ASWAJADEWATA.COM | DENPASAR
Oleh: KH. A.Mustofa Bisri (Gus Mus)
Meskipun sudah lama memilikinya rasanya dia belum benar-benar mengenal kekasihnya itu.
Tidak ada orang seberuntung dia. Demikian menurut kesepakatan semua orang yang mengenalnya. Hampir tanpa susah payah, dia telah berhasil mempersunting gadis kembang kampungnya yang sangat dia cintai. Siapa pun di kampungnya pasti akan mengatakan bahwa gadisnya itu benar-benar luar biasa. Seorang gadis yang sempurna lahir dan batin.
Postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek, menampilkan kegemulaian yang indah, pantas, dan pas. Demikian pula wajahnya yang ayu, semata-mata pesona dari keserasian alami, tanpa sedikit pun keikutsertaan unsur pulasan yang semu. Rambutnya yang elok, ikal mayang alami. Sama sekali di luar pengaruh kecanggihan tata rias rambut mutakhir. Alis matanya yang menyemut beriring, kedua matanya yang tampak senantiasa tersenyum dan diteduhi bulu-mata yang lentik, pipinya yang kemerahan memauh-dilayang, hidungnya yang manis dan anggun, bibirnya yang segar menawan, giginya yang rampai kemilau, dagunya yang melebah-bergantung, kedua telinganya yang mulus bening; kesemuanya juga tanpa sedikit pun bantuan rekayasa ahli kecantikan atau sentuhan glamour kosmetika.
Pun lehernya yang jenjang maupun anggota-anggota tubuhnya yang molek lainnya, tampil bukan akibat kamuflase mode. Semuanya benar-benar alami. Semata-mata karena bentuk dan letaknya yang serasi sebagai ayat keindahan Ilahi. Kecantikan lahir itu semakin lengkap oleh perangai dan budi yang juga sempurna. Pendek kata, itulah gadis idaman masa kini maupun masa datang.
Dan dia sendiri, Kang Muslimin, tentu saja, bangga dan bersyukur mendapatkan gadis sempurna itu. Tak puas-puasnya dia memandang, memuji, dan membanggakannya di mana saja dan kapan saja.
Jangan tanya tentang kecemburuannya! Dia bersedia mati berkeping-keping demi membela sang kekasih tercinta. Boleh dikata, jangankan disentuh, dipandang saja kekasihnya itu, mau rasanya Kang Muslimin meradang dan menendang. Bahkan sudah terbukti beberapa kali, karena kecemburuannya itu, banyak orang termasuk dirinya sendiri dibikinnya repot atau celaka.
Sayangnya Kang Muslimin, meski sudah sekian lama memilikinya, rasanya dia belum benar-benar mengenal kekasihnya itu. Kecuali bahwa kekasihnya itu cantik dan berbudi luhur luar biasa, dia hampir-hampir tak dapat memahami hakikat pribadinya. Bahwa dia sudah bertekad akan berbuat apa saja yang dimaui sang kekasth dan bersedia mengorbankan apa saja demi sang kekasih, itu sudah jelas. Tapi susahnya, dia sendiri tak tahu persis apa yang dimaui dan apa yang bisa menyenangkan kekasihnya itu.
Barangkali karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya- yang ini pun menurut pengakuannya demi sang kekasih juga- dia tidak sempat menanyakan atau berdialog langsung mengenai apa sebenarnya yang dimaui atau apa saja yang membikin senang istrinya itu. Dia memang telah banyak berbuat demi istrinya yang amat dicintainya itu, tapi dia hampir tak pernah tahu apakah apa yang dilakukannya itu membahagiakannya atau justru sebaliknya.
Jika dia marah atau bergembira demi istrinya, dia juga tidak tahu persis apakah itu sesuai dengan kehendaknya atau justru sebaliknya.
Ah, seandainya Kang Muslimin lebih mengenal istrinya melebihi sekadar untuk bangga dan mencemburuinya, alangkah semakin berbahagia dan beruntung dia!
Lho, ini bagaimana? Tadinya, sejak membikin judul tulisan in niat saya akan menulis tentang kaum Muslimin dan Islam, kok jadinya malah ngobrol soal Kang Muslimin dan istrinya! Wah, maaf ya! []
(Artikel ini diambil dari tulisan Gus Mus yang terdapat pada buku SALEH RITUAL SALEH SOSIAL mudah-mudahan dapat menghibur para pembaca.)