Oleh : Ayung Notonegoro
Minggu pagi lalu (23/2/2025) saya tiba di Kampung Loloan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana di Pulau Bali. Hasrat yang sudah lama terpendam itu, akhirnya kesampaian. Ada sejumlah relasi yang menghubungkan Loloan dengan Banyuwangi, khususnya dalam dakwah keislaman, yang menarik untuk dijejaki.
Salah satu tokoh yang menjadi penghubung antara dua daerah tersebut adalah Datuk Abdurrahim Bauzir (w. 1296 H). Datuk Abdurrahim merupakan seorang pendakwah di bumi Blambangan yang makamnya sampai saat ini banyak diziarahi oleh umat muslim dari berbagai daerah. Beliau disemayamkan di Makam Keramat, Jalan Basuki Rahmat, Lateng, Banyuwangi.
Sebelum bertempat di Lateng, Banyuwangi, Datuk Abdurrahim pertama kali datang ke Nusantara menuju ke Loloan, Jembrana. Hal ini sebagaimana dicatat oleh KH. Ali Manshur dalam manuskrip berjudul “Manaqib al-Arif billah Datuk Abdurrahim Banyuwangi” [Manuskrip ini telah disunting oleh Ayung Notonegoro dan diterbitkan dengan judul “Manaqib Datuk Abdurrahim: Waliyullah dari Bumi Blambangan, Komunitas Pegon, 2022].
“Datuk Syaikh Abdurrahim nama lengkapnya adalah Abdurrahim bin Abu Bakar bin Abdurrahim. Datuk berasal dari Negara Arab bangsa Bauzir dan bertempat tinggal di Jembrana, Swapraja Negara Daerah Bali.”
Akan tetapi, dakwah Datuk Abdurrahim di Loloan tak berlangsung lama. Meski, mempersunting gadis asal Jembrana, tak membuatnya menetap di sana. Beliau memutuskan untuk pindah ke Banyuwangi.
“Sewaktu masih tinggal di Jembrana, Bali, Datuk sering pergi ke Banyuwangi. Karena jarak jauhnya Jembrana-Banyuwangi amat dekatnya – bahkan Kota Banyuwangi dapat dilihat dari Jembrana dan sebaliknya, hanya terpisah laut – seringnya ke Banyuwangi itu, mungkin mempunyai banyak famili atau kawan.
Karena di Banyuwangi banyak orang Arab. Saking banyaknya sampai ada Kampung Arab dalam Desa Lateng, Banyuwangi. Lama-lama Datuk pindah di Banyuwangi sampai akhir umurnya.”
Kepindahan Datuk Abdurrahim ke Banyuwangi tersebut dilakukan pada 1260 H (1844 M). Abdul Kadir Bauzir dalam “Perjuangan dan Sekilas Riwayat Datuk Abdurrahim Bauzir (2006)” menyebutkan jika perpindahan itu untuk memperluas medan dakwahnya.
Akan tetapi, pemindahan tersebut berkemungkinan karena Datuk ingin berkumpul dengan saudara dan koleganya sesama orang Arab yang banyak tinggal di Banyuwangi. Di Jembrana sendiri, kala itu, komunitas Arab masih sangat sedikit.
P.L. van Bloemen Waanders melaporkan jika bangsa Arab di Jembrana pada 1859 hanya beberapa orang saja. Baru pada 1882 – sebagaimana dicatat oleh I Putu Gede Suwita dalam “Perahu Pinisi di Pesisir Bali (2011: 77-78)” – ada penambahan penduduk dari bangsa Arab sejumlah 69 orang. Hampir empat puluh tahun dari pindahnya Datuk Abdurrahim.
Keputusan untuk tinggal di Banyuwangi itu, bisa jadi juga disebabkan karena sulitnya proses keluar masuknya Datuk dari Loloan ke Banyuwangi. Huub de Jonge dalam “Mencari Identitas: Orang Arab Hadrami di Indonesia (1900-1950)” menyebutkan jika orang Timur Asing (termasuk bangsa Arab) diwajibkan untuk menggunakan surat jalan saat keluar daerahnya (2019: 47-48). Hal ini tentu sangat membatasi ruang gerak orang-orang seperti Datuk Abdurrahim.
Hal tersebut diperparah lagi dengan kebijakan penguasa Bali yang kurang ramah terhadap para pendatang yang tidak berurusan dengan dunia perdagangan, seperti halnya berdakwah. Sebagaimana yang dialami oleh Raden Sutawijaya yang berkunjung ke Bali pada 1871 (Adrian Vickers, Bali Tempo Doeloe, 2012: 11-14).
Sementara itu, di Banyuwangi sendiri, merupakan daerah yang cukup nyaman untuk koloni Arab dibandingkan dengan tempat lain. L.W.C. van den Berg dalam “Orang Arab di Nusantara (2010: 95-110), menyebutkan jika koloni Arab di Banyuwangi merupakan yang tertua jika dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang dan Besuki. Tentu saja, termasuk Bali.
Bahkan, hingga 1885, komunitas Arab di Banyuwangi tercatat paling banyak dibandingkan dengan daerah lainnya di Keresidenan Besuki. Jumlahnya mencapai 356 orang.
Sumit K. Mendel dalam “Becoming Arab: Creole Histories and Modern Identity in the Malay World (2018: 91)” mencatat bahwa Komunitas Arab di Banyuwangi telah dipimpin oleh seorang pejabat administratif yang disebut Hoofd der Arabieren sejak 1857. Saat itu, dijabat oleh Syaikh Abdulla bin Achmad Bakrose.
Sejak 1872, jabatan tersebut digantikan dengan Letnan Arab. Beberapa nama letnan Arab yang sempat memimpin di Banyuwangi adalah Syaikh Sulaiman bin Umar Bawazir (1888-1912), Sayid Segaf bin Moestofa Asegaf (8 April 1916 – 31 Maret 1930) dan Syaikh Salim bin Achmad Dachnan (31 Maret 1930 – awal 1935).
Dengan positioning komunitas Arab yang demikian mapan di Banyuwangi itulah, besar kemungkinan, Datuk Abdurrahim memilih bumi Blambangan sebagai tempat dakwahnya. Apalagi saat itu, pertengahan abad 19, pemahaman keislaman masyarakat Banyuwangi, belum benar-benar kuat. Jadi, tak heran jika masih menjadi medan dakwah yang menarik. (*)
Foto: Rumah panggung kayu di sisi kanan Masjid Agung Baitul Qodim, Desa Loloan Timur.