ASWAJADEWATA.COM |
Oleh : Muhammad Ihyaul Fikro
Terbentuknya negara Madinah dalam Sirah Nabawiyah tidak dapat dipisahkan dari momentum hijrah sebagai pijakan pengembangan Islam. Praktik hijrah Nabi Muhammad SAW di tahun 622 M tidak semata merupakan momentum permulaan perhitungan kalender hijriyah sebagai kalender Islam, tetapi merupakan wujud kepemimpinan visioner Muhammad SAW dalam melahirkan negara Madinah.
Proses dakwah Islam yang berjalan perlahan di kota Mekkah kemudian memperoleh momentum keberhasilan yang sangat fenomenal setelah perlaksanaan hijrah. Kekuatan kaum muslimin yang lemah ketika di Mekkah menjadi sangat kuat setelah hijrah ke Yashrib (Madinah). Dari Yashrib ini pula agama Islam akhirnya berhasil disebarkan ke seluruh jazirah Arab, bahkan kemudian hingga keluar jazirah Arab.
Pilihan hijrah ke Yashrib merupakan pilihan strategis. Yatsrib merupakan kota yang makmur karena alamnya yang relatif subur dan terletak di jalur perdagangan internasional (Jalur Sutera). Setibanya di kota Yashrib, Nabi Muhammad SAW melakukan langkah-langkah perubahan, termasuk merubah Yashrib menjadi Madinat al-Munawwarah (Kota Cahaya). Secara bahasa Madinah mempunyai akar kata yang sama dengan tamaddun (peradaban). Menurut Syafii Antonio (2007), penggunaan nama Madinah mengisyaratkan adanya suatu visi politik menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu pusat peradaban manusia yang baru.
Di Madinah, Nabi melakukan konsolidasi umat baik secara internal maupun eksternal. Pertama, Rasulullah SAW berupaya mempersatukan kaum muhajirin (yakni para sahabat yang merupakan rombongan kota Mekkah) dan kaum Ansar (yakni umat Islam penduduk asli Madinah). Dalam pandangan Nabi, kedua golongan ini harus dipersatukan dalam iman. Tidak mungkin akan ada kekuatan jika tidak ada persatuan dan kesatuan di antara keduanya. Kedua, setelah melakukan perubahan internal umat Islam, Nabi Muhammad SAW kemudian melakukan perubahan eksternal, yakni menjalinkan persatuan antara umat Islam dengan penduduk Yashrib yang majemuk.
Nabi Muhammad tampaknya memahami betul bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap individualis terhadap golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial-politik untuk mengatur hubungan-hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Dirumuskanlah perjanjian tertulis yang dikenal sebagai Sahifah al-Madinah atau Mitsaq al-Madinah (Konstitusi Madinah) sebagai landasan politik bersama yang menekankan pada persatuan yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik, dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan.
Di dalam Konstitusi yang terdiri 47 pasal itu, terdapat regulasi bagi segenap warga Madinah dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat Madinah pada waktu itu telah membentuk satu kekuatan politik bentuk baru yang bernama ummah yang mengedepankan prinsip egaliter dan plural.
Materi muatan Konstitusi Madinah juga menunjukkan bahwa Negara Madinah merupakan perwujudan Negara modern. Disebut modern karena adanya kontrak sosial (social contact), partisipasi dan spirit kemajemukan dari seluruh komunitas politik Madinah. (Ahmad, 1993).
Negara Madinah, sebagaimana diakui sejarawan Thomas Arnold, adalah negara bangsa (nation-state) yang pertama dalam sejarah dunia. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam tidak menafikan setiap warga bangsa yang mempunyai afiliasi terhadap tanah air tertentu. Belajar dari pengalaman Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin politik dalam membangun komunitas religio-politik di Madinah. Ia mampu mengokohkan kebangsaan masyarakat Madinah yang di dalam wilayah itu, terdapat kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi.
Kecemerlangan Rasulullah SAW dalam mengintrodusir negara Madinah ini oleh Michael H.Hart (1997), beliau ditempatkan dalam urutan pertama di antara 100 tokoh berpengaruh dunia lainnya. Hadirnya Negara Madinah bagi Rasulullah sejatinya bukan semata-mata untuk membangun “rezim Politik” atas aksi peretasan keprihatinan karena merasa gagal mengembangkan Islam di Mekkah. Melainkan, sebagai suatu praktik reformasi ideal yang berwacana kemanusiaan dan integrasi sosial di tengah kemajemukan masyarakat.
Lahirnya negara Madinah juga menegaskan bahwa Nabi telah melakukan beberapa upaya transformasi, Pertama dalam sistem kepercayaan agama Islam, didengungkan paham monoteisme (tauhid) sebagai pendobrak paham animisme (mulhid) dan politeisme (musyrik). Kedua transformasi yang dicanangkan Nabi Muhammad saw adalah merombak sistem sosial yang timpang, tiran, dan berorientasi kasta, kearah struktur sosial yang egaliter/sederajat. Ketiga, sistem ekonomi monopolistik dan kapitalistik yang menumbuhkan kaum foedal dan Keempat, sistem kekuasaan yang otoriter dan absolut diganti dengan sistem pemerintahan yang transparan dan demokratis.
Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, sejarah mencatat keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat madani yang bernuansakan keadilan, inklusivisme, dan demokratisasi. Kondisi keragaman keberagamaan tidak menjadi penghalang bagi terbentuknya hubungan kemasyarakatan dan kenegaraan yang harmonis dan populis. Umat non-muslim pun, misalnya tetap terjaga hak-haknya tanpa mendapat gangguan dari umat Islam. Disamping itu, hal yang sangat mendasar yang ditegakkan Nabi Muhammad SAW di Madinah adalah konsistensi legal (hukum). Nabi memahami bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan bagi terciptanya stabilitas suatu bangsa. Dalam sabdanya, beliau telah memberikan early warning yang cukup keras: kehancuran umat Islam dimasa lalu disebabkan, jika “penguasa” melakukan kejahatan mendapat perlindungan hukum, sedangkan jika “kaum proletar” yang melakuakannya dikenai hukum berat.
Peringatan dini Nabi itu mengisyaratkan, bahwa keadilan yang berhasil ditegakkan akan mengantarkan terjadinya pencerahan peradaban. Sebaliknya, kekacauan, kekrasan, dan kejahatan, akan mencabik dan mengoyak kehidupan masyarakat manakala hukum dan keadilan “dimatikan”. Konteks konstitusi Madinah ini sejatinya selaras dengan spirit Pancasila di Indonesia.
Akhirnya, Bercermin dari konsep masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW selama berada di Madinah kiranya cukup beralasan bila dikatakan bahwa terbangunnya masyarakat beradab merupakan salah satu faktor terpenting bagi tercipatanya stabilitas politik, ekonomi dan hukum sebuah bangsa. Paradigma ini sangat relevan karena memiliki komitmen yang tinggi terhadap kemajemukan dan kemandirian masyarakat.
Dengan demikian, dalam sebuah konstruksi Negara Indonesia, yang terpenting adalah bagaimana membangun relasi harmonis antara agama dan Negara. Sekaligus menjadi momentum menyongsong Indonesia baru pasca pandemi.
(Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember)