ASWAJADEWATA.COM |
Oleh: Dr. Saihu, M.Pd.I
Bulan Ramadhan baru saja berlalu kita pun telah melewati dan menuntaskan perjalanan spiritual, yaitu mengasah dan mengasuh jiwa selama satu bulan penuh yang kemudian diikuti dengan merayakan Hari Raya Idul Fitri atau dalam tradisi orang Nusantara disebut dengan Lebaran. Yang perlu ditanamkan pada diri kita adalah bahwa tujuan, inti, dan hakikat lebaran adalah tidak hanya terletak pada perayaan atau keramaiannya yang terkadang disisipi niatan untuk konsumeristik, konsumtif, bahkan ada kesan untuk memamerkan apa yang dimiliki. Hari Raya Idul Fitri atau lebaran merupakan sarana penyadaran bahwa kita (manusia) harus kembali kepada fitrah yang suci, kembali bersih sebagaimana ketika kita baru dilahirkan. Kenapa disebut kembali, karena disitu ada logika bahwa kita telah bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga harus kembali. Selain itu, manusia menurut Islam, siapa pun dia, secara alami atau natural selalu memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan benar. Sedangkan kejahatan dan kepalsuan, pada dasarnya bertentangan dengan fitrah manusia, karena hal ini bukanlah sifat yang alami dan natural manusia. Karena itu, proses pembinaan, penempaan, penyadaran diri selama satu bulan penuh melalui ibadah puasa sebenarnya merupakan rahmat dari Allah Swt, agar kita mencuci diri kita dari dosa-dosa yang pernah kita perbuat.
Setelah melakukan pertobatan dan memohon maaf kepada Allah Swt dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan, kita pun diperintahkan untuk meminta maaf kepada orang-orang yang kita kenal, kepada siapa kita pernah berbuat salah atau kekeliruan. Begitu juga sebaliknya, kita juga harus memberikan maaf kepada siapa yang telah meminta maaf, bahkan juga dianjurkan kepada kita untuk ikut memohonkan ampun kepada Allah Swt sekalipun mungkin orang tersebut akan mengulangi kesalahan yang sama. Memang, memaafkan adalah perbuatan yang gampang-gampang susah, tidak semua orang memiliki kelapangan hati untuk bisa memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika dianggap kesalahan itu terlalu besar, sehingga kata maaf dianggap terlalu ringan dan tidak cukup untuk menebus kesalahan. Karena itu, sering kita mendengar “kesalahan yang tidak bisa dimaafkan”, padahal Allah Swt maha pemaaf dan pengampun sebagaimana disebutkan di berbagai tempat dalam kitab suci.
Al-din al-Mua’amalah, menuntut keserasian dan kesinambungan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum min Allah), manusia dengan sesama manusia (hablum min al-nas), dan manusia dengan alam (hablum min al-alam), atau dalam terminologi orang Bali yang terkenal akan tradisi bertoleransinya, diistilahkan dengan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Dalam surat Al-Nisa ayat 149, kata “maaf” yang dinisbahkan kepada manusia, dirangkaikan dengan sifat Allah yang maha pemaaf dan maha perkasa. Karena itu, tidaklah salah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pemaaf sesungguhnya adalah orang yang perkasa. Maksudnya adalah dia perkasa atau mampu menahan diri dari rasa marah dan keinginan untuk membalas dendam kepada orang yang telah berbuat salah. Hal yang sama juga disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 237, bahwa memaafkan kesalahan itu dekat sekali dengan takwa. Namun demikian, di tempat lain, dalam surah Al-Taghabun ayat 14, yang berbunyi “dan jika kamu memaafkan, menghapuskan kesalahan, dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Ayat ini mengisyaratkan bahwa memaafkan itu sebenarnya baru merupakan tingkatan pertama, ada lagi tingkatan diatasnya, yaitu menghapuskan kesalahan, dan mengampuni.
Mari kita telaah lebih jauh, memaafkan kesalahan orang lain berarti kita menutupi kesalahan orang tersebut dan juga rasa marah kita sendiri, ibaratnya kita menutupi suatu kesalahan penulisan di atas kertas dengan tipp-ex, tetapi kesalahan itu masih ada dan tidak terhapus. Sedangkan kalau kita menghapus kesalahan itu dengan penghapus, bukankah kertas itu akan menjadi rusak, apalagi kalau kita menghapusnya secara sembrono atau kasar, maka kertas itu bisa robek. Karena itu, dibutuhkan cara ketiga, yaitu menulis lagi di kertas yang baru, artinya kita bersedia membuka lembaran yang baru dalam hubungan kita terhadap sesama. Inilah esensi dari mengampuni yang dalam bahasa Alquran di sebut dengan Maghfirah, yang berarti melepaskan diri segala yang mengganggu. Maksudnya adalah setelah saling mengampuni kesalahan, kita pun berikrar untuk sama-sama membuka lembaran baru serta membersihkan hubungan itu agar tidak ada noda yang tersisa dalam lembaran baru tersebut.
Adalah manusiawi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam berpolitik, terjadi aneka pertentangan, perselisihan, perebutan kepentingan, dan konflik. Tetapi umat Islam diingatkan oleh ajaran agamanya, bahwa sehebat apapun konflik yang terjadi di antara manusia, hendaknya segera dicarikan penyelesaiannya dengan mengedepankan prinsip ukhuwah (persaudaraan) guna membangun islah (perdamaian) di antara kita masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini agak sering terganggu bahkan terputus akibat perbedaan pendapat dan perbedaan pilihan dalam pemilu, baik itu pileg dan pilpres. Islam menyediakan etika dalam penyelesaian konflik, yaitu dengan cara bermusyawarah dan saling bersilaturahmi.
Bersilaturrahmi bukan saja berarti saling berkunjung atau saling memberi sesuatu, tetapi silaturrahmi adalah menyambung sesuatu yang terputus, karena shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”, sementara rahim berarti kasih sayang. Maksudnya komunikasi yang terputus akibat beda pendapat atau beda pilihan sehingga mengakibatkan terjadinya konflik, harus disambung kembali dengan mengedepankan kasih sayang dengan menjadikan momen lebaran sebagai sarana untuk “Rujuk” secara nasional, dengan saling memaafkan, menghapus kesalahan, dan mengampuni kekhilafan, serta sama-sama membuka lembaran baru untuk kemudian di terapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara, agar rasa damai selalu menyertai kita.
(Penulis adalah Dosen Pengajar di Pascasarjana Instirut PTIQ Jakarta)