SUAP DAN HADIAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PEMERINTAHAN

Facebook
X
WhatsApp
Telegram
Email

Penyuapan atau suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi pada masyarakat. Pada umumnya penyuapan atau suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Suap termasuk yang dilarang oleh agama maupun negara, karena dapat menimbulkan hukum yang tidak semestinya, dan juga melanggar hukum syariat dan negara. Penyuapan sebagaimana yang ada pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 adalah tindakan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, juga bisa didefinisikan dengan menerima suatu janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya.

Suap sudah lumrah terjadi dikalangan pemerintahan semisal ketika pemilihan calon pemimpin DLL, karena dalam memberi suap tersebut dapat memudahkan dia mendapatkan yang ia mau. Perilaku tersebut adalah suatu tindakan yang tidak baik bahkan dilarangan oleh agama maupun negara.

Dalam syariat penyuapan adalah tindakan memberi harta agar orang yang menerima menghukumi dengan yang tidak semestinya atau mencegah terhadap hukum yang semestinya. Ada sebagian pakar juga mendefinisikan Risywah (suap) sebagai suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. Hal ini sudah menjadi fenomena yang lazim di negara kita.

Semua ulama sepakat dalam mengharamkan suap yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar, Sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an:

    وَتَرٰى كَثِيۡرًا مِّنۡهُمۡ يُسَارِعُوۡنَ فِى الۡاِثۡمِ وَالۡعُدۡوَانِ وَاَكۡلِهِمُ السُّحۡتَ‌ؕ لَبِئۡسَ مَا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ

Artinya: Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat  (Al-Maidah, 62)

لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ  (المائدة)

Artinya: Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. (Al-Maidah, 63)

Dalam Hadist Nabi SAW juga membahas tentang suap sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan yang lain :

لَعَنَ اللهُ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي فِي الْحُكْمِ

Artinya“Allah melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap di dalam memutuskan hukum ”

لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ

Artinya“Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, dan perantara suap (tim sukses)”

Hadist ini menerangkan terhadap penyuap, menerima suap, dan orang yang menjadi perantara memberikan suap.

Bagaimanan hukum orang yang menjadi perantara (tim sukses) memberikan suap terhadap rakyat?

Hukum orang yang menjadi perantara memberikan suap terhada rakyat adalah haram, karena mutawassit (orang yang menjadi perantara) sama hukumnya seperti orang yang memberi suap.

Dalam hadist tersebut bisa diambil pemahaman bahwasanya suap-menyuap hukumnya haram, bedahalnya dengan hadiah.

Hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang, karena rasa terima kasih atau suatu apresiasi yang membuatnya senang. Hadiah merupakan tradisi yang sudah  dilakukan oleh siapapun baik orang tua, teman, guru,  dan juga pemerintahan.

Menurut Imam As-Subki dalam kitab Fatawanya, hadiah adalah bermaksud kasih sayang dan menarik hati. Bahwasnya hadiah tidak milik hakim, oleh karenanya hakim haram menerima hadiah tersebut karena dapat menyebabkan keraguan untuk memutuskan hukuman terhadap si pemberi yang terkait kriminal. Kali ini adalah pembahasan tentang apakah boleh hakim menerima hadiah dari rakyat?

Lagi-lagi membahas tentang pemrintahan yang menerima hadiah dari rakyat, karena hadiah sudah lumrah dikalangan masyarakat saling memberikan makanan atau sesuatu yang manfaat sesama tetangganya untuk menjaga keharmonisan dan ikatan yang erat sesama tetangga. Memberikan hadiah kepada hakim adalah hukumnya ditafsil ( diperinci ), yang pertama adalah boleh menerima hadiah, jika orangnya terbiasa memberikan hadiah terhadapnya. Yang kedua adalah haram menerima hadiah, jika orangnya tidak terbiasa memberikan hadiah terhadap hakim. Jika orang tersebut terbiasa memberikan hadiah yang tidak semestinya ia berikan kepada hakim (lebih dari biasanya) maka hukum menerimanya haram. Para pegawai pemerintahan haram hukumnya untuk menerima pemberian baik itu disamarkan dengan uang tips, uang lelah, uang terima kasih, uang komisi, bagi hasil dan sebagainya selama ada kaitannya dengan pekerjaan yang dilaksanakan. Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik. Seandainya hal ini diperbolehkan, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang suap sangat berbahaya dan termasuk dosa besar. Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah tersebut baik pada orang yang bersangkutan ataupun menyerahkannya pada KPK, sebagai pengembalian gratifikasi.

Oleh: Afghan Mushoffa Al-Makki

Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain, Sukowono Jember

editor: Muhammad Ihyaul Fikro

diunggah oleh:

Picture of Muhammad Ihyaul Fikro

Muhammad Ihyaul Fikro

ADMIN ASWAJA DEWATA

artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »