Thursday 25th April 2024,

Pernikahan Beda Agama

Aswaja Dewata September 9, 2019 Aswaja No Comments on Pernikahan Beda Agama
Pernikahan Beda Agama
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Siapa sih yang tidak ingin menikah? Namun kalau pernikahan yang diimpikannya terbentur dengan perbedaan agama, bagaimana? apa yang harus dilakukan bagi pasangan yang sedang jatuh cinta ini, diteruskan atau ditinggalkan? Kalau diteruskan bagaimana Islam menjelaskannya dalam pandangan hukum fikih? Saat ini penulis akan membahas tema ini dengan rujukan yang bersumber dari buku Fikih Muslim Bali yang ditulis oleh team LTN NU BALI.

Pasangan yang berbeda agama, lantas karena cinta akhirnya salah satu dari dua insan yang sedang jatuh cinta itu rela mengalah demi cintanya dan masuk ke dalam Islam serta melakukan akad pernikahan secara Islam. Namun, di kemudian hari salah satu pasangannya kembali lagi kepada agama pertamanya. Apakah fikih memberi peluang hukum bagi seorang muslim yang menikah dan melanjutkan pernikahannya dengan pasangan yang berbeda agama?

Dalam fikih, memang ada pendapat yang membolehkan menikah dengan beda agama, tetapi yang dimaksud agama di sini adalah agama samawi atau disebut dengan ahlul kitab, yaitu agama Nasrani dan Yahudi. Pernikahan dengan ahlul kitab pun masih dalam perdebatan para ulama.

Nah, kalau pasangan yang kembali ke agama asalnya adalah Hindu, apakah agama Hindu masuk di agama samawi? Jelas, agama Hindu tidak termasuk agama Samawi atau ahlul kitab, sebab mereka tidak berpatokan pada kitab samawi yang tentunya konsep ketuhanan berbeda jauh. Dengan demikian, orang Islam yang tetap melanjutkan hubungan rumah tangganya dengan orang Hindu tidak dianggap sah oleh hukum fikih.

Namun, kita sebagai umat Islam yang baik, tidak perlu mengejek jika ada saudara atau tetangga yang pernikahannya seperti ini, karena secara hukum fikih sudah jelas tidak sah dan kita sebagai sesama muslim cukup menasihati dan tetap bersikap sewajarnya.

Barangkali, kita tidak tahu apa faktor yang menimpa mereka sehingga mereka meneruskan dan membina rumah tangga dengan berbeda agama. Mungkin saja cinta mereka sudah menyatu kuat sehingga tidak bisa berpisah meski beda agama atau mungkin saja ada kepentingan keluarga yang tidak bisa dielakkan. Mereka pasti sudah paham dan mengerti hukum fikih, hanya saja mungkin butuh waktu untuk melaksanakannya. Kita cukup mendoakan akan ada solusi bagi keluarganya.

Sebagaimana Rasulullah memiliki paman yang tidak masuk Islam, namun Rasulullah tetap menjaga silaturrahim, bahkan Rasulullah tetap mencintai pamannya, sehingga Rasulullah tidak henti-hentinya berharap kepada Allah agar pamannya masuk Islam. Allah pun menjawab harapan Rasulullah tentang pamannya,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki” [QS. Al-Qashash: 56].

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, Rasulullah saja tidak mampu memberi hidayah kepada pamannya yang dicintainya. Tugas Rasulullah hanya menyampaikan dakwah Islam, bukan memaksa orang untuk masuk Islam. Dan bukan berarti mengejek apalagi mengancam orang yang tidak mau masuk Islam.

Nah, kita sebagai umat Rasulullah, tentu harus mengikuti sunahnya. Kita hanya memiliki hak untuk menyampaikan hukum Nabi kepada orang-orang. Masalah orang tersebut ikut atau tidak, itu urusan Allah apakah diberi hidayah atau tidak.

Sumber : Buku Fikih Muslim Bali – Fikih dan Keharmonisan Umat Muslim dan Umat Hindu Bali.

 

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »