Gus Dur dan Natal: Meneladani Sang Penenun Kerukunan Bangsa

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Oleh: Muhammad Ihyaul Fikro

​Di tengah kemajemukan Indonesia, sosok K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur muncul sebagai oase yang menyejukkan. Setiap kali bulan Desember tiba dan umat Kristiani bersiap merayakan Natal, ingatan kolektif bangsa Indonesia hampir selalu tertuju pada sosok Presiden ke-4 RI ini. Bukan tanpa alasan, Gus Dur adalah tokoh yang berhasil mengubah wajah toleransi di Indonesia dari sekadar slogan menjadi aksi nyata.

Kemanusiaan di Atas Segalanya

​Bagi Gus Dur, agama tidak seharusnya menjadi sekat yang memisahkan manusia. Salah satu prinsipnya yang paling terkenal adalah menjadikan kemanusiaan sebagai titik temu. Beliau sering menekankan bahwa membela hak-hak umat beragama lain, termasuk umat Kristiani saat merayakan Natal, adalah wujud dari menjalankan nilai Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi semesta alam).

​Gus Dur tidak ragu untuk hadir di tengah-tengah perayaan Natal. Kehadirannya bukan untuk mencampuradukkan iman, melainkan untuk memberikan pesan kuat bahwa negara dan sesama saudara sebangsa hadir untuk menjamin hak beribadah setiap warga negara.

Banser dan Tradisi Menjaga Gereja

​Salah satu warisan paling konkret dari pemikiran Gus Dur adalah peran Banser (Barisan Ansor Serbaguna) NU dalam menjaga keamanan gereja saat perayaan Natal. Tradisi ini lahir dari keprihatinan Gus Dur terhadap ancaman teror dan diskriminasi.

​Beliau pernah berpesan bahwa menjaga gereja sama halnya dengan menjaga Indonesia. Jika satu rumah ibadah diganggu, maka esensi kedamaian di tanah air juga ikut terancam. Hingga hari ini, pemandangan pemuda Muslim yang berjaga di depan gereja saat malam Natal telah menjadi simbol toleransi yang ikonik di mata dunia.

Menghancurkan Tembok Kecurigaan

​Gus Dur memahami bahwa intoleransi seringkali lahir dari ketidaktahuan dan kecurigaan. Melalui dialog-dialog lintas agama yang penuh humor namun mendalam, beliau meruntuhkan tembok-tembok kecurigaan tersebut. Beliau mengajarkan bahwa mengucapkan “Selamat Natal” atau membantu kelancaran ibadah agama lain tidak akan melunturkan akidah seseorang, melainkan justru mempertebal nilai kebajikan di dalam diri.

Refleksi untuk Masa Kini

​Kini, meski Gus Dur telah tiada, spirit “Natal bersama Gus Dur” tetap hidup. Di tengah tantangan polarisasi yang terkadang masih muncul, warisan pemikirannya menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa menjadi Indonesia berarti menerima keberagaman sebagai anugerah, bukan beban.

​Gus Dur telah meletakkan fondasi yang kokoh. Tugas kita sekarang adalah merawat fondasi tersebut agar setiap perayaan agama di Indonesia, termasuk Natal, dapat dirayakan dengan penuh sukacita tanpa rasa takut.

“Kalau kita merasa sebagai orang beragama yang baik, maka kita akan menghargai orang lain yang sedang merayakan hari besarnya.”  Abdurrahman Wahid

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »