Oleh: Ayung Notonegoro*
Jika kita memeriksa pelaksanaan muktamar Nahdlatul Ulama dari masa ke masa, maka kita akan menjumpai data jika Muktamar ke-16 NU dilaksanakan di Kota Purwokerto pada 1946. Namun, tahukah kalian, jika sebenarnya, muktamar tersebut awalnya direncanakan akan dihelat di Palembang?
Ya, dalam Muktamar ke-15 NU yang dilaksanakan di Surabaya pada 9-15 Desember 1940, memutuskan jika muktamar berikutnya akan digelar di Palembang. Hal ini sebagaimana tercantum dalam keputusan nomor 17 muktamar tersebut yang dimuat dalam buku Verslag Congres Nahdlatoel Oelama ka-15 di Kota Soerabaja. Sayangnya, dalam verslag tersebut, tak diuraikan alasan atau proses keterpilihannya.
Namun, jika dibaca secara seksama, ada dua alasan yang memungkinkan kenapa Palembang ditunjuk sebagai calon tuan rumah muktamar NU selanjutnya. Yang pertama, pada saat itu, Palembang terlihat cukup aktif. Saat itu, utusan dari Palembang terdiri dari unsur Syuriyah, Tanfidziyah dan ulama undangan.
Dari unsur ulama undangan antara lain Sayid Ahmad Al-Khaf, Sayid Alwi Shahab, dan Sayid Husin Shahab. Sedangkan dari unsur Syuriyah adalah KH. Alwi Azhari dan Sayid Muhammad bin Salim Al-Khaf. Adapun tanfidziyah yang hadir adalah Sayid Abdullah Al-Khaf Ghatmyr.
Nama yang terakhir tersebut di atas juga hadir sebagai Ketua Konsul Daerah Andalas Selatan yang berkedudukan di Palembang. Konsul ini cukup luas jangkauannya. Tak kurang dari 18 Cabang yang tersebar dari Lampung hingga Sumatera Utara. Di antaranya adalah NU Cabang Palembang (Sumsel), Kotabumi (Lampung), Air Itam (OKI, Sumsel), Kota Agung (Tanggamus, Lampung), Menggala (Lampung), Sekayu (Musi Banyuasin, Sumsel), Baturaja (OKU, Sumsel), dan Sirah Pulau Padang (OKI, Sumsel).
Selanjutnya adalah NU Cabang Muara Enim (Sumsel), Muaradua (OKU Selatan, Sumsel), Kayu Agung (OKI, Sumsel), Kaur (Bengkulu), Teluk Betung (Lampung), Tebing Tinggi (Sumut), Muntok (Bangka Belitung), Muara Aman (Lebong, Bengkulu), Lahat (Sumsel), Krui (Lampung), dan Pagar Alam (Sumsel).
Sedangkan yang kedua, kemungkinan besar adalah adanya persoalan yang terjadi di kota tersebut. Di mana, disebutkan jika terdapat campur tangan pemerintah kolonial (Adviseur voor Indonesische Zaken) dalam urusan konflik keagamaan di sana. Dalam hal ini, HBNO (Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama/ PBNU), memerintahkan Cabang NU Palembang untuk mengumpulkan bukti. Bisa jadi, persoalan ini yang mendorong muktamirin memutuskan Palembang jadi tuan rumah muktamar berikutnya. Muktamar NU pertama di pulau Sumatera.
Terlepas dari musababnya Palembang ditunjuk menjadi tuan rumah muktamar, yang pasti Abdullah Ghatmyr selaku Ketua Konsul Daerah NU, mempersiapkan hal tersebut cukup serius. Ia turun ke cabang-cabang untuk mempersiapkan perhelatan akbar tersebut. Sebagaimana yang terkonfirmasi dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), Nomor 21, Tahun X, 1 September 1941. Dalam majalah setengah bulanan itu, dikabarkan pada 13 Juli 1941, ia mensosialisasikan muktamar itu di Kring (Ranting) NU Tebat Agung (Pendopo).
Tak hanya melakukan sosialisasi, NU Cabang Palembang juga melakukan restrukturisasi kepengurusan. Hal ini besar kemungkinan untuk menyegarkan organisasi dalam menyambut perhelatan muktamar yang bakal dihadiri ratusan ulama dari seluruh Indonesia itu. Dalam BNO Nomor 23, Tahun X, 1 Oktober 1941, dimuat susunan Pengurus Cabang NU Palembang yang baru. Berikut adalah nama-namanya:
Kemas H. Abdul Ghanie (Rais), Kiagus H. M. Syaharie dan Kemas H. Alwi Azhari (Wakil Rais), KRH. Oemar bin Anom dan Kemas H.M. Joenoes (Katib). Sedangkan jajaran A’wan terdiri dari KH. Ibrahim Hoesnie, Kemas H. M. Thayib, dan KH. Moehammad bin Abdullah. Adapun Mustasyarnya antara lain Sayid Moehammad bin Salim Al-Khaf, KH. Daoed Roesdie dan KH. M. Idroes.
