Friday 29th March 2024,

Tanpa Fikih Umat Islam Sulit Menjalani Syari’at

Tanpa Fikih Umat Islam Sulit Menjalani Syari’at
Share it

ASWAJADEWATA.COM – Adalah kesepakatan seluruh ulama bahwa setiap apapun yang dilakukan dan yang diucapkan oleh manusia memiliki konsekwensi hukum[1]. Tidak ada yang terlepas dari hukum. Bahkan berinteraksi di sosial media meski hanya like, share dan komen, semua ini dalam fikih memiliki konksewensi hukum. Karena keberadaan fikih demi mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan bagi seluruh manusia bahkan termasuk non muslim.

Ada sebagian kelompok muslim yang tidak mau kepada fikih. Mereka mengatakan“Kembali pada Al-Quran dan Sunnah”,  sudah cukup. Kelompok ini berpendapat semua ajaran Islam harus bersumber dan berpijak langsung pada Al-Quran dan Sunah. Mereka menganggap keliru jika mengamalkan ajaran Islam berdasarkan hukum fikih. Sehingga, mereka dengan mudah menyalahkan amaliyah saudaranya (sesama muslim) yang berdasarkan kepada pendapat ulama madzhab[2].

Padahal fikih merupakan sarana untuk menjalankan ajaran Islam. Tidak mungkin seorang muslim belajar shalat dengan membaca terjemahan Al-Quran dan Hadits dan langsung bisa melaksanakan shalat. Pasti, seluruh umat muslim yang bisa melaksanakan shalat begitu saja mengambil tatacara shalat dari Al-Quran dan Hadits. Umat muslim yang bisa melaksanakan ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji tidak akan lepas dari pedoman yang dirumuskan oleh ulama madzhab.

Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari mengungkapkan, mayoritas ulama mewajibkan bagi siapa saja yang tidak sampai level mujtahid mutlak, untuk mengikuti (taqlid) kepada salah satu dari empat imam mazhab.

يجب عند جمهور العلماء المحققين على من ليس له اهلية الاجتهاد المطلق وان كان قد حصل بعض العلوم المعتبرة فى الاجتهاد تقليد قول المجتهدين والأخذ بفتواهم ليخرج عن عهدة التكليف بتقليد أيهم شاء، لقوله تعالى (فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ). فأوجب السؤال على من لم يعلم ذلك، وذلك تقليد لعالم

“Menurut mayoritas ulama hukumnya wajib mengikuti (taqlid) dan mengikuti fatwa-fatwa ulama yang kredibel di bidang ijtihad yaitu bagi siapa saja yang tidak memiliki kapasitas ijtihad mutlak meskipun orang itu telah menguasai sebagian ilmu secara mendalam. Orang ini bebas memilih ulama mujtahid siapa yang ia kehendaki. Hal ini mengacu kepada ayat “Bertanyalah kalian kepada orang yang berilmu jika kalian tidak  mengetahui.” Di sini Allah mewajibkan orang yang tidak tahu satu hal untuk bertanya kepada orang yang menguasai di bidangnya.”[3]

Ustadz Abdul Somad mengatakan, mazhab bukan agama[4]. Tapi pemahaman ulana terhadap nahs-nahs (teks) agama dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka tentang ayat, dalil hadits, ‘urf, sampai huruf ba’ yang masuk ke dalam kata. Begitu detailnya. Oleh sebab itu, slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” memang benar, tapi apakah setiap orang memiliki kemampuan? Apakah semua orang memiliki alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah seperti pemahaman para ulama?! Oleh sebab itu bermadzhab tidak lebih sekedar bertanya kepada orang yang lebih mengerti tentang sesuatu masalah, mengamalkan firman Allah Swt,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahu” (QS. An-Nahl: 43)


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dar –al-Rasyid), hal. 11

[2] Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid. Pengertian ini dijelaskan oleh KH. Zainal dalam kitab Al-Idza’ah al-Muhimmah dikutip oleh KH. Muhyiddin Abdussomad, Fiqh Tradisionalis, (Jember: Khalista), hal. 53

[3] Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Irsyadus Sari, (Jombang, Maktabah Al-Masruriyah), hal. 16

[4] Abdul Somad, 37 Masalah Populer, (Pekan Baru Riau: Tafaqquh Media), hal. 23

Like this Article? Share it!

Leave A Response

Translate »