KH. A. Wahid Hasyim dengan Mobilnya: Ketegasan Moral di Tengah Godaan Kekuasaan

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM

Oleh : Ahmad Wildan

Di tengah era penjajahan Jepang yang penuh ketidakpastian dan tekanan, hadir seorang tokoh yang tak hanya dikenal karena kecerdasannya dalam bidang agama dan politik, tetapi juga karena keteguhan moral yang tak tergoyahkan. Dialah KH. A. Wahid Hasyim, ulama, negarawan, dan pendiri cikal bakal pemikiran Islam yang inklusif dan visioner di Indonesia.

Salah satu kisah menarik yang dituturkan oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya “Guruku Orang-orang dari Pesantren” menyiratkan begitu kuatnya karakter pribadi KH. Wahid Hasyim. Cerita itu sederhana: tentang sebuah mobil. Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam.

Suatu malam, usai menghadiri pertemuan di Hotel Des Indes, Jakarta, Wahid Hasyim bersama Saifuddin Zuhri bergegas menuju rumah Mr. Mohammad Yamis dengan mobil Fiat pribadinya. Dalam suasana yang lengang, mereka berbincang. Ketika ditanya apakah itu mobil dinas, KH. Wahid Hasyim dengan tenang menjawab bahwa mobil itu ia beli sendiri. Ia menolak menggunakan mobil dinas militer Jepang, meskipun ia memiliki hak untuk menggunakannya. Alasannya sangat tegas: “Saya malu memakai mobil militer Jepang.”

Sikap ini, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap terlalu idealis, justru menunjukkan ketajaman visi dan keberanian moral yang langka. Di tengah tekanan kolonial dan sistem pemerintahan militer, di saat fasilitas dari penjajah bisa saja digunakan untuk “kenyamanan pribadi”, KH. Wahid Hasyim memilih jalan yang lebih sulit, menjaga marwah diri dan kehormatan umat. Ia tahu bahwa simbol-simbol kecil bisa mencerminkan posisi dan integritas seseorang dalam struktur kekuasaan yang timpang.

Lebih mengesankan lagi adalah jawaban beliau ketika ditanya bagaimana bisa membeli mobil di zaman yang sulit ini yang ketika itu tidak ada orang sipil yang memiliki mobil. “Kalau soal mobil saja tidak bisa memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?” Ini bukan sekadar jawaban, melainkan tamparan elegan bagi siapa saja yang merasa pantas memimpin tapi tak mampu menyelesaikan urusan pribadinya. Wahid Hasyim menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan dimulai dari atas mimbar, tapi dari kemampuan seseorang menyelesaikan urusan paling mendasar dalam hidupnya.

Dalam konteks ini, mobil menjadi lebih dari sekadar alat transportasi. Ia adalah simbol perjuangan. Simbol kemandirian. Simbol bahwa pemimpin tidak boleh tergantung pada fasilitas yang bisa menyeretnya pada kompromi moral. Mobil itu menjadi kendaraan fisik, sekaligus kendaraan nilai.

Sungguh kontras dengan banyak realitas yang kita temui hari ini. Di era modern, tak jarang kita melihat para pemimpin berlomba-lomba menikmati fasilitas negara tanpa merasa perlu memberi contoh kemandirian. Fasilitas yang seharusnya menunjang kerja dan pelayanan justru menjadi ajang pembuktian gengsi dan kekuasaan. Seringkali kita menemukan, urusan pribadi yang tak tertangani justru menjadi awal dari runtuhnya kepercayaan publik kepada seorang pejabat.

Kisah KH. Wahid Hasyim ini menyampaikan pesan penting: bahwa kualitas kepemimpinan itu bisa diukur dari hal-hal kecil, bahkan sesederhana bagaimana seseorang memandang kendaraan yang ia gunakan. Bahwa integritas itu dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang dibuat dalam keheningan, bukan di panggung besar yang penuh sorotan.

Keteladanan KH. Wahid Hasyim juga memperlihatkan bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal bisa bicara atau memberi solusi, tapi soal bisa menjadi contoh hidup. Seseorang yang mampu menyelaraskan kata dengan tindakan, idealisme dengan praktik, dan visi dengan keberanian untuk menanggung risikonya.

Kita, sebagai bangsa yang terus bergerak dan berproses, sangat membutuhkan keteladanan seperti ini. Di tengah kompleksitas politik, ekonomi, dan sosial hari ini, barangkali kita perlu kembali belajar dari kisah-kisah kecil yang justru menyimpan kebijaksanaan besar. Bukan hanya tentang mobil, tetapi tentang sikap terhadap kekuasaan, terhadap kemerdekaan diri, dan terhadap martabat umat.

KH. Wahid Hasyim tidak hanya mengajarkan Islam dengan kitab dan ceramah. Ia mengajarkannya dengan tindakan. Dengan pilihan hidup. Dan dengan mobil Fiat yang dibeli sendiri, ia menunjukkan bahwa sejatinya, perjuangan dimulai dari diri sendiri.

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »