Kisah Muallafnya 7 KK di Desa Kutuh Bangli

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Oleh: Abdul Karim Abraham

Diawal bulan maret kemaren, saya yang kebetulan ada agenda kaderisasi GP Ansor di Bangli, berkunjung ke Dusun Angensari Desa Kutuh Kecamatan Kintamani. Tujuan utamanya adalah bersilaturrahim ke komunitas minoritas Muslim sekaligus ingin mendengar langsung cerita “unik” berkembangnya Islam disana.

Lokasi daerah ini cukup jauh dan bisa dibilang sulit diakses karena berada di lereng pegunungan Batur. Jaraknya sekitar 42 Kilometer arah barat laut pusat kota Bangli.

Meski secara administrasi masuk kabupaten Bangli, warga Desa Kutuh lebih banyak berinteraksi dan sekaligus bertransaksi dengan warga Kabupaten Buleleng. Tepat disebelah barat Desa Kutuh, yakni Desa Madenan masuk kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, adalah satu satunya desa terdekat, karena Desa Kutuh dikelilingi perbukitan dan kawasan hutan.

Saya yang ditemani beberapa sahabat, meluncur dari Kota Bangli dengan mengambil rute agak jauh. Ini saya mengikuti saran dari sahabat Banser Bangli yang sudah pernah ke Desa Kutuh, karena rute jalan terdekat cukup membahayakan. Banyak kelokan, tanjakan maupun turunan yang ekstrim, apalagi cuaca yang kini sering hujan.

Rute yang kita ambil menuju Kintamani, kemudian meneruskan ke Madenan arah tembusan Tejakula. Artinya untuk mencapai Desa Kutuh, kami harus masuk Buleleng dulu. Kata teman ini rute yang paling aman. Namun setelah kita melewatinya, ini rute tetap ekstrem. Apalagi diantara kami, belum pernah sama sekali melewati jalanan pegunungan ini.

Di Desa Kutuh ini, tepatnya di dusun Angensari kini terdapat 27 KK Muslim. Disini juga sudah berdiri Masjid, yang diberi nama Nurul Iman. Kami disambut 3 orang warga disana, salah satunya Mustaqim, tokoh pemuda, yang sebelumnya sudah berkomunikasi via WA.

Memang secara geografis, rasanya sulit Islam bisa masuk kesini, tapi ini yang bikin penasaran. Setelah berbincang bincang, kira kira begini awal mulanya ;

Kakeknya Mustaqim, kalau tidak salah bernama Irasun yang saat itu masih beragama Hindu, pada tahun 1982 mengalami luka pada kakinya yang tidak kunjung sembuh. Berbagai usaha penyembuhan sudah dilakukan tapi tidak membuahkan hasil.

Akhirnya ia menemui salah seorang pendeta Hindu Bali. diluar dugaan, sang pendeta justru mengatakan kalau mau sembuh, Irasun dan keluarganya harus kembali ke agama leluhurnya.

Masih ragu dengan saran tersebut, ia pun mendatangi pendeta lain. Ternyata sarannya sama, harus kembali ke agama leluhur.

Irasun pun menelusuri agama leluhurnya. Ternyata ia dan mayoritas penduduk Angensari dulunya merupakan pasukan kerajaan di Lombok yang ditugaskan ke Bali untuk menyerang kerajaan Klungkung. Ekspedisi militer ini terjadi sekitar tahun 1891. Artinya leluhurnya dulu berasal dari suku sasak yang beragama Islam.

Akhirnya, ia bersama keluarganya sebanyak 7 KK semuanya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah masuknya Islam, anehnya tanpa diobati sakit pada kakinya sembuh.

Berpindahnya agama ini membuat gempar warga angensari. Awalnya, para sesepuh Hindu disana mencurigai berbagai pihak luar yang mengIslamkan warga setempat. Apalagi saat itu menjelang Pemilu 1982.

Situasi yang semakin panas, menurut cerita Mustaqim, Kapolres dan Bupati Bangli turun ke Angensari untuk menstabilkan keadaan. Situasi menjadi kembali tenang setelah mendapat cerita kronologis secara utuh.

Kemudian, dibawah bimbingan MUI Provinsi Bali yang kala itu diketuai oleh KH. Habib Adnan, 7 KK yang baru masuk Islam itu diadakan sunatan bersama, baik yang orang tua dan anak anak.

Tentu tidak mudah menjalani sebagai Muslim ditengah mayoritas Hindu, apalagi tidak ada yang membimbing. Kala itu, komunitas muslim terdekat dari Desa Kutuh ada di di Dusun Batugambir Desa Julah Kabupaten Buleleng, yang jaraknya sekitar 14 Kilometer.

Menurut cerita Mustaqim, orang tuanya bersama yang lain, saat belum ada masjid di Angensari, kalau jumatan harus berjalan kaki ke Batugambir dengan medan yang tak mudah. Pagi berangkat, sekitar 4-5 jam sampai. Setelah jumatan pulang sampai rumah lagi sore hari.

Ada satu sosok bernama Ustadz Miyadi, yang ia sangat dikenang oleh masyarakat muslim disana. Menurut Mustaqim, Ust Miyadi yang dengan konsisten sejak awal membimbing cara sholat, mengaji, mengajarkan doa doa.

Ust Miyadi ini tinggal di Desa Kintamani, jaraknya sekitar 16 Kilometer kearah atas (selatan) Desa Kutuh. Ia setiap minggu dengan jalan kaki mengajar ngaji 7 KK yang baru masuk Islam, kala itu akses jalan masih setapak. jarak tempuhnya bisa memakan waktu 5 jam dengan medan yang curam. (Insyallah suatu saat saya akan menemuinya, menurut informasi beliau masih sehat).

Kini, setelah 42 tahun sejak pertama kali Islam berada disana, jumlahnya mencapai 27 KK, dengan jumlah total kurang lebih 76 jiwa. jadi penyebaran Islam disana murni dari ikatan keturunan keluarga dan pernikahan.

Secara sosial tidak ada masalah, karena ikatan praktek sosial sehari hari mereka tetap bersatu meski beda agama. Seperti acara pernikahan, kematian dan lainnya masih saling membantu.

Begitu juga dengan praktek beribadah, Muslim disana bebas melaksnakan ibadah. Sudah berdiri masjid termasuk bisa menggunakan pengeras suara. Anak anak kecil juga bebas belajar ngaji.

Satu kelebihan di minoritas muslim disana dari pada beberapa tempat minoritas muslim yang pernah saya kunjungi. Di Kutuh sudah ada tanah wakaf untuk kuburan muslim. Sementara di tempat lain, masih ada “mis” karena tidak diijinkannya ada kuburan Islam, sehingga ketika ada yang meninggal, harus dimakamkan di tempat lain yang cukup jauh.

Menjelang magrib, kami pamit balik. Kisah masuknya Islam di Kutuh tergolong unik, ini seperti cerita cerita masa kerajaan ratusan tahun silam. Bukan ada pendakwah yang datang kesana, pintu hidayah justru muncul melalui isyarat dari sesepuh pendeta, dan ini nyata.

 

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »