ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Subhan
Siapa yang tidak kenal dengan istilah Santri? ya istilah yang erat kaitannya dengan pondok pesantren. Diketahui bahwa asal muasal kata santri memang dipopulerkan oleh sebagian pelajar di indonesia, kalau kita menilik sejarah. Muncul pada abat ke-17, istilah santri dipopulerkan oleh beberapa tokoh atau ulama’ di masa itu, terutama ulama’ yang erat kaitannya dengan penyebaran agama islam yaitu Walisongo.
Istilah ‘santri” diambil dari kata shastri (Castri = India), dalam bahasa Sansekerta bermakna orang yang mengetahui kitab suci Hindu. Pada perkembangannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dibuat pada awalnya seperti rumah yang dikhususkan untuk kegiatan santri belajar. Ada 4 unsur yang tidak bisa dipisahkan dari istilah santri: yang pertama, santri, lalu pesantren, kiai dan kitab-kitab yang merupakan isi ajaran di dalamnya.
Sedangkan sebagian tokoh mengatakan bahwa istilah santri adalah seseorang yang mendiami suatu tempat guna mempelajari ilmu agama lebih mendalam. Maka jelas dari beberpa pengertian diatas bahwa santri adalah seseorang yang mendiami suatu tempat untuk belajar ilmu agama yang lebih dalam kepada kiai atau seseorang yang dianggap memiliki kadar keilmuan tentang agama yang mendalam.
Akan tetapi, terlepas dari istilah istilah yang dipopulerkan tersebuat, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengenai apa makna hakikat dari seorang santri. Secara analisis kata santri kalau kita melihat dari makna secara epistimologi; santri merupakan seseorang yang mengetahui kitab suci hindu, makna mengetahui merupakan istilah yang harus digaris bawahi tentang sebuah pengetahuan yang porsi pengetahuannya lebih besar dari masyarakat pada umumnya.
Maka dari itu istilah santri yang melekat pada benak masyarakat adalah seseorang yg dianggap sudah memiliki kadar keilmuan tentang agama lebih besar dari masyarakat pada umumnya, sehingga muncul persepsi bahwa santri merupakan manifestasi keagamaan sesungguhnya.
Ironisnya, dewasa ini kondisi demikian agaknya sudah mulai terbalik melihat realita yang ada kaitannya dengan santri. Mulai dari prilaku sehari-hari sampai kepada kadar keilmuan yang iya miliki.
Akhir-akhir ini sudah banyak tindakan amoral yang dilakukan santri mulai dari cara berbicara, bertindak, bahkan sampai tidak merasa malu mentontonkan tindakan di luar batas kewajaran, semisal; pacaran di muka umum, jalan dan bergandengan tangan dengan yg bukan mahrom dan masih banyak lainnya.
Hal ini wajar menimbulkan persepsi ganda berkaitan dengan istilah santri itu sendiri.
Siapakah Santri?
istilah ini sering muncul dalam kajian epistimologi akhir-akhir ini, dengan beragam persepsi dan kontradiksi. namun ada sebuah cerita unik yg bisa menjadi bahan pertimbangan serta kajian baik dari segi epistemologi tak terlebih aksiologi, cerita ini bermula dari seorang ulama’ besar karismatik yang berasal dari pulau jawa tepatnya di kabupaten Situbondo. Beliau semasa hidupnya dikenal sebagai ulama’ besar dan juga dikenal sebagai seorang mursid thoriqoh. Beliau adalah Alm. KH. Sufyan Miftahul arifin.
Cerita itu bermula dari salah satu santri beliau, yang bercerita kepada KH. Tamim sufyan (putra dari alm. KH. Sufyan samsul arifin) dan cerita itu dinuskilkan pada ceramah beliau di suatu acarah haul KH. Sufyan samsul arifin pada tanggal 30 maret 2023 di sentral parkir kuta, Bali.
Ada seorang alumni santri membawa 2 orang pemuda badannya bertato lalu beliau bercerita kepada kiai Tamim bahwa maksud dan tujuannya ke pondok pesantren tidak lain hanya mau mengeluh tentang dua pemuda yang menemaninya. Dia bercerita bahwa dirinya merasa iri dengan kedua pemuda ini, pasalnya hampir setiap malam mereka di datangi kiai Sufyan dan kiai As’ad samsul arifin, padahal mereka semua tidak pernah nyantri dan tidak pernah berguru kepada beliau, sedangkan saya yang sangat berharap tidak pernah didatangi oleh beliau.
Lalu Kiai Tamim memberikan sebuah kesimpulan dari dawuh-dawuh kiai Sufyan semasa hidupnya bahwa santri itu tidak pernah terikat pada suatu lembaga atau suatu istilah, yang disebut dengan santri adalah selama dia mampu dan mau diajak untuk meneruskan perjuangan-perjuangan agama, maka semenjak itulah dia dikatakan santri dan akan terus bersamaku.
Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa santri adalah seseorang yang mau memperjuangkan cita-cita guru, cita-cita ulama, cita-cita ambiya’ cita-cita sahabat dan juga cita-cita Baginda kita nabi besar nabi muhammad SAW.
Cita-cita keagamaan yang sejatinya di cita-citakan olah nabi muhammad, menyebarkan agama islam, menegakkan kebenaran, memberi contoh dan panutan serta menjadi pemimpin yang adil di masa depan.
Inilah kiranya menurut penulis yang di sebut santri. Santri dalam arti dia yang memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni, pemberi contoh dan teladan sejati, serta pencerah dan penasehat bagi umat terlebih buat dirinya sendiri.
(Penulis adalah Sekretaris LTN PCNU Badung)