Masyarakat Hindu Bali tidak begitu. Ya, tidak seperti yang saat ini tengah viral. Sama sekali tidak begitu dan tidak seperti itu.
Kultur masyarakat Hindu Bali lembut dan ramah. Terlebih jika kita memahami ajarannya. Di Bali, masyarakat Hindu memiliki ajaran yang istimewa dan mulia. Ajaran itu adalah Tri Hita Karana, Tat Wan Asi dan Ahimsa.
Tri Hita Karana adalah ajaran yang memiliki tiga dimensi. Yaitu Palemahan, Pawongan, dan Parahayangan. Palemahan bermakna hubungan harmonis manusia dengan alam. Pawongan adalah hubungan harmonis antar sesama manusia. Sedangkan Parahayangan memiliki arti hubungan harmonis dengan kekuatan adikodrati atau tempat-tempat suci.
Pawongan tidak saja menyangkut hubungan harmonis dengan sesama orang Bali Hindu, tetapi bisa pula dengan orang non Bali dan non Hindu atau orang Islam yang hidup pada ruang yang sama, yakni desa.
Tat Twan Asi adalah menekankan pada persaudaraan universal, dengan asumsi, bahwa secara subtansial manusia adalah bersaudara secara kebutuhan. Ahimsa adalah larangan untuk melakukan kekerasan atau himsa dalam pikiran, ucapana dan tindakan.
Tat Twan Asi yang menekankan kita adalah saudara, menimbulkan implikasi, bahwa himsa menjadi wajib diterapkan pada semua manusia, tanpa membedakan agama, etnisitas, kelas sosial, dan lain-lain.
Dalam buku Fikih Muslim Bali, saya sempat menulis, “Di Bali toleransi sudah layaknya agama. Bisa dikatakan, masyarakat Bali memiliki satu agama, yaitu agama toleransi. Hal ini bukan sekedar ucapan belaka, tetapi memang fakta. Banyak bukti terutama bukti sejarah betapa jalinan umat beragama di Bali sangat harmonis. Meski berbeda agama, mereka memiliki hubungan layaknya satu agama (Berbeda tetap saudara)”.
Nah, jika ada yang tidak demikian, bisa dipastikan itu bukan cerminan masyarakat Hindu Bali.
#penyuluhagamaislambergerak
