ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Jafar Shodiq
Beberapa waktu terakhir, ruang publik—baik media konvensional maupun media sosial—dipenuhi dengan narasikelam tentang kondisi ekonomi Indonesia. Melemahnya dayabeli, PHK massal di berbagai sektor, nilai tukar rupiah yang menembus Rp 17 ribu-an per dolar AS, serta aksi demonstrasi mahasiswa yang menggema di sejumlah kota, seolah menjadi gejala awal dari sesuatu yang lebih besar. Banyak yang mulai menyandingkan situasi ini dengan krisis1998—sebuah trauma kolektif yang masih lekat dalam ingatan bangsa.
Namun sebelum kita terseret lebih jauh dalam pusaran ketakutan, penting untuk mengajukan satu pertanyaan mendasar: Apakah kondisi saat ini benar-benar seburuk 1998? Ataukah ini hanya efek bola salju dari narasi tanpa data?
Belajar dari Data: 1998 vs 2025
Mari kita bandingkan secara jernih:
Kondisi tahun 1998:
Kondisi tahun 2025 (hingga awal tahun ini):
Angka-angka ini bicara lebih jujur daripada narasi yang liar. Ya, situasi ekonomi saat ini memang penuh tantangan. Tapi menyamakannya dengan kehancuran sistemik tahun 1998? Itu seperti membandingkan hujan deras dengan tsunami.
Justru yang kita butuhkan saat ini adalah keberanian untuk melihat realitas secara utuh—tidak menutup mata terhadap persoalan, namun juga tidak berlebihan dalam panik.
Krisis Itu Nyata, Tapi Tidak Selalu Harus Berujung Kiamat
Bukan berarti ekonomi Indonesia sedang baik-baik saja. Ada tekanan, ada risiko, ada ancaman—baik dari dalam negeri maupun global. Tapi membiarkan diri tenggelam dalam narasi kiamat ekonomi hanya akan memperburuk situasi. Alih-alih menjadi bangsa yang resilien, kita bisa berubah menjadi masyarakat yang paranoid dan apatis. Dan itu jauh lebih berbahaya.
Narasi krisis yang beredar luas bisa menjadi alarm yang sehat jika direspons dengan rasional. Misalnya, masyarakat bisa mulai menahan konsumsi yang tak mendesak, memperkuat tabungan, dan berpikir ulang sebelum mengambil risiko finansial besar. Tapi jika narasi itu menjelma jadi histeria massal, maka bukan krisis ekonomi yang menjatuhkan kita—melainkan ketakutan kita sendiri.
Pelajaran dari Sejarah: Proteksionisme yang Bunuh Diri
Di sisi global, ada pula ancaman lain: perang dagang. Kebijakan Trump yang menaikkan tarif impor hingga 32% untuk produk dari negara-negara seperti Indonesia, Singapura, dan lainnya, mengingatkan kita pada sejarah kelam: Great Depression tahun 1930-an.
Waktu itu, AS menaikkan tarif impor secara masif dengan tujuan mulia: melindungi industri dalam negeri. Namun hasilnya justru sebaliknya. Negara-negara lain membalas, volume perdagangan dunia anjlok lebih dari 60%, dan ekonomi global jatuh lebih dalam. Kebijakan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan justru mempercepat kehancuran.
Diplomasi Singapura: Kecil, Tapi Kelas Dunia
Sikap Singapura terhadap tarif Trump adalah pelajaran penting tentang kepemimpinan strategis. PM Lawrence Wong takmembalas dengan serangan, tak mengumbar kecaman emosional. Ia tenang, bijak, dan diplomatis.
Ia tahu, terkadang kekuatan sejati ada dalam kemampuan menahan diri dan memilih negosiasi ketimbang konfrontasi. Di forum internasional pun, saat ditekan untuk memilih antara AS dan Tiongkok, ia menjawab dengan elegan:
“Kami akan memilih keputusan yang terbaik untuk kepentingan nasional Singapura.”
Ini bukan hanya diplomasi cerdas. Ini cermin bahwa negara kecil pun bisa bersuara besar jika tahu kapan harus tegas, dan kapan harus fleksibel.
Refleksi: Narasi Bisa Jadi Senjata atau Bumerang
Narasi bukan hanya cerita. Ia bisa membentuk persepsi, menggerakkan massa, bahkan memicu krisis. Maka penting untuk menjaga narasi tetap waras, berbasis data, dan menyuarakan kewaspadaan yang membangun—bukan ketakutan yang melumpuhkan.
Kita sedang diuji. Bukan hanya oleh angka-angka ekonomi, tapi oleh bagaimana kita sebagai bangsa meresponsnya. Akankah kita menjadi penonton yang pasrah, atau pemain aktif yang siap menghadapi tantangan?
Akhir Kata: Bangkit atau Terpuruk, Kita yang Menentukan
Semoga para pemimpin negeri ini diberi hikmah dan kekuatan dalam mengambil keputusan. Dan semoga kita semua sebagai rakyat tidak kehilangan akal sehat, keberanian, dan solidaritas di tengah gelombang ketidakpastian.
Bangun, berpikir, bergerak. Jangan hanya mengeluh, tapi lakukan sesuatu.
Dan pagi ini, seperti biasa, nikmati secangkir kopi—karena revolusi pun, sering kali, dimulai dari obrolan di meja kopi.