Pering Selonjor: Makna Filosofi Hari Suci Galungan

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh : Ni Luh Komang Indah Sari, S.Ag

Hari Suci Galungan merupakan salah satu hari yang sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali (berdasarkan kalender Pawukon Bali) dan menandai kemenangan Dharma (kebenaran) dengan melawan Adharma (kejahatan). Dalam tradisi agama Hindu, terdapat ciri khas yang sering dilakukan oleh umat Hindu sebelum menyambut Hari Suci Galungan dengan beberapa kegiatan, diantaranya :

1. Membuat Banten yang diperuntukkan dalam menyambut Hari Suci Galungan yang memiliki makna bahwa umat Hindu kaya dengan syukur, berkah, dan anugerah yang telah diberikan di alam semesta ini dengan penuh ketulusan. Jadi, pembuatan banten ini penuh dengan ketulusan, penuh dengan kegembiraan, dan penuh kebersamaan.
2. Melakukan persembahyangan bersama antar keluarga besar yang diyakini sebagai pengikat kebersamaan dan kekeluargaan yang tidak pernah putus. Hal ini diyakini bahwa toleransi dalam agama Hindu sangat kuat dan membebaskan bahkan ada yang saling memberikan buah-buahan atau jajanan bali yang diperuntukkan untuk persiapan galungan antar keluarga maupun tetangga.
3. Dilakukannya “ngelawar” atau “mebat” yang sering dilakukan oleh tradisi agama Hindu yang membuat makanan khas Bali dari bahan Daging Babi atau Daging Ayam dengan kontimen yang lainnya seperti bahan nangka, pepaya muda, kacang panjang dan lain sebagainya yang dijadikan sebagai bahan untuk ngelawar, buat tum, dan komoh. Hal ini dilakukan secara gotong royong antar keluarga besar dengan penuh kegembiraan dan sukacita.
4. Terakhir, para laki-laki di Bali membuat penjor yang disebut dengan istilah “Pering selonjor” dalam konteks Hari Suci Galungan merujuk pada hari Penampahan Galungan, yaitu sehari sebelum Galungan. Secara tradisional, “pering” berarti bambu, dan “selonjor” adalah batang bambu panjang yang biasanya digunakan untuk memasang penjor (hiasan bambu melengkung yang dipasang di depan rumah). Jadi, pering selonjor adalah kegiatan menyiapkan dan memasang penjor untuk Galungan. Penjor ini dibuat dari batang bambu (selonjor), dihias dengan janur, hasil bumi, dan perlengkapan simbolik lainnya sebagai bentuk rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Biasanya, penjor dipasang pada hari Penyajaan Galungan (H-1) dan akan tetap berdiri sampai Kuningan (10 hari setelah Galungan).

Dari beberapa rangkaian persiapan dalam menyambut Hari Suci Galungan yakni dari Sugihan Jawa, Sugihan Bali, Penyekeban, Penyajahan, Penampahan, dan terakhir Hari Suci Galungan yang bertepatan dengan Buda Kliwon Dunggulan. Dari rangkaian tersebut, salah satu makna filosofi dalam memahami Galungan adalah Penjor atau Pering Selonjor artinya sebatang bambu yang panjang melengkung dan utuh sampai puncak yang dimaknai sebagai simbol Gunung. Umat Hindu sangat amat memuliakan Gunung, karena disamping sebagai stana Para Dewa salah satunya Bhatara Siwa yang diyakini tinggal di Gunung yang disebut dengan Gunung Himayala dan umat Hindu pun meyakini bahwa Gunung merupakan sumber kemakmuran. Hal ini menyebabkan terjadinya turun hujan yang dapat membasahi lahan atau ladang yang ada di sekitarnya. Selain itu pula. Aliran air yang muncul dari Gunung diyakini sebagai anugerah dan berkah, berkat adanya aliran air tersebut masyarakat Hindu di Bali bisa hidup dengan makmur, sehat dan mampu bermanfaat  dengan baik. Selain itu, adapun bahan – bahan utama yang terdapat dalam penjor adalah sebatang bambu yang sudah melengkung diujungnya, kemudian dihiasi dengan janur (daun kelapa muda), daun – daun plawa (berbagai jenis daun, seperti pakis, cemara dan lain sebagainya), berbagai hiasan seperti buah-buahan (pala gantung), umbi-umbiam (pala bungkah), kober (kain yang berisi Ongkara), hiasan lainnya ada kolong-kolong, dan banten sampian yang dipasang di ujung bambu yang melengkung seperti lampion untuk mempercantik penjor.

Melalui pemasangan penjor, umat Hindu  tidak hanya mempersembahkan rasa syukur kepada Tuhan, tetapi juga menunjukkan rasa terhubung dengan alam dan sesama. Setiap elemen dalam penjor memiliki makna mendalam yang mengingatkan umat Hindu akan pentingnya keseimbangan, kelimpahan, dan kesucian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menjaga tradisi ini, umat Hindu mampu hidup makmur, sehat, dan terus memberi manfaat bagi lingkungan dan orang lain di sekitar mereka.

(Penulis adalah Penyuluh Agama Hindu-Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar)

diunggah oleh:

Picture of Dadie W Prasetyoadi

Dadie W Prasetyoadi

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »