ASWAJADEWATA.COM |
“Sekarang ini, terlalu banyak muballigh yang memanipulasikan emosi jamaah, dan kurang melatih daya kritis mereka. Keberagamaan yang emosional memang memberikan kehangatan dan gairah, tetapi ia tidak tahan banting. Dalam kompetisi pemikiran (gazw al-fikr), yang emosional mudah tersisih oleh yang rasional.” Tulis Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Islam Aktual.
Catatan tersebut menjelaskan adanya dua pendekatan tabligh/dakwah, yakni pendekatan emosional dan rasional. Keduanya sebenarnya bermuara pada misi yang sama, yakni memantapkan keyakinan akan ajaran-ajaran agama. Namun demikian, keduanya melahirkan keberagamaan yang berbeda.
Pendekatan dakwah emosional melahirkan sikap keberagamaan yang emosional, di mana keyakinan yang tumbuh dalam keberagamaan tersebut didasarkan atas gairah keagamaan. Sedangkan pendekatan dakwah rasional melahirkan sikap keberagamaan yang rasional, di mana keyakinan yang tumbuh dalam keberagamaan tersebut didasarkan atas penjelasan argumentatif mengenai relevansi ajaran agama dalam kehidupan.
Efektifitas dua pendekatan tersebut dalam mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang juga berbeda, setidaknya jika didasarkan atas penelitian komunikasi. Penelitian komunikasi menunjukkan bahwa perubahan sikap lebih cepat terjadi dengan imbauan emosional. Tetapi, dalam jangka waktu yang lama, imbauan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan stabil. Sederhananya, dakwah yang menyentuh hati lebih cepat meningkatkan iman, tetapi mudah goyah. Sementara dakwah yang menyentuh pikiran cenderung lambat tetapi pasti.
Idealnya, dua pendekatan tersebut berjalan beriringan untuk saling menguatkan, sebagaimana al Quran menyentuh pikiran sebanyak menyentuh hati. Teladan Nabi juga membuktikan bahwa banyak yang masuk Islam tidak hanya karena keluhuran budi yang menyentuh hati, tetapi juga argumentasi yang memuaskan pikiran.
Dua pendekatan tersebut mestinya dikuasai oleh para dai supaya umat memiliki ketajaman spiritual sekaligus kejernihan berpikir. Sayangnya, bukan perkara mudah mencapai yang ideal. Perkaranya tidak melulu soal ketidakseimbangan dalam menggunakan pendekatan, tetapi juga soal penyalahgunaan. Alih-alih digunakan untuk meningkatkan ketajaman spiritual jamaah, pendekatan emosional justru dilakukan untuk memanipulasi psikologis masyarakat.
Apa yang terjadi ketika pendekatan emosional lebih dominan bahkan disalahgunakan? Bayangkan saja jika dalam lingkungan kerja, yang lebih dominan di situ adalah hubungan emosional dibandingkan hubungan profesional. Semua keputusan selalu didasarkan atas pertimbangan emosi alih-alih pada rasionalitas profesi. Jangan banyak berharap ada semacam standar operasional prosedur dalam lingkungan kerja semacam itu. Bisa-bisa anda diberhentikan tanpa ada pemberitahuan dan anda tidak bisa menggugatnya.
Umat sesungguhnya bisa melihat dengan jelas pendekatan apa yang digunakan dai atau muballig dalam dakwahnya. Kalau terlalu banyak bicara soal janji surga atau ancaman neraka, atau apa yang disebut sebagai “kemaslahatan di akhirat”, itu artinya ia tidak mampu menjelaskan bahwa ajaran agama benar-benar relevan untuk kehidupan di dunia. Ia tidak mampu menjelaskan secara argumentatif mengapa umat harus mengikuti atau menjalankan ajaran itu dalam kehidupan di dunia.
Itulah mengapa Ahmad ar-Raisuni menghimbau kepada para aktivis dakwah agar memahami agama secara mendalam. Menurutnya, seseorang dikatakan memahami agama secara mendalam apabila memahami tujuan agama (maqashid syari’ah). Selain memahami problem masyarakat, metode dan media apa yang digunakan apa dalam berdakwah, dai juga dituntut benar-benar memahami bahwa agama hadir untuk kemaslahatan di dunia.
Tidak ada yang namanya kemaslahatan akhirat, kata cendekiawan terkemuka Muhammad Thahir bin Asyur. Yang ada di akhirat adalah balasan atas perbuatan maslahat dan mafsadat kita di dunia. Apabila memahami ini, dai tidak akan mudah mengiming-imingi umat dengan janji surga atau ancaman neraka, melainkan cenderung mengajak umat untuk melakukan perbuatan baik dengan argumentasi rasional yang membuktikan bahwa agama masih relevan untuk membawa maslahat dan meminimalisasi mudarat di dunia.
Tidak sepenuhnya salah mengajak orang ke surga. Masalahnya, ajakan itu acapkali disertai halusinasi untuk mengkapling surga menjadi milik pribadi dan kelompoknya sedangkan neraka adalah bagi kelompok yang berseberangan. Pendekatan emosional berevolusi menjadi alat untuk memanipulasi emosi masyarakat.
Di saat umat beragama mendapat tantangan untuk menjelaskan relevansi serta rasionalitas agama, ada sebagian yang gemar menampilkan gairah keberagamaannya di luar batas nalar. Orang-orang yang mempertanyakan relevansi agama memang semakin mendapat amunisi dari keberagamaan emosional.
Patut disayangkan, karena penjelasan Kang Jalal di awal masih relevan hingga sekarang. Lebih banyak yang ikut dai yang mengajak ke surga dibandingkan ikut dai yang mengajak berpikir.
Oleh: Muhammad Rizqil Azizi (Ma’had Aly Situbondo)