Jajaran Tanfidziyah sendiri diketuai oleh R. A. Soelayman dan wakilnya R. M. Idroes. Sedangkan penulis (sekretaris) dijabat oleh R. Oesman dan Doeng Abdoellah. Bendaharanya adalah Moehammad Noer. Adapun para pembantu tanfidziyah adalah Kiagus Mohammad Zen, R.H. Oesman dan Sayid Syech bin Salim Al-Khaf.
Lebih jauh, bahkan telah dibentuk Hoofd Commite Congres (HCC) atau semacam kepanitiaan muktamar. Hal tersebut diputuskan dalam rapat yang dilaksanakan pada 29 Syaban 1360 atau sekitar September 1941. Sebagaimana dimuat dalam BNO, No. 4 Tahun XI, 15 Desember 1941, Ketua Cabang NU Palembang ditunjuk sebagai ketua panitia. Dibantu oleh R. Ahmad Thahir sebagai sekretaris dan H. Noer Oesman (utusan HBNO) sebagai bendahara.
Selain itu, kepanitian juga dibantu oleh Mgs. Abdulrahim sebagai pelindung. Juga ada utusan HBNO lainnya, Iskandar Soelaiman (Ketua Konsul Daerah Jawa Timur II/ Malang) sebagai pemimpin umum.
Adapula Hoofdcommissaris yang dijabat oleh Said Zainal Abidin ar-Rifai. Di bawahnya terdapat ketua-ketua bagian yang membantu. Di antaranya Mhd. Amin (tempat), KH. M. Joenoes (mandat), Kemas Abdullah (perjamuan/ hidangan), M. Adim (pinjaman), M. Asir (penerangan), Kemas H. Abdulrachman (dapur), Abdulroni (toko kongres), Rd. H. Dan (cuci), Abdulhalim Hasjim (patroli), Kiagus Zainalabidin (kesehatan), Kiai Haji Moedh (lajnatul kitab), Mhd. Ali Boedjang (gudang), KH. M. Sjadjari (pengkhidmat tamu syuriyah), R. H. Oesman (pengkhidmat tamu tanfidziyah), R. Mhd. Idroes (verslaggever/ pencatat laporan) dan Oesman (roneo/ percetakan).
Melihat kesiapan panitia lokal muktamar tersebut, pada 11 November 1941, HBNO menggelar rapat di Surabaya. Dalam rapat tersebut diputuskan jika pelaksanaan Muktamar ke-16 NU di Palembang jatuh pada April 1942. Hal ini terungkap dalam BNO, No. 3, Tahun XI, 1 Desember 1941. Untuk itu, HBNO mengimbau kepada para Cabang NU untuk segera bersiap. Di antaranya seruan untuk segera mengirimkan vorstel (usul) selambat-lambatnya sampai 20 Desember 1941.
Selain itu, juga menyerukan agar cabang-cabang segera melunasi i’anah sanawiyah (iuran tahunan) guna membiayai muktamar tersebut yang diperkirakan akan menelan biaya sebesar f.10.000. Sedangkan dana yang terkumpul hingga pengumuman tersebut dikeluarkan baru mencapai f.2115.
Teruntuk Cabang NU Palembang sendiri, HBNO memerintahkan secara khusus agar lebih giat dalam mencari sokongan dana untuk muktamar. Serta, diminta untuk menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh guna dapat membantu jalannya muktamar serta dapat membantu NU di Palembang ke depannya.
Semakin hari, persiapan muktamar kian matang. Kepastian tanggal pelaksanaannya telah diumumkan. Yakni, pada 26 April – 2 Mei 1942. Satu pekan penuh. Akan tetapi, rencana tinggallah rencana. Allah SWT Yang Maha Kuasa jualah yang menentukan. Memasuki Maret 1942, Jepang menguasai Indonesia. Hindia Belanda bertekuk lutut. Seketika aturan pun berubah. Nahdlatul Ulama dibekukan kegiatannya. Muktamar pun tertunda.
Butuh empat tahun sejak itu, NU baru bisa menyelenggarakan muktamarnya yang keenambelas (1946). Itu pun dilaksanakan di Purwokerto. Di Palembang sendiri baru bisa menjadi tuan rumah Muktamar NU pada 1952. Kala itu, muktamar memasuki edisi yang ke-19. Salah satu muktamar legendaris dalam sejarah NU. Menandai NU bertransformasi menjadi partai politik. (*)
*) founder Komunitas Pegon
Foto: suasana Muktamar 19 NU di Palembang pada 26 April – 2 Mei 1952 (Koleksi Perpustakaan PBNU/ repro Komunitas Pegon)