ASWAJADEWATA.COM |
Dresden, satu kota seni di Jerman, sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai pusat pertemuan seni dunia dengan Akademi seni yang berdiri sejak 1764 atas perintah Pangeran Frederick Christian. “DEM VATERLAND ZU ZIER UND EHR “-” Demi Kehormatan dan Perhiasan Tanah Air “- tulisan yang tertera di salah satu dinding bangunannya itu masih dapat ditemui jika kita mengunjunginya.
Pesona sebagai kota seni rupa di Eropa yang sangat terkenal ini menarik hati seorang pemuda Jawa yang tinggal di Belanda untuk mengunjunginya. Raden Saleh, pelukis muda keturunan Arab asal kota Semarang, Jawa Tengah, yang sedang belajar seni di salah satu akademi seni Belanda atas sponsor pemerintah Belanda mendapat kesempatan menimba ilmu seni lukis keliling Eropa mengunjungi kota Dresden tahun 1830. Saat itu tidak ada pelukis oriental yang menonjol di kalangan seniman Eropa.
Sesampainya di Dresden ternyata Raden Saleh yang bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman menemukan sisi kehidupan seni yang membuatnya tertahan dan tinggal selama 10 tahun disana. Dr. Julia M. Nauhaus, direktur Museum Lindenau di Altenburg, yang pertama kali di Jerman memamerkan lukisan-lukisan Saleh mengatakan, “Dia menerima banyak pesanan dan bisa bekerja sebagai seniman lepas, tanpa ketergantungan pada Belanda.”
Di Dresden, Saleh dianggap setara sebagai seniman dan warga. Suatu hal yang tidak umum pada waktu itu, karena masih adanya diskriminasi latar belakang dan warna kulit. Saleh dan pesona karyanya membuat dia disambut kalangan bangsawan dan borjuis. Dia mendapatkan kontrak-kontrak yang menguntungkan.
Panggilan jiwa tanah air membuat Raden Saleh pulang ke tanah Jawa di tahun 1851. Fasih berbicara lima bahasa, dalam salah satu lukisannya yang sangat terkenal dan sekarang dipamerkan di istana presiden di Jakarta dia melukis peristiwa sejarah penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1857
Raden Saleh yang lahir di tahun 1811 dianggap sebagai bapak seni lukis modern Indonesia dan meninggal pada tahun 1880 di rumahnya di dekat Kebun Raya Bogor, dan dimakamkan di sana.
Penulis: Dadie W. Prasetyoadi
Sumber foto: DW.COM