ASWAJADEWATA.COM |
Sebagai manusia modern yang gemar bepergian, kita sering dihadapkan pada situasi unik yang tak terbayangkan oleh para ulama klasik. Salah satunya adalah masalah ibadah di pesawat. Bayangkan: Anda duduk di kursi sempit, diapit oleh penumpang yang mungkin tak peduli dengan urusan akhirat Anda. Lalu, tiba waktu shalat, tetapi tidak ada air untuk berwudhu. Pilihan cerdas? Tayammum! Tapi tunggu dulu… tayammum dengan kursi?
Mari kita jujur: kursi pesawat memang benda yang sering disentuh, tetapi sejak kapan ia berubah menjadi media sah untuk tayammum? Dalam pandangan fiqh klasik, tayammum hanya sah dengan menggunakan debu atau unsur bumi lainnya. Jika debu di jendela pesawat boleh dipakai, mungkin masih bisa diperdebatkan. Tapi kursi? Kursi pesawat terbuat dari kain sintetis atau plastik bukan tanah, bukan debu. Jadi, menurut mazhab Syafi’i, tayammum dengan kursi adalah sesuatu yang… ya, mari kita sebut saja “improvisasi yang terlalu kreatif.”
Lalu bagaimana dengan shalat tanpa menghadap kiblat dan dalam posisi duduk? Lagi-lagi, jika seseorang benar-benar tidak bisa berdiri atau menghadap kiblat, ada keringanan. Namun, jika malas berdiri karena turbulensi ringan atau sekadar gengsi takut dilirik pramugari, ya, itu lain cerita. Dalam kondisi darurat, shalat boleh dilakukan dalam keadaan yang memungkinkan, tetapi tetap harus diulang (qadha) jika nanti memungkinkan.
Jadi, apa solusinya?
Pertama, cari air! Biasanya ada di toilet pesawat. Jika benar-benar tidak ada, barulah mencari alternatif. Kedua, jika tidak ada tanah atau debu, tayammum tidak sah. Artinya, jika Anda tetap shalat dengan tayammum kursi, maka shalat itu hanya sekadar penghormatan waktu (lihurmatil waqti) dan harus diulang nanti. Ketiga, shalat dengan posisi terbaik yang bisa dilakukan. Jika bisa berdiri, berdirilah. Jika bisa menghadap kiblat, usahakan.
Kesimpulannya? Tayammum dengan kursi bukan solusi, tapi sekadar “jalan pintas” yang tidak diakui fiqh. Jika memang niatnya serius ingin menjalankan ibadah dengan benar, maka ikuti prosedur yang sah, bukan hanya sekadar “asal kelihatan shalat.” Lagi pula, apa gunanya menunaikan kewajiban dengan cara yang tidak sah? Itu seperti makan tanpa menelan, kelihatan makan, tapi tetap lapar.
Penulis: M. Fawaid