Oleh: Muhammad Taufiq Maulana
Pada setiap tanggal 4 Februari diperingati sebagai Hari Persaudaraan Manusia. Peringatan ini dilakukan sejak ditandatanganinya “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Dalam Bersama” oleh Imam Besar Al-Azhar, Prof Dr. Ahmad al-Tayeb dan Paus Fransiskus, Pimpinan Gereja Katolik pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.
Dokumen persaudaraan tersebut adalah kesepakatan seluruh umat manusia dunia, yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Hari Persaudaraan Internasional. Tentu kita tidak sekedar memperingati 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia dan setelah itu hilang.
Maka, yang paling penting adalah kewajiban kita untuk mengamalkan perjanjian perasudaraan manusia tersebut dengan sikap atau prilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan manusia.
Memuliakan manusia merupakan ajaran seluruh umat manusia. Terlebih bagi umat muslim. Karena Allah dan Nabi-Nya memuliakan seluruh manusia tanpa terkecuali. Hal ini telah dinyatakan secara tegas dalam surat al-Isra’ ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS: al-Isra’ ayat 70)
Melalui ayat ini, Allah dengan jelas menyatakan manusia sebagai keturunan anak Adam, seluruhnya dimuliakan. Salah satu kemuliaan manusia dijelaskan dalam Kitab Tafsir Al-Jalalain, bahwa jenazah manusia suci tanpa terkecuali. Terkait ayat ini juga, Syaikh Wahbah az-Zuhaili memberi penjelasan khusus tentang kemuliaan manusiaan dalam Kitabnya, Tafsir al-Wasith Li az-Zuhaily:
تَكْرِيْمُ الْإِنْسَانِ :تَشْمَلُ الرِّعَايَةُ الْإِلَهِيَّةُ الْإِنْسَانَ مِنْ جَمِيْعِ أَحْوَالِهِ الْمَادِيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ، فَاللهُ سُبْحَانَهُ يُنَجِّي الْإِنَسَانَ الْمَسَافِرَ مِنْ مَخَاطِرِ الْبَحْرِ وَالْبَرِّ، وَهُوَ سُبْحَانَهُ يَصُوْنُ كَرَامَةَ الْإِنْسَانِ، وَيُحْمِي حُقُوْقَ الْإِنْسَانِ، وَيَجْعَلَهُ خَلِيْفَةَ الْأَرْضِ، وَيُسْخِرُ لَهُ جَمِيْعُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مِنْ مَنَافِعَ وَخَيْرَاتٍ.
“Memuliakan manusia: Perhatian Allah kepada manusia mencakup dari semua kondisi fisik dan moralnya. Allah memberi keselamatan bagi manusia yang sedang melakukan perjalanan dari ancaman bahaya di laut dan di darat. Dia melindungi martabat manusia, melindungi hak asasi manusia, menjadikannya generasi di bumi, dan menganugerahkan segala sesuatu yang bermanfaat dan yang baik di langit dan bumi kepada manusia”.
Nabi Muhammad sebagai teladan kemanusiaan telah memerintahkan untuk memuliakan manusia tanpa terkeculai. Sebagaimana Imam Bukhari menyampaikan hadis:
حدثنا آدم ، حدثنا شعبة ، حدثنا عمرو بن مرة قال : سمعت عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: كَانَ سَهْل بن حنيف وقيس بن سعد قَاعِدَينِ بِالقَادِيسِيَّة فَمَرُّوا عَلَيهِما بِجَنَازَةٍ فَقَامَا. فَقِيلَ لهُمَا اِنَّهَا مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ اى مِنْ أَهْلِ الذِّمَّة. فَقَالَتْ : أَنَّ النَّبِي صلى الله عليه وسلم مَرَّتْ به جَنَازةٌ فَقَامَ فَقِيلَ له : اِنَّها جَنَازَةُ يَهُودي . فقال : أَلَيْسَتْ نَفْساً؟. رواه البخاري
“Di Qadisiyah, (usai menempuh perjalanan jauh), Sahl bin Hanif dan Qais bin Saad duduk-duduk untuk beristirahat. Tiba-tiba ada sekelompok orang memikul keranda (jenazah). Keduanya berdiri. Orang lain yang melihatnya memberitahu keduanya bahwa jenazah tersebut adalah orang non muslim yang dilindungi, yaitu Yahudi. Lalu mereka mengatakan, “kami pernah bersama Nabi, lalu ada jenazah orang Yahudi lewat, Nabi berdiri. Kami katakan, “Nabi, itu kan jenazah orang Yahudi?”. Nabi mengatakan, أليست نفسا؟” “Bukankah ia adalah jiwa (manusia)?.” (Hadis Shahih al-Bukhari).
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita, terlebih kita yang beriman kepada Allah dan Nabi-Nya untuk memuliakan manusia. Makna memuliakan di sini adalah menghargai, menghormati, melindungi dan saling peduli. Karena pada dasarnya, seluruh umat manusia bersaudara. Sebagaimana ungkapan Sayyidina Ali:
النّاسُ صِنْفانِ إمّا أَخٌ لَكَ في الدِّيْنِ، أو نَظِيرٌ لَكَ في الخَلْقِ يَعًنِى الاِنًسَانِيَةِ
“Manusia itu ada dua kategori, saudara bagimu seagama atau setara denganmu sesama makhluk, yaitu sesama manusia”.
Orang yang taat pada agamanya, maka semakin kuat mencintai antar sesama sebagai saudara. Jangan mengaku beragama jika tidak mencintai antar sesama. Kita tahu dan merasakan bahwa keindahan itu tampak memesona karena adanya perbedaan. Perbedaan yang menyatu-lebur dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Kita sebagai orang yang beriman wajib menyadarai, bahwa iman yang hakiki nan sejati adalah mencintai perbedaan.
Untuk konteks di Indonesia yang beraneka ragam suku, bahasa dan agama, sering penulis sampaikan, bahwa meningkatkan ketaatan pada agama masing-masing adalah prinsip penguatan NKRI. Semakin kuat ketaatan pada agama yang diyakininya, maka semakin dalam merasakan arti toleransi. Toleransi adalah kunci mewujudkan kerhamonisan dalam perbedaan.