Gus Dur dan Perjalanan Haji Soeharto

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

ASWAJADEWATA.COM |

Oleh: Abdul Karim Abraham

Pada pertengahan tahun 1991, untuk pertama kalinya Soeharto pergi ke Mekkah  menunaikan ibadah Haji. Sebelumnya, ia dikenal sebagai muslim abangan bahkan cenderung mempraktekan ajaran mistis. Kepergiannya ini memunculkan banyak spekulasi, kenapa ia baru menunaikan rukun Islam yang kelima justru setelah 20 tahun lebih menjadi presiden?

Menurut catatan Greg Barton, penulis Biografi Gus Dur ini mengungkapkan ada dua pendapat. Bagi mereka yang simpati dengan Soeharto membenarkan kepergiannya adalah suatu kewajaran. Sebab, saat itu Soeharto yang beranjak tua ingin menjadi religius. Di Indonesia, banyak orang yang menjadi lebih soleh menjelang akhir hidup mereka.

Sementara yang lain mengatakan, kepergian Soeharto ke tanah suci merupakan tindakan politik yang dirancang untuk menyampaikan pesan bahwa dirinya adalah muslim yang taat, yang pantas diajak kerjasama.

Jika melihat langkah langkah politik Soeharto sebelum tahun kepergiannya ke Mekkah, jelas ia ingin menggandeng kelompok kekuatan Muslim ketika ia khawatir dukungan militer yang akan berkhianat. Ia kemudian mencoba untuk mengendalikan dua ormas terbesar, NU dan Muhammadiyah.

NU yang saat itu dipimpin Gus Dur tidak mampu dikendalikan Soeharto. Ia mulai menggunakan “latar belakang Muhammadiyah”-nya, sambil menunjukan dalam pidato pidatonya bahwa ia pernah menjadi guru di sebuah sekolah Muhammadiyah dan telah dibesarkan sebagai seorang anak angkat dari seorang santri (Biografi Gus Dur, Hal. 201)

Selain mengendalikan Ormas, di penghujung 1980an, melalui Yayasan Amal Muslim Pancasila (YAMP), Soeharto menggerakkan program pembangunan Masjid besar besaran di seluruh Indonesia. Dalam sebuah kesempatan, ia menjelaskan jika pembangunan “Masjid Pancasila” ini merupakan amanat sila pertama dari Pancasila.

Tidak cukup disana, adanya upaya pendekatan Soeharto dengan Kelompok Islam Konservatif (Kanan) terlihat pada bulan Desember 1990 ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan. Sebagai hasilnya,ICMI, sejak kelahirannya, menjadi sangat dekat berasosiasi dengan Golkarnya Soeharto. ICMI bukan saja menerima dukungan keuangan yang cukup besar dari Soeharto, melainkan juga menunjuk orang asuhannya dan salah seorang menteri seniornya B.J Habibie, sebagai ketua umunya. Biografi Gus Dur, Hal. 222)

Selama tahun 1991, orang-orang dalam kubu ICMI berulang-ulang mendekati dan mendesak Gus Dur untuk bergabung dengan organisasi ini. Tujuannya agar Gus Dur dapat dikendalikan oleh Soeharto. Ajakan ini ditolak mentah mentah. Bahkan, Gus Dur  terang-terangan mengkritik ICMI.

Gus Dur merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini akan mendorong tumbuhnya sentiment  sektarian dan dengan demikian akan dimainkan oleh kaum konservatif. Ia juga berargumen bahwa Soeharto secara sinis memanipulasi sentiment  agama bagi kepentingannya sendiri. Lagi pula, menurut Gus Dur, “di dalam ICMI terdapat jauh lebih banyak birokrat karir ketimbang aktivis; oleh karena itu jika Anda berharap bahwa kalangan ini akan membuat perubahan, sama saja dengan berharap agar ayam jantan dapat bertelur” (Hal. 223).

Merasa prihatin dengan terpasungnya kelompok intelektual (ICMI) oleh kekuasaan, dan meningkatnya sektarianisme atau politik aliran, Gus Dur dan empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai kelompok agama dan masyarakat di Indonesia, mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) pada awal tahun 1991.

Didirikannya Fordem, kata Gus Dur, untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap lembaga lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarianisme. Dengan jelas, Gus Dur juga  berkampanye menentang pemanfaatan politik sentiment aliran. Pada tahun tahun selanjutnya, Fordem terus efektif menyuarakan pentingnya demokrasi dan kebebasan pendapat, hingga bergulirnya wacana dan gerakan reformasi.

Dari rentetan bagaimana Soeharto ingin memanfaatkan kekuatan kelompok Islam, ia tutup dengan pergi ke Mekkah. Sepulangnya dari tanah Suci, agar terlihat Islami, ia menambah nama Muhammad didepannya menjadi Haji Muhammad Soeharto.

Terlepas dari niat tulus untuk menjalani ibadah Haji lantaran ketaatannya sebagai seorang muslim, kepergianya ke tanah suci sangat berpengaruh terhadap citranya dalam melanggengkan kekuasaanya. Alhasil, pada Pemilu tahun 1992 Soeharto kembali dilantik menjadi Presiden, dan Tri Sutrisno sebagai wakilnya.

(Penulis adalah pegiat Bilik Literasi Bali (BLB)

diunggah oleh:

Picture of Abdul Karim Abraham

Abdul Karim Abraham

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »