kami sedikit kesulitan karena Pak Among lupa nama desa, hanya mengingat nama kecamatan Plampang. Menurutnya, jarak antara Desa yang ia tempati dulu dengan ibu kota kecamatan sekitar 7 kilometer. Semoga suatu saat Makam salah satu pendiri NU Buleleng ini bisa ditemukan, untuk Pelajaran Sejarah bagi generasi yang akan datang.
Abdul Karim Abraham (Ketua PC GP Ansor Buleleng)